Pria Asal Tembuku Jualan Canang
Pascahenti Kerja di Artshop Akibat Covid-19
BANGLI, NusaBali - Pedagang canang, pejati, kawangen, dan sejenis identik dengan kaum perempuan atau ibu-ibu. Amat jarang ada laki-laki menekuni pekerjaan ini. Keterampilan membuat canang dan sarana upakara dianggap hanya keahlian ibu-ibu.
Di antara kelangkaan pedagang canang pria, I Nyoman Ade,51, warga Tembuku, Bangli salah satunya. Ayah dua anak ini saban sore, mulai sekitar pukul 15.00 Wita berjualan canang sekitar Pasar Senggol, Pasar Kidul Bangli. “Awalnya tiyang kerja di art shop di Ubud (Gianyar),” ceritanya, Minggu(2/2).
Namun, pandemi Covid-19 pada 2020 sampai 2022 menyebabkan Ade terpaksa berhenti kerja di art shop. “ Bos tiyang bangkrut,” kenangnya. Ade pun harus cari pekerjaan lain. Sampai akhirnya dia memilih berjualan canang dan piranti upacara lainnya.
“Hanya pedagang kecil, nunas niki di perempatan agung,” ujarnya. Tidak memastikan jumlah pendapatannya, Ade mengatakan cukup untuk bisa membeli sekilo beras setiap hari. “Pang ten tiyang nyampingin paican Widhi, polilah untuk numas beras sekilo setiap hari (tidak menampik anugerah Tuhan, dapatlah untuk membeli sekilo beras tiap hari),” ujarnya.
Untuk itu, Ade dan istrinya harus rela kerja keras. Jam 05.00 dini hari masuk pasar mencari janur, bunga dan perlengkapan lain. Usai itu metanding, sampai dagangannya berupa canang, pejati, kawangen, bunga dan lainnya siap dijual. Pada sebuah lapak kecil seukuran 1x 2 meter, lembaran kain dan payung kain sebagai peneduh, Ade berjualan, menuggu pembeli. “Kadang- kadang bisa sampai malam. Namun lebih sering selidan(lebih dini) sudah habis. Karena bawa juga tidak banyak. Kita pedagang kecil,” ujarnya merendah.
Biasanya pada hari-hari jelang rerahinan ( hari suci Hindu Bali) pembelian lebih ramai, dibanding hari-hari biasa. “ Itu memang demikian, karena pada rerahinan orang mebanten,” ucapnya.7k17
Komentar