nusabali

Memoderninasi Lontar demi Merawat Pola Hidup Tetua

  • www.nusabali.com-memoderninasi-lontar-demi-merawat-pola-hidup-tetua

Sesungguhnya isi lontar itu dibuat dari hasil “riset” panjang para leluhur yang sudah teruji dan terbukti ampuh dan aman bagi kesehatan diri dan lingkungan. 

MUSEUM Pustaka Lontar di Dukuh Penaban, Karangasem, Jumat 28 Februari – 1 Maret 2025 menggelar rembug bertajuk “Tata Kelola Khazanah Lontar di Masa Depan.” Rembug yang digawangi sastrawan Made Anyana Ole ini menghadirkan narasumber para pakar lontar. Antara lain, Sugi lanus, Jero Penyarikan Duuran Batur I Ketut Eriadi Ariana, Kurator Program Kegiatan Strategis Kemdikbud Adi Wicaksono. 

Hadir pula para penekun sastra dari wilayah Karangasem, serta pinisepuh penekun lontar – Ida I Dewa Gde Catra.

Mengapa Museum Pustaka Lontar Dukuh Penaban di pilih? Hal ini tentu bukan tanpa alasan. Museum Pustaka Lontar ini menjadi pilar penyangga lontar satu-satunya bukan hanya di Karangasem, tetapi juga di Bali. Atas dasar itulah pemerintah, melalui Kemdikbud mempercayakan tempat ini sebagai “hulu” dari rangkaian kegiatan bersastra, utamanya berkaitan dengan lontar.

Dari rangkaian proses rembug selama dua hari ini melahirkan berbagai usulan, saran, gagasan-gagasan tentang tata kelola lontar di masa depan dari berbagai dimensi, setelah dibuka oleh Bendesa Adat Dukuh Penaban – I Nengah Suarya.

Sugi Lanus yang didaulat sebagai pembicara pertama menyampaikanpandangannya bagaimana agar stigma tentang lontar yang selama ini dianggap sakral dan tabu diutak-atik bisa diminimalisir bahkan dihilangkan. Jika persepsi ini masih dibiarkan, proses regenerasi dan sosialisasi tentang isi lontar akan mentok di dunia penekun spiritual dan dunia kampus yang menjadikan kajiannya. Oleh sebab itu, isi lontar sudah semestinya dipublikasikan dengan cara-cara modern sesuai perkembangan zaman. Sugi Lanus menekankan agar kita bisa melibatkan generasi milineal dalam publikasi isi lontar dengan memanfaatkan platform media social seperti, tiktok, istagram, facebook, youtube sebagai media penyentara isi lontar kepada khalayak. Cara ini dianggap paling ampuh agar isi lontar bisa diketahui dan dipahami oleh masyarakat luas. Secara teknis di lapangan, generasi Z bisa mewawancarai atau berdiskusi dengan “para pakar” lontar seperti, Ida I Dewa Gde Cakra, tentang isi lontar tertentu. Kemudian, hasil diskusi/wawancara tersebut disebarluaskan melalui media sosial tersebut. Dengan cara ini diharapkan masyarakat luas akan tahu, mencintai dan mendapatkan manfaat dari isi lontar yang ada. Sugi Lanus juga memberi pertimbangan bagaimana agar isi lontar bisa dialihaksarakan ke sastra latin dan dicetak dalam bentuk buku-buku. Cara ini akan memudahkan generasi muda yang cendrung kurang paham aksara Bali untuk tahu dan paham isi lontar, tanpa mengurangi kesakralan lontar-lontar beraksara Bali yang biasanya tersimpan di tempat-tempat suci.

Jro Penyarikan Duuran Batur – I Ketut Eriadi Ariana sebagai narasumber kedua sepakat dengan Sugi Lanus. Beliau menekankan bagaimana Pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah Bali bisa memanfaatkan lontar-lontar yang bertebaran di Bali sebagai fondasi dan landasan dalam menjalankan berbagai program pembangunan di berbagai sektor karena sesungguhnya isi lontar itu dibuat dari hasil “riset” panjang para leluhur yang sudah teruji dan terbukti ampuh dan aman bagi kesehatan diri dan lingkungan. Dicontohkan, bagaimana memanfaatkan lontar untuk usada atau pengobatan, pestisida alami yang aman bagi lingkungan, asta kosala kosali dalam tata ruang, dan sebagainya, yang semuanya bersumber dari isi lontar.

Ida I Dewa Gde Catra lebih menyoroti tentang masih ditemukannya kesulitan ketika mengalihaksarakan dari aksara Bali ke aksara latin mengacu pada Kamus bahasa Bali yang ada. Dicontohkan, untuk ayam dalam bahasa Bali di tulis siap di kamus. Padahal, jika mengacu pada aksara Bali mestinya ditulis siyap.

Adi Wicaksono selaku utusan Kemdikbud RI sangat antusias menyimak apa yang tersaji dari diskusi kecil ini. Beliau berjanji akan meneruskan hasil diskusi yang sangat bermakna ini kepada pihak kementerian agar mendapatkan perhatian lebih. Menurut Beliau, selama ini kementerian kebudayaan cendrung kurang memperhatikan masalah lontar. Berbicara lontar dianggap membicarakan sesuatu yang sudah mati dan tidak perlu diutak-atik lagi. 

Dari kaca mata para peserta diskusi, termasuk penulis sendiri tentu sepakat dengan apa yang disampaikan para pakar dan pemerhati lontar. Kita sepakat bahwa isi lontar-lontar yang ada perlu disosilisasikan dengan versi lain untuk menarik minat generasi muda agar mau belajar dan tahu isi warisan leluhurnya, yang sesungguhnya sangat kaya isi akan keanekaragaman hidup dan kehidupan di masyarakat. Hal ini tentunya bisa kita pedomani sebagai landasaan kehidupan berbangsa dan bernegara yang adi luhung. Sejarah mencatat, kejayaan kerajaan Nusantara di masa lalu tak luput kecintaan dan kesetiaannya pada nasihat-nasihat para cendekia saat itu yang bertumpu pada isi lontar. Lalu, mengapa sekarang kita tidak mencoba dan meneladani kembali kisah kejayaan masa lalu ini?

Apa yang tersaji dalam diskusi tentang “Tata Kelola Khazanah Lontar di Masa Depan,” ini menjadi sebuah catatan kecil untuk kita renungkan bersama, lalu mencoba mencari terobosan untuk mengimplementasikannya. Dalam hal ini, tentu kita berharap Pemerintah pusat dan daerah bersikap peka dan respon terhadap permasalahan ini. Tanpa campur tangan pemerintah, khususnya Pemda Bali, tentu banyak kendala, utamanya pada anggaran dan kebijakan. Fungsi anggaran ada di Pemerintah. Kendali kebijakan juga ada di Pemerintah. Jika Pemerintah respon dan sepakat, hasil diskusi ini tentu bisa ditindaklanjuti dan tidak hanya menjadi catatan kecil yang tersembunyi di kolong-kolong meja. Akhirnya, apa yang menjadi visi-misi pendirian “Museum Pustaka Lontar” pada tahun 2017 yang digagas oleh I Nengah Suarya (Bendesa Adat Dukuh Penaban), Ida I Dewa Gde Catra (Pinisepuh Lontar), I Ketut Artana (Arsitek), serta dukungan 437 KK masyarkat Desa Adat Dukuh Penaban untuk –“Menyelamatkan, Melestarikan, dan Mengimplementasikan yang berkaitan Lontar” tidaklah sia-sia. *Penulis, I Wayan Kerti (guru, pemerhati sastra)

Komentar