Melihat dari Dekat ‘Kungkang Siwa’, Juara I Ogoh-Ogoh Badung yang Diilhami Arca Gelung Arja Pingit
Ogoh-ogoh
ST Tunas Remaja
Penarungan
Bhandana Bhuhkala
Lomba Ogoh-Ogoh
Kungkang Siwa
Raja Godogan
Pura Dalem Tambangan Badung
Niskala
Taksu
Gadink Tattoo
MANGUPURA, NusaBali.com - Kungkang Siwa, ogoh-ogoh karya ST Tunas Remaja, Banjar Umahanyar, Desa Adat Penarungan, Mengwi keluar sebagai Juara I Ogoh-Ogoh Kabupaten Badung Tahun 2025 usai penjurian final Bhandana Bhuhkala Festival di Puspem Badung, Minggu (16/3/2025) malam.
Ogoh-ogoh yang memvisualisasikan Raja Godogan ini berhasil mengungguli 20 ogoh-ogoh terbaik dari tujuh zona penilaian. Kungkang Siwa berhasil menghipnotis dewan juri dengan nilai 296,5 poin yang berasal dari 60 persen aspek ogoh-ogoh, 20 persen aspek karawitan balaganjur, dan 20 persen aspek fragmen tari obor.
Arsitek Kungkang Siwa, I Wayan Juliarta, 42, alias Gadink Tattoo menuturkan, pihaknya menyiapkan dua konsep garapan ogoh-ogoh. Kebo Dongol yakni tradisi di Pura Kahyangan Jagat Dhalem Bangun Sakti, Kapal, Mengwi dan Raja Godogan yakni cerita rakyat Bali yang berkembang sebagai kesenian arja.
“Untuk memvisualisasikan tradisi Kebo Dongol itu sangat sulit, sehingga kami memilih Raja Godogan untuk digarap,” ungkap Yan Gadink ketika ditemui di Balai Banjar Umahanyar, Desa Adat Penarungan, Senin (17/3/2025) pagi.
Sinopsis
Kata Yan Gadink, cerita rakyat Raja Godogan yang menginspirasi Kungkang Siwa mengisahkan tentang kelahiran raja katak (godogan) yang memiliki kelebihan dan bisa berbicara seperti manusia. Ia juga dikisahkan mencintai seorang putri raja.
Dikisahkan, Pan Bekung dan Men Bekung sedang menggarap ladang. Suatu ketika Men Bekung merasa haus dan meminta suaminya mencarikan kelapa muda. Karena Pan Bekung malas memanjat, ia memutuskan mengambil air dari sebuah telaga.
Usut punya usut, air di dalam telaga tersebut telah dianugerahi Dewa Siwa. Namun, sebelum diambil Pan Bekung untuk diberikan ke istrinya yang haus, air di dalam telaga itu telah diminum lebih dulu oleh seekor katak.
“Pan Bekung memberi air itu ke Men Bekung yang akhirnya membuat Men Bekung hamil. Pan Bekung dan Men Bekung ini adalah simbol pasutri yang tidak mau memiliki keturunan,” ujar Yan Gadink.
Akhirnya, lahirlah seekor katak yang memiliki kelebihan dan mampu berbicara seperti manusia. Lambat laun, Godogan tumbuh dewasa dan mencintai seorang putri raja yang cantik jelita. Karena ketulusan cinta keduanya, Godongan berubah menjadi pangeran rupawan.
Teknik Visualisasi
“Kami mencoba menggarap cerita rakyat yang lumrah namun dikemas berbeda,” buka Yan Gadink.
Unsur-unsur cerita yang cukup kompleks dari Raja Godogan berhasil dikemas sebagai garapan ogoh-ogoh berdimensi 4,3 x 3,5 meter. Komponen telaga, Pan Bekung dan Men Bekung, sang putri raja, Godogan, sang pangeran, sampai simbol-simbol Dewa Siwa dapat digambarkan secara apik.
Komponen telaga dijadikan latar yang diposisikan paling bawah di atas panggung ogoh-ogoh. Pan Bekung dan Men Bekung berdiri di tepi telaga. Karakter Pan Bekung secara konstruksi menjadi penahan beban dari karakter Raja Godogan yang memangku putri raja, yang berdimensi jauh lebih besar.
“Di dalam mulut Godogan itu ada topeng bagus (ganteng) dan di bagian lehernya itu ada robekan. Itu bukan luka, tetapi proses Raja Godogan berubah menjadi pangeran, semacam berubah kulit menjadi manusia,” beber Yan Gadink.
Yan Gadink juga merancang penggunaan mesin mekanis secara proporsional untuk mendukung visualisasi Kungkang Siwa yakni dengan memberikan gerakan pada topeng bagus (wajah pangeran) di dalam mulut Godogan. Kata dia, penempatan mekanis yang tepat mampu menciptakan center of impression (pusat perhatian).
Selain itu, Raja Godogan versi ST Tunas Remaja ini dibuat berbeda dengan penambahan dua pasang lengan. Dua pasang lengan ini membawa atribut Siwa seperti trisula dan lainnya. Kata Yan Gadink, hal ini untuk mempertegas simbol anugerah Siwa kepada Raja Godogan.
Teknik Konstruksi
Garapan ogoh-ogoh Kungkang Siwa ini menerapkan rancang bangun ekstrem. Tangan kanan Pan Bekung yang sedang memegang sabit menumpu karakter besar di atasnya melalui titik temu di pergelangan kaki Raja Godogan.
“Awalnya kami mau bikin lebih ekstrem dengan titik temunya itu pada ujung jari kaki Godogan, tetapi tidak jadi. Tidak jadi karena ogoh-ogohnya akan menjadi terlalu tinggi,” jelas Yan Gadink.
Konstruksi ogoh-ogoh Kungkang Siwa menggunakan rangka besi. Satu berukuran delapan milimeter untuk rangka dasar yakni karakter Pan Bekung. Kemudian, sambungan rangka Raja Godogan ke atas dibuat dengan ukuran besi yang lebih kecil dan terus mengecil ke atas.
Menariknya, karakter-karakter Kungkang Siwa ini digarap secara terpisah baik itu Pan Bekung, Men Bekung, Raja Godogan, dan putri raja. Setelah setengah jadi, baru kemudian karakter-karakter tersebut dijadikan satu dengan proses pengelasan. Proses ini termasuk menyambung rangka dasar (Pan Bekung) dan pergelangan kaki Raja Godogan.
Arsitek Kungkang Siwa, I Wayan Juliarta, 42, alias Gadink Tattoo menuturkan, pihaknya menyiapkan dua konsep garapan ogoh-ogoh. Kebo Dongol yakni tradisi di Pura Kahyangan Jagat Dhalem Bangun Sakti, Kapal, Mengwi dan Raja Godogan yakni cerita rakyat Bali yang berkembang sebagai kesenian arja.
“Untuk memvisualisasikan tradisi Kebo Dongol itu sangat sulit, sehingga kami memilih Raja Godogan untuk digarap,” ungkap Yan Gadink ketika ditemui di Balai Banjar Umahanyar, Desa Adat Penarungan, Senin (17/3/2025) pagi.
Sinopsis
Kata Yan Gadink, cerita rakyat Raja Godogan yang menginspirasi Kungkang Siwa mengisahkan tentang kelahiran raja katak (godogan) yang memiliki kelebihan dan bisa berbicara seperti manusia. Ia juga dikisahkan mencintai seorang putri raja.
Dikisahkan, Pan Bekung dan Men Bekung sedang menggarap ladang. Suatu ketika Men Bekung merasa haus dan meminta suaminya mencarikan kelapa muda. Karena Pan Bekung malas memanjat, ia memutuskan mengambil air dari sebuah telaga.
Usut punya usut, air di dalam telaga tersebut telah dianugerahi Dewa Siwa. Namun, sebelum diambil Pan Bekung untuk diberikan ke istrinya yang haus, air di dalam telaga itu telah diminum lebih dulu oleh seekor katak.
“Pan Bekung memberi air itu ke Men Bekung yang akhirnya membuat Men Bekung hamil. Pan Bekung dan Men Bekung ini adalah simbol pasutri yang tidak mau memiliki keturunan,” ujar Yan Gadink.
Akhirnya, lahirlah seekor katak yang memiliki kelebihan dan mampu berbicara seperti manusia. Lambat laun, Godogan tumbuh dewasa dan mencintai seorang putri raja yang cantik jelita. Karena ketulusan cinta keduanya, Godongan berubah menjadi pangeran rupawan.
Teknik Visualisasi
“Kami mencoba menggarap cerita rakyat yang lumrah namun dikemas berbeda,” buka Yan Gadink.
Unsur-unsur cerita yang cukup kompleks dari Raja Godogan berhasil dikemas sebagai garapan ogoh-ogoh berdimensi 4,3 x 3,5 meter. Komponen telaga, Pan Bekung dan Men Bekung, sang putri raja, Godogan, sang pangeran, sampai simbol-simbol Dewa Siwa dapat digambarkan secara apik.
Komponen telaga dijadikan latar yang diposisikan paling bawah di atas panggung ogoh-ogoh. Pan Bekung dan Men Bekung berdiri di tepi telaga. Karakter Pan Bekung secara konstruksi menjadi penahan beban dari karakter Raja Godogan yang memangku putri raja, yang berdimensi jauh lebih besar.
“Di dalam mulut Godogan itu ada topeng bagus (ganteng) dan di bagian lehernya itu ada robekan. Itu bukan luka, tetapi proses Raja Godogan berubah menjadi pangeran, semacam berubah kulit menjadi manusia,” beber Yan Gadink.
Yan Gadink juga merancang penggunaan mesin mekanis secara proporsional untuk mendukung visualisasi Kungkang Siwa yakni dengan memberikan gerakan pada topeng bagus (wajah pangeran) di dalam mulut Godogan. Kata dia, penempatan mekanis yang tepat mampu menciptakan center of impression (pusat perhatian).
Selain itu, Raja Godogan versi ST Tunas Remaja ini dibuat berbeda dengan penambahan dua pasang lengan. Dua pasang lengan ini membawa atribut Siwa seperti trisula dan lainnya. Kata Yan Gadink, hal ini untuk mempertegas simbol anugerah Siwa kepada Raja Godogan.
Teknik Konstruksi
Garapan ogoh-ogoh Kungkang Siwa ini menerapkan rancang bangun ekstrem. Tangan kanan Pan Bekung yang sedang memegang sabit menumpu karakter besar di atasnya melalui titik temu di pergelangan kaki Raja Godogan.
“Awalnya kami mau bikin lebih ekstrem dengan titik temunya itu pada ujung jari kaki Godogan, tetapi tidak jadi. Tidak jadi karena ogoh-ogohnya akan menjadi terlalu tinggi,” jelas Yan Gadink.
Konstruksi ogoh-ogoh Kungkang Siwa menggunakan rangka besi. Satu berukuran delapan milimeter untuk rangka dasar yakni karakter Pan Bekung. Kemudian, sambungan rangka Raja Godogan ke atas dibuat dengan ukuran besi yang lebih kecil dan terus mengecil ke atas.
Menariknya, karakter-karakter Kungkang Siwa ini digarap secara terpisah baik itu Pan Bekung, Men Bekung, Raja Godogan, dan putri raja. Setelah setengah jadi, baru kemudian karakter-karakter tersebut dijadikan satu dengan proses pengelasan. Proses ini termasuk menyambung rangka dasar (Pan Bekung) dan pergelangan kaki Raja Godogan.
Komentar