Puluhan Anak-Anak Bali Unjuk Bakat Magending Rare di Bulan Bahasa Bali 2025
DENPASAR, NusaBali.com - Dulu, gending rare menjadi peneman waktu bermain anak-anak Bali. Kini, gending rare diapresiasi melalui kontes menyanyi di Wimbakara Gending Rare serangkaian Bulan Bahasa Bali VII Tahun 2025 di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Bali (Art Center), Denpasar, Selasa (11/2/2025).
Tembang yang dinyanyikan di kontes ini memang bukan lagi sesederhana ‘Meong-Meong,’ ‘Pul Sinoge,’ atau ‘Juru Pencar,’ dan lainnya. Namun, lagu anak-anak dengan musikalitas dan bahasa yang lebih tinggi seperti ‘Pewaris Jagat Bali’ ciptaan Komang Darmayuda dalam kompilasi album Bali Kumara.
Lagu ciptaan pendiri Sanggar Seni Cressendo Bali Griya Musika Sukawati ini menjadi lagu wajib yang dibawakan 23 peserta lomba dari kalangan SD se-Provinsi Bali. Satu lagu lainnya adalah lagu anak-anak berbahasa Bali pilihan masing-masing peserta.
Juri Wimbakara Gending Rare Bulan Bahasa Bali (BBB) VII Tahun 2025 Ketut Sumerjana MSn menuturkan, definisi gending rare di masa kini sudah berkembang. Sehingga, lagu-lagu kreasi baru bernuansa kumara (anak-anak) juga dapat dipandang sebagai gending rare.
“Sudah berkembang dengan banyaknya source yang masuk. Artinya tidak lagi seperti zaman dulu, itu tidak salah juga karena dinamis. Yang penting untuk dijaga adalah piteket (pesan) di dalam lagu itu,” ujar Sumerjana kepada NusaBali.com di sela acara, Selasa siang.
Sumerjana yang juga akademisi Seni Musik ISI Denpasar ini mengaku takjub dengan kualitas peserta Wimbakara Gending Rare tahun ini. Kata dia, peserta yang berusia 12 tahun ke bawah ini tidak hanya sekadar bernyanyi tapi sudah mampu mengolah vokal dengan atraktif.
“Jauh sekali dari generasi kami dulu, sudah maju. Saya lihat lagu-lagu yang terbilang sulit berhasil dibawakan anak-anak. Range vokalnya juga tinggi-tinggi, yang biasanya 1 oktaf, ada yang sampai 1,5 oktaf,” beber Sumerjana.
Menurut Sumerjana, modernisasi gending rare adalah suatu keniscayaan agar mampu diterima generasi belia Bali masa kini. Tema lagupun berkembang dari sekadar peneman bermain menjadi tembang cinta yang ditujukan kepada orangtua.
Gending rare masa kini ini mendapat tempat di hati belia kiwari seperti Gusti Ayu Agung Paloma Devani dan Nithi Warsiki Prajawati. Keduanya sama-sama sering mengikuti kontes bernyanyi khususnya dengan lagu berbahasa Bali.
“Gending rare ini sebenarnya masih diajarkan di sekolah, di mata pelajaran Seni Budaya,” tutur Gung Paloma, siswi kelas VI SD Saraswati Sukawati kepada NusaBali.com di sela acara, Selasa siang.
Hal senada juga diungkapkan Nithi, siswi SD Cipta Dharma Denpasar. Hanya saja, dibanding gending rare, keduanya masih lebih sering mendengar lagu non Bahasa Bali seperti Pop Indonesia dan lagu barat.
“Lebih sering dengar lagu barat seperti Celine Dion. Tapi, lagu-lagu Bali tetap suka karena nadanya itu berbeda dari kebanyakan lagu-lagu lain,” ungkap Nithi.
Di sisi lain, Sumerjana menilai, kontes gending rare ini perlu dipopulerkan dan diapresiasi lebih jauh dengan memperbanyak wadah pelestarian dan kompetisi. Gending rare harus tetap hidup, termasuk gending yang sudah jarang dibawakan karena pesan adiluhung untuk para belia Bali itu ada di dalamnya. *rat
Lagu ciptaan pendiri Sanggar Seni Cressendo Bali Griya Musika Sukawati ini menjadi lagu wajib yang dibawakan 23 peserta lomba dari kalangan SD se-Provinsi Bali. Satu lagu lainnya adalah lagu anak-anak berbahasa Bali pilihan masing-masing peserta.
Juri Wimbakara Gending Rare Bulan Bahasa Bali (BBB) VII Tahun 2025 Ketut Sumerjana MSn menuturkan, definisi gending rare di masa kini sudah berkembang. Sehingga, lagu-lagu kreasi baru bernuansa kumara (anak-anak) juga dapat dipandang sebagai gending rare.
“Sudah berkembang dengan banyaknya source yang masuk. Artinya tidak lagi seperti zaman dulu, itu tidak salah juga karena dinamis. Yang penting untuk dijaga adalah piteket (pesan) di dalam lagu itu,” ujar Sumerjana kepada NusaBali.com di sela acara, Selasa siang.
Sumerjana yang juga akademisi Seni Musik ISI Denpasar ini mengaku takjub dengan kualitas peserta Wimbakara Gending Rare tahun ini. Kata dia, peserta yang berusia 12 tahun ke bawah ini tidak hanya sekadar bernyanyi tapi sudah mampu mengolah vokal dengan atraktif.
“Jauh sekali dari generasi kami dulu, sudah maju. Saya lihat lagu-lagu yang terbilang sulit berhasil dibawakan anak-anak. Range vokalnya juga tinggi-tinggi, yang biasanya 1 oktaf, ada yang sampai 1,5 oktaf,” beber Sumerjana.
Menurut Sumerjana, modernisasi gending rare adalah suatu keniscayaan agar mampu diterima generasi belia Bali masa kini. Tema lagupun berkembang dari sekadar peneman bermain menjadi tembang cinta yang ditujukan kepada orangtua.
Gending rare masa kini ini mendapat tempat di hati belia kiwari seperti Gusti Ayu Agung Paloma Devani dan Nithi Warsiki Prajawati. Keduanya sama-sama sering mengikuti kontes bernyanyi khususnya dengan lagu berbahasa Bali.
“Gending rare ini sebenarnya masih diajarkan di sekolah, di mata pelajaran Seni Budaya,” tutur Gung Paloma, siswi kelas VI SD Saraswati Sukawati kepada NusaBali.com di sela acara, Selasa siang.
Hal senada juga diungkapkan Nithi, siswi SD Cipta Dharma Denpasar. Hanya saja, dibanding gending rare, keduanya masih lebih sering mendengar lagu non Bahasa Bali seperti Pop Indonesia dan lagu barat.
“Lebih sering dengar lagu barat seperti Celine Dion. Tapi, lagu-lagu Bali tetap suka karena nadanya itu berbeda dari kebanyakan lagu-lagu lain,” ungkap Nithi.
Di sisi lain, Sumerjana menilai, kontes gending rare ini perlu dipopulerkan dan diapresiasi lebih jauh dengan memperbanyak wadah pelestarian dan kompetisi. Gending rare harus tetap hidup, termasuk gending yang sudah jarang dibawakan karena pesan adiluhung untuk para belia Bali itu ada di dalamnya. *rat
Komentar