nusabali

Delapan Bulan Dipaksa Bekerja Tanpa Gaji hingga Disiksa

Cerita Mengerikan Warga Buleleng Korban TPPO di Myanmar

  • www.nusabali.com-delapan-bulan-dipaksa-bekerja-tanpa-gaji-hingga-disiksa

SINGARAJA, NusaBali - Kadek Agus Ariawan,37, warga Kelurahan Liligundi, Kecamatan/Kabupaten Buleleng yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Myanmar akhirnya berhasil dipulangkan setelah mengalami penyiksaan selama delapan bulan.

Ia menceritakan bagaimana dirinya tertipu dengan tawaran pekerjaan yang berujung pada eksploitasi di sebuah perusahaan penipuan di wilayah konflik.

Agus Ariawan awalnya berangkat dari Bali bersama seorang temannya dari Desa Jinengdalem, Kecamatan/Kabupaten Buleleng bernama Nengah Sunaria,35, pada 5 Agustus 2024 lalu. Keduanya bergabung dengan rombongan lainnya di Jakarta dan berangkat ke Thailand esoknya. Mereka lalu diangkut menggunakan bus menempuh perjalanan darat dari Thailand hingga perbatasan Myanmar. 

Kecurigaan mulai muncul saat rute perjalanan yang ditempuh berbeda dari tujuan awal. Saat tiba di perbatasan, Agus Ariawan sempat melihat paspornya dicap oleh petugas Imigrasi. Ia sempat bertanya pada petugas, namun petugas itu tidak memahami bahasa Inggris. Ketika perjalanan berlanjut hingga lebih dari lima jam, ia semakin yakin ada sesuatu yang tidak beres. Setibanya di perbatasan Myanmar, Agus Ariawan dan rekan-rekannya harus menyeberangi sungai menggunakan sampan. 

Kadek Agus Ariawan (kaos abu-abu) saat tiba di Bandara Ngurah Rai, Jumat (21/3) petang. –IST 

Di sana, mereka melihat orang-orang bersenjata menjaga portal-portal perbatasan. Ia dan rekan-rekannya tidak bisa melawan dan terpaksa mengikuti instruksi hingga akhirnya dibawa ke sebuah lembah di tengah hutan di wilayah Hpa Lu, daerah terpencil di Myawaddy, Myanmar. Di lokasi itu, terdapat gedung yang menjadi tempat operasional perusahaan scam. Agus Ariawan dipaksa bekerja sebagai scammer, menipu orang-orang dari berbagai negara seperti Iran, Turki, hingga Rusia. 

Jika tidak mencapai target yang ditentukan, ia akan disekap, dipukuli, disetrum, hingga dicambuk. Bahkan, beberapa korban lainnya mengalami penyiksaan lebih parah hingga koma. Namun kemudian tetap dipaksa bekerja sambil diinfus. “Saya ketika itu sudah pasrah, dijadikan budak atau bagaimana. Awalnya berontak tidak mau kerja. Namun diancam untuk dibunuh. Kemudian disetrum dan dipukul sampai seminggu. Akhirnya dibujuk teman-teman agar ikuti alurnya. Selama itu juga saya mencari cara agar bisa melapor ke petugas di Indonesia,” tuturnya saat ditemui di rumahnya di Liligundi, Buleleng, Sabtu (22/3).

Selama berbulan-bulan, Agus Ariawan dipaksa untuk terus bekerja menipu orang. Ia diberi target agar bisa menghasilkan ratusan ribu dolar setiap bulan. Jika tidak mencapai target, ia kembali disiksa. Selama itu juga, komunikasi dengan pihak keluarga di Indonesia terputus. Lantaran ponsel miliknya dan korban lainnya disita sindikat.

“Kami bekerja hingga 16 jam sehari, dari jam 4 sore sampai jam 8 atau 10 pagi. Tanpa gaji, hanya diberi makan secukupnya untuk bertahan hidup,” kata Agus Ariawan. Ia mengungkapkan, ada sekitar 50 warga negara Indonesia (WNI) yang bekerja di tempat yang disebut sebagai KK Park itu. Ia juga memperkirakan masih terdapat puluhan WNI korban tindak pidana perdagangan orang yang terjebak di sana. “Dari orang-orang yang dipaksa bekerja di sana, ada yang sampai mengalami gangguan jiwa hingga buang air di tempat karena tekanan dan siksaan yang luar biasa. Bahkan ada yang mencoba bunuh diri,” katanya.

Agus Ariawan akhirnya nekat melarikan diri pada 16 Februari 2025 bersama temannya, Nengah Sunaria yang sama-sama dari Buleleng. Mereka berhasil mencapai gerbang perusahaan sebelum akhirnya diamankan oleh tentara. Beruntung, mereka tidak langsung dikembalikan ke perusahaan, melainkan dibawa ke sebuah kamp rehabilitasi di wilayah konflik Myanmar. “Saat itu kami sempat tertangkap petugas keamanan perusahaan. Diancam dibawa masuk kembali dan ditodong AK-47 (senapan laras panjang). Saya sudah pasrah seandainya ditembak. Beruntung ada tentara DKBA (Demokratik Buddha Karen), kelompok pemberontak. Kami kemudian dibawa ke sebuah camp,” ujar Agus Ariawan.

Ia menjalani perawatan di lokasi penampungan tersebut selama sekitar tiga minggu. Setelah itu ia dipindahkan ke penampungan kedua pada 1 Maret 2025 selama 12 hari. Di lokasi itu, ia dipertemukan dengan petugas dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Yangon (KBRI Yangon) dan diperiksa. Setelah proses verifikasi selama 10 hari, Agus Ariawan bersama ratusan korban TPPO lainnya dikeluarkan dari wilayah konflik Myawaddy, Myanmar ke perbatasan Thailand. Kemudian menempuh perjalanan darat hingga sekitar sembilan jam menuju Bandara Doen Muang Bangkok. Selanjutnya mereka diterbangkan ke Jakarta pada 19 Maret 2025. Sesampainya di Jakarta, Agus Ariawan menjalani screening kesehatan serta pemeriksaan oleh Interpol dan Bareskrim Polri selama tiga hari. Sebelum akhirnya dipulangkan ke Bali pada Jumat (21/3) siang. Ia bersama Nengah Sunaria tiba di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Jumat petang dan diserahkan ke keluarga oleh Balai Pelayanan, Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Provinsi Bali.

Saat ini, Agus Ariawan mengaku masih mengalami trauma akibat rentetan penyiksaan yang dialaminya selama di Myanmar. Suara listrik atau hentakan keras masih sering membangkitkan kembali ingatan buruknya. “Karena itu wilayah konflik, selama saya bekerja di sana juga sering mendengar desing peluru dan ledakan mortir,” ungkapnya.

Di sisi lain, ia mengingatkan agar masyarakat tidak mudah percaya pada tawaran pekerjaan luar negeri dari pihak-pihak tertentu melalui media sosial dan agen yang tidak resmi. Sebab pada awalnya ia juga direkrut oleh seseorang dengan janji bekerja di sebuah restoran di Thailand. “Namun ternyata tidak sesuai dan justru dieksploitasi dengan nyawa saya sebagai taruhannya,” tutup dia. 7 mzk

Komentar