Sampaikan Maaf Secara Niskala, Atlas Haturkan Guru Piduka dan Bendu Piduka
MANGUPURA, NusaBali - Setelah mendapat reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat Bali serta berkali-kali memohon maaf dan pengampunan, manajemen PT Kreasi Bali Prima yang menaungi Atlas Super Club menggelar permohonan maaf secara niskala dengan menghaturkan Upacara Guru Piduka dan Bendu Piduka.
Upacara dilangsungkan di Pura Desa lan Puseh, Desa Adat Berawa, Desa Tibubeneng, Kecamatan Kuta Utara, Badung, pada Rahina Suci Saraswati yang jatuh pada Saniscara Umanis Watugunung, Sabtu (8/2).
Upacara Guru Piduka dan Bendu Piduka ini digelar sebagai permohonan maaf secara niskala atas polemik penayangan simbol Dewa Siwa sebagai latar visual pertunjukan musik DJ di Atlas Super Club. Upacara dipimpin oleh Jero Mangku pura setempat dan disaksikan oleh tokoh adat, manajemen Atlas Super Club, perwakilan dari DPRD Badung, serta diikuti oleh karyawan Atlas yang sebagian besar beragama Hindu.
Humas Atlas Tommy Dimas menyampaikan bahwa pelaksanaan upacara Guru Piduka dan Bendu Piduka ini sebagai bentuk permohonan maaf secara niskala atas polemik penayangan simbol Dewa Siwa yang telah membuat situasi tidak kondusif di Bali. Melalui berbagai upaya yang telah dilakukan, manajemen Atlas Super Club kembali memohon maaf dan berharap masyarakat Hindu Bali dapat menerima permintaan maaf tersebut.
“Kami menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada masyarakat, khususnya umat Hindu Bali,” ucapnya.
Tommy menyebut, berkaca dari permasalahan ini, manajemen Atlas Super Club berkomitmen untuk memperbaiki semua SOP dan juga melakukan audit internal, termasuk akan memberikan pernyataan tertulis. “Yang pasti kami akan lakukan perbaikan dari sisi internal. Kami juga akan memberikan pernyataan tertulis kepada instansi-instansi terkait yang meminta dan mewajibkan kami untuk bisa memiliki komitmen lebih baik ke depannya, seperti DPRD Bali, DPRD Badung, dan instansi serta himpunan-himpunan yang lain,” kata Tommy.
Kelian Adat Berawa sekaligus Petajuh Desa Adat Berawa I Wayan Kumarayasa, mengatakan upacara Guru Piduka dan Bendu Piduka ini sebagai permintaan maaf kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang malingga (bersthana) di wewidangan (wilayah) Desa Adat Berawa. Sebab kelab malam Atlas Super Club berada di wilayah tersebut. Kumarayasa berharap kejadian ini bisa menjadi pelajaran berharga dan tidak terulang lagi ke depannya. “Kami berharap untuk ke depannya agar tidak melakukan hal-hal yang seperti itu lagi (menggunakan simbol-simbol keagamaan, Red), khususnya di wewidangan desa adat kami, dan juga di seluruh Bali,” tandas Kumarayasa.
Penayangan simbol Dewa Siwa sebagai latar visual pertunjukan musik DJ di Atlas Super Club memang telah memantik reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat Bali dalam beberapa hari terakhir. Berbagai lembaga telah memanggil pihak manajemen. Bahkan massa juga menggelar aksi dan menuntut tindakan tegas terhadap Atlas. Terakhir, DPRD Badung juga memanggil pihak Atlas Super Club untuk rapat dengar pendapat pada Jumat (7/2) siang.
Rapat yang dipimpin oleh Ketua DPRD Badung I Gusti Anom Gumanti itu dihadiri lebih dari 20 Anggota DPRD Badung dari berbagai komisi. Dari pihak Atlas, hadir Humas Legal dari PT Kreasi Bali Prima selaku pengelola Atlas Super Club, HRD, dan Kepala Tim Audio Visual. Rapat juga dihadiri oleh beberapa kepala OPD dari Pemkab Badung.
Pihak Atlas Super Club mengakui adanya keteledoran dalam penayangan visual Dewa Siwa itu. Kemudian mereka kembali memohon maaf dan pengampunan dari masyarakat. Dalam rapat dengar pendapat tersebut, berbagai reaksi muncul dari anggota DPRD Badung. Mereka menyayangkan mengapa simbol Dewa Siwa yang disucikan dalam agama Hindu bisa sampai lolos dan muncul dalam acara musik DJ di sebuah kelab malam. Mereka pun mempertanyakan apa alasan pemutaran visul Dewa Siwa tersebut.
Anggota Dewan Badung pun dalam rapat itu mengusulkan agar membentuk tim khusus untuk penelusuran masalah, dan ada sanksi yang diusulkan kepada Pemerintah Kabupaten Badung. Bahkan Komisi I DPRD Badung merekomendasikan kepada Pemkab Badung untuk menutup sementara Atlas Super Club, hingga permasalahan selesai. Selain itu jika ada tuntutan dari masyarakat untuk menutup Atlas Super Club, juga akan ditindaklanjuti oleh DPRD Badung.
Pada Jumat (7/2) siang, Yayasan Kesatria Keris Bali menggelar aksi damai di Wantilan DPRD Bali. Aksi ini dilakukan sebagai bentuk protes terhadap penggunaan latar belakang bergambar (visual) Dewa Siwa dalam pertunjukan musik DJ di Atlas Super Club yang berada dalam naungan Atlas Beach Club di Jalan Pantai Berawa, Desa Tibubeneng, Kecamatan Kuta Utara, Badung.
Aksi damai ini diterima Wakil Ketua DPRD Bali I Wayan Disel Astawa dan Wakil Ketua III DPRD Bali I Komang Nova Sewi Putra bersama dengan Ketua Komisi I Nyoman Budi Utama dan anggota Komisi I serta anggota Komisi IV DPRD Bali. Hadir pula perwakilan eksekutif dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP) Provinsi Bali, Satpol PP Bali, Dinas Pariwisata Bali, serta Dinas Kebudayaan Bali.
Dalam aksi tersebut, Ketua Umum Yayasan Kesatria Keris Bali Ketut Putra Ismaya Jaya alias Jero Bima menyampaikan tujuh tuntutan tegas kepada DPRD Bali. Dia meminta agar Atlas Super Club ditutup sementara sebagai bentuk sanksi atas insiden tersebut. Selain itu, pihaknya juga menuntut permintaan maaf langsung dari pihak Atlas, baik secara langsung maupun melalui media sosial kelab malam tersebut. Dia juga menuntut adanya proses hukum yang jelas bagi pihak yang bertanggung jawab serta mendesak DPRD Bali untuk segera membuat peraturan daerah (Perda) terkait penggunaan simbol agama Hindu agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan.
Jero Bima juga mengancam jika DPRD Bali tidak segera bertindak pihaknya akan mendatangi langsung Atlas Beach Club dengan massa yang lebih besar. Dia menegaskan aksi ini bukan sekadar menuntut permintaan maaf, tetapi juga menuntut tindakan nyata agar tidak ada lagi penyalahgunaan simbol keagamaan dalam dunia hiburan malam di Bali.
Menyikapi tuntutan ini, Ketua Fraksi PDIP DPRD Bali I Made Supartha menyatakan dukungannya. Dia menegaskan pihaknya siap berjuang bersama masyarakat Bali dan menyuarakan aspirasi mereka.
“Saya siap maju dan berjuang bersama masyarakat Bali. Kasus seperti ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Di sini kita menyuarakan suara rakyat Bali,” tegasnya. Bahkan, kata dia Fraksi PDIP DPRD Bali berkomitmen dengan hal ini dan setuju untuk melakukan penutupan pada kelab malam tersebut agar dapat memberikan efek jera. Namun disinggung dengan dampaknya jika kelab malam ini ditutup, bagaimana nasib para pekerja di sana? Supartha mengatakan hal tersebut ada dalam pertimbangan lainnya, saat ini fokus dari aksi damai ini adalah risiko dan konsekuensi dari tindakan melenceng yang telah dilakukan kelab malam tersebut harus segera ditegakkan.
“Itu kita tidak masuk ke urusan pekerja, kan itu nanti ada pertimbangan-pertimbangan lain, sekarang pertama harus dikasih sanksi, baru minta maaf kan itu meringankan saja. Sama dengan kasus lain, kalau ada polisi tangkap suatu kasus kan harus ada putusan pengadilan, soal lain-lain itu kan lain lagi nanti, semua nanti akan dipertimbangkan. Ini mendesak sekali kan, ini demo terkait penegakan hukum dari penistaan terhadap simbol-simbol agama,” tuturnya.
Wakil Ketua III DPRD Bali I Komang Nova Sewi Putra, menyatakan Yayasan Kesatria Keris Bali dapat membawa kasus ini ke Polda Bali jika terdapat unsur pelanggaran hukum. Selain itu, DPRD Bali juga berkomitmen untuk mendorong lahirnya perda terkait penistaan agama agar ada dasar hukum yang lebih kuat dalam menangani kasus serupa di masa depan sesuai dalam salah satu dari tujuh poin dalam tuntutan Jero Bima.
Wakil Ketua I DPRD Bali I Wayan Disel Astawa menegaskan pihaknya akan mengkaji pembentukan perda untuk melarang penistaan agama di Bali. “Bali saat ini hanya memiliki Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 25 Tahun 2020 yang mengatur pelaku penistaan agama hanya dikenakan denda dan diwajibkan melakukan upacara pembersihan Guru Piduka. Namun, dia menilai regulasi tersebut belum cukup mengikat, mengingat insiden-insiden serupa masih terus terjadi.
Keputusan DPRD Bali yang menutup sementara operasional Atlas Beach Club mendapat sorotan dari berbagai pihak, termasuk dari BPD HIPMI Bali yang menilai sikap dewan tidak konsisten dalam menanggapi kasus serupa.

Ketua Bidang Organisasi, Keanggotaan, dan Kaderisasi BPD HIPMI Bali Dewa Gede Dwi Mahayana Putra Nida –IST
Ketua Bidang Organisasi, Keanggotaan, dan Kaderisasi BPD HIPMI Bali Dewa Gede Dwi Mahayana Putra Nida atau Dewa Wiwin, mempertanyakan urgensi DPRD dalam mengusulkan penutupan Atlas Beach Club. Dia membandingkan sikap DPRD terhadap kasus Finns Beach Club beberapa waktu lalu, ketika tempat hiburan tersebut tetap beroperasi meski menggelar pesta kembang api saat berlangsungnya upacara keagamaan di Pantai Berawa.
“Kita semua sepakat bahwa kesalahan sudah terjadi dan perlu ada langkah korektif. Tapi, kenapa dalam kasus Finns, yang juga menimbulkan keresahan, penyelesaiannya hanya berupa teguran? Kenapa dalam kasus Atlas langsung muncul opsi penutupan? Apakah ada standar ganda?” ujar Dewa Wiwin saat dihubungi, Sabtu (8/2).
Menurutnya, keputusan menutup Atlas Beach Club tidak hanya berdampak pada pemilik usaha, tetapi juga pada ratusan karyawan yang menggantungkan hidup dari industri pariwisata. Jika kebijakan semacam ini terus berlanjut, Bali bisa kehilangan daya tarik bagi investor.
“Bali ini hidup dari pariwisata dan investasi. Kalau ada kesalahan, benahi dengan edukasi dan aturan yang jelas. Kalau setiap kesalahan langsung ditutup, siapa yang berani berinvestasi di Bali?” kata dia.
Penutupan usaha tanpa kajian mendalam dinilai dapat merusak iklim investasi di Bali. Dewa Wiwin menyebut langkah DPRD ini bisa menjadi preseden buruk bagi dunia usaha.
“Hari ini Atlas yang ditutup, besok siapa lagi? Kalau setiap kasus langsung dihukum dengan sanksi maksimal, dunia usaha akan merasa tidak ada kepastian hukum. Kalau investor mulai takut, dampaknya bukan hanya ke pengusaha besar, tapi juga ke pekerja lokal,” kata Dewa Wiwin.
Dia juga mengingatkan DPRD untuk lebih berhati-hati dalam mengeluarkan rekomendasi yang berdampak luas. Apalagi, sektor pariwisata Bali belum sepenuhnya pulih setelah dihantam pandemi Covid-19.
“Kalau kita ingin menjaga Bali sebagai destinasi investasi yang menarik, kebijakan harus konsisten dan berbasis aturan yang jelas. Jangan sampai kebijakan justru menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku usaha,” ujar dia.
Dewa Wiwin meminta DPRD Bali lebih transparan dalam mengambil keputusan. Jika tujuan utamanya adalah menjaga kesucian agama dan budaya Bali, maka sanksi harus diterapkan secara adil kepada semua pelaku usaha yang melakukan pelanggaran serupa.
“DPRD harus menjelaskan kepada publik, apa dasar keputusan ini? Kalau soal penghormatan terhadap simbol agama, kenapa kasus lain bisa selesai hanya dengan teguran? Jangan sampai publik berpikir ada faktor lain yang bermain,” kata dia.
Dewa Wiwin menilai pendekatan berbasis dialog dan edukasi lebih tepat diterapkan dalam kasus ini. Dewa Wiwin menyarankan adanya regulasi yang lebih jelas mengenai penggunaan simbol budaya dan agama dalam industri hiburan agar kejadian serupa tidak terulang.
“Kalau ingin menjaga kesakralan simbol budaya, buat aturan yang tegas dan lakukan sosialisasi. Jangan menunggu ada insiden dulu baru bertindak. Kita harus membangun kesadaran bersama, bukan hanya menghukum,” katanya.
Dewa Wiwin menutup pernyataannya dengan mengingatkan DPRD bahwa kebijakan yang tidak konsisten justru dapat merugikan masyarakat Bali sendiri.
“Bali butuh aturan yang tegas, tapi juga adil dan konsisten. Jangan sampai kebijakan justru menciptakan ketakutan di kalangan dunia usaha dan merusak citra Bali sebagai destinasi wisata dan investasi,” ucapnya. 7 ind
Komentar