MUTIARA WEDA: Tentang Kekayaan
āḍhyo'bhijanavānasmi ko'nyo'sti sadṛśo mayā, yakṣye dāsyāmi modiṣya ityajñānavimohitāḥ. (Bhagavad Gita 16.15)
Aku kaya, aku berasal dari keluarga terhormat, tidak ada orang lain yang lebih baik dariku. Aku akan berkurban, aku akan memberikan sedekah, dengan demikian aku akan meraih kedudukan yang lebih tinggi. Orang-orang yang terperdaya oleh kebodohan berpikir seperti ini.
CHANAKYA, seorang cendekiawan dan penasihat yang terkenal di India, memberikan pandangan yang mendalam tentang kekayaan dalam bukunya Arthashastra. Dia mengatakan, “Kekayaan adalah dasar dari kekuasaan. Dengan kekayaan, seseorang dapat mencapai keberhasilan dalam segala hal, baik itu dalam urusan pribadi maupun negara. Namun, kekayaan harus dicari dengan cara yang bijaksana dan tidak boleh mengorbankan moralitas.”
Sementara itu Swami Vivekananda menekankan pentingnya keseimbangan antara kekayaan material dan spiritual. “Kekayaan yang sejati adalah kekayaan spiritual. Kekayaan material hanya sementara dan tidak dapat memberi kebahagiaan sejati. Keberuntungan terbesar adalah memiliki kedamaian batin dan kekayaan rohani.”
Aristoteles, filsuf Yunani kuno, melihat kekayaan dalam konteks kebahagiaan dan kehidupan yang baik. “Kekayaan adalah alat, bukan tujuan. Tujuan sejati dari kehidupan adalah kebahagiaan, dan kekayaan hanya diperlukan dalam ukuran yang cukup untuk mencapai kehidupan yang baik.”
Mahatma Gandhi, pemimpin spiritual dan politik India, menekankan bahwa kekayaan bukanlah sesuatu yang buruk, tetapi hanya menjadi berbahaya jika digunakan untuk kepentingan pribadi atau untuk kesombongan. “Kekayaan yang tidak disertai dengan kasih sayang dan kebaikan adalah beban yang tidak berguna. Kekayaan seharusnya digunakan untuk melayani orang lain, bukan untuk kesenangan pribadi.”
Karl Marx, seorang filsuf dan ekonom terkenal, melihat kekayaan dalam konteks kelas sosial dan ketidakadilan ekonomi. Bagi Marx, kekayaan yang dikumpulkan dalam sistem kapitalis hanya menguntungkan sebagian kecil orang (pemilik modal) dan merugikan pekerja. Kekayaan sejati menurutnya adalah hasil dari kerja kolektif dan kesetaraan dalam distribusi sumber daya. Dari definisi yang diberikan tentang kekayaan, mereka sepakat bahwa kekayaan itu baik. Yang menjadi tidak baik karena dua hal, dari cara mencarinya dan cara menggunakannya. Jika mencarinya tidak dengan jalan bijaksana, kekayaan itu berbahaya. Demikian juga jika digunakan hanya untuk diri sendiri, kekayaan menjadi berbahaya.
Yang menarik adalah definisi yang diberikan oleh Krishna di atas. Kekayaan telah diperoleh dengan baik, demikian juga kekayaan digunakan untuk berkorban, menolong orang lain, ini juga baik. Namun, tetap orang itu berada dalam kebodohan jika merasa hebat atas kebaikan itu. Kondisi ini tidak terelakkan terjadi, hampir merata di sebagian besar manusia, sebab feeling better itu laten, tak terdeteksi. Kalau mencari kekayaan dengan cara-cara baik lebih mudah, sebab kita sangat gampang mengenalinya mana sumber yang baik dan mana yang buruk. Demikian juga memanfaatkannya mudah mengidentifikasi apakah untuk kepantingan bersama atau hanya untuk kepentingan pribadi. Namun, mengindentifikasi ‘perasaan lebih baik’ dari orang lain karena telah melakukan kebaikan itu hampir sepenuhnya tak terdeteksi. Dan, inilah kebodohan yang lebih dalam menurut Krishna.
Bahkan, jika mengacu pada definisi Vivekananda, bahwa ada dua jenis kekayaan, yakni material dan rohani, mendeteksi feeling better dari orang lain atas kekayaan material bisa lebih mudah jika dibandingkan dengan kekayaan rohani. Banyak dari kita sangat bisa melihat kekayaan materi dengan cara yang seimbang, tidak merasa lebih hebat ketika bisa berbagi, tidak merasa lebih hebat ketika bisa tidak terikat dengan materi, tetapi feeling better atas orang lain kerena kekayaan rohani paling susah.
Orang yang telah mampu tidak terikat dengan uang, bisa tetap tenang meskipun tanpa membawa uang, telah tidak terkesan sama sekali dengan materi, lalu biasanya akan terjebak merasa bahwa dia memiliki kekayaan rohani. Ketika melihat orang masih membicarakan uang, masih menginginkan uang yang banyak dan yang sejenisnya, dia merasa dirinya lebih hebat dari orang lain karena telah memiliki kekayaan rohani. Kekayaan rohani inilah yang menyebabkan dirinya merasa ‘lebih baik’ dibandingkan orang yang masih bergelimang materi. Kembali, ini pun jebakan, sebab kekayaan baik materi maupun rohani adalah sama-sama kekayaan, dan keduanya bisa menyebabkan kita menjadi sombong, merasa lebih baik dari orang lain. Krishna menyebut ini sebagai kebodohan. 7
Komentar