nusabali

Simbolik Wujud Syukur Atas Anugerah Dewi Sri

  • www.nusabali.com-simbolik-wujud-syukur-atas-anugerah-dewi-sri

Cikal bakal penduduk di Desa Pakraman Talepud berasal dari Desa Sudarmaji seputar lereng Gunung Agung, yang dulunya rarud (pindah massal) karena terjadi bencana gering dan kekeringan dashyat.

Tradisi Masindihan di Desa Pakraman Talepud, Kecamatan Tegallalang, Gianyar (2)

GIANYAR, NusaBali
TRADISI ritual keagamaan Masindihan di Desa Pakraman Talepud, Desa Sebatu, Kecamatan Tegallalang, Gianyar sudah diwarisi krama setempat secara turun temurun. Ritual berupa saling sindir teruna-teruni selama semalaman di jaba tengah Pura Puseh yang dilaksanakan setahun sekali pada Sasih Kapitu (bulan ketujuh sistem penanggalan Bali) ini, bermakna sebagai simbolik wujud syukur atas angerah Dewi Sri.

Tidak jelas, sejak kapan tradisi Masindihan di Desa Pakraman Talepud---desa yang berbatasan langsung dengan wilayah Kecamatan Kintamani, Bangli di sisi utara---ini dimulai. Menurut Bendesa Pakraman Talepud, I Nyoman Suyasa, tradisi ini telah diwarisinya secara turun-temurun. “Sejak kapan ada tradisi ini, kami tidak tahu,” jelas Bendesa Nyoman Suyasa kepada NusaBali, Selasa (5/1).

Berdasarkan sejarah dan penuturan para tetua setempat, warga yang kini tinggal di wewidangan (wilayah) Desa Pakraman Talepud merupakan karma rarudan (warga yang datang secara massal, Red) dari Desa Sudarmaji di seputar lereng Gunung Agung, Karangasem. 

Nyoman Suyasa mengatakan, mereka dulunya rarud ke Desa Pakraman Talepud karena bencana gering (penyakit) dan kekeringan dashyat yang menimpa desa asalnya. Kawasan Talepud jadi pilihan untuk tinggal menetap dan mempertaruhkan hidup, karena hawanya sejuk, tanahnya subur. Kawasan Talepud dianggap sangat cocok untuk pertanian.

Sejarah mencatat, karma Desa Pakraman Talepud kemudian dikenal sebagai petani yang ulet dengan hasil padi dan perkebunannya yang berlimpah. Hanya saja, berkat kemajuan bidang transportasi dan komunikasi, kini banyak krama Desa Pakraman Talepud yang beralih menekuni profesi sebagai perajin, pedagang, dan pekerjaan non agraris lainnya.

Versi Nyoman Suyasa, tradisi ritual Masindihan sesungguhnya bagian dari tradisi agraris krama setempat sejak masa lampau. Makna utama ritual Masindihan adalah wujud syukur kepada Dewi Sri, manifestasi Tuhan yang memberikan anugerah kesuburan dan kesejahteraan bagi umat manusia. Ritual Masindihan ini dilakukan saat Ngapitu atau saat padi sedang mud (menumbuhkan biji beras). 

Hanya saja, ritual Masindihan ini dilakukan dominan oleh kaum teruna (remaja pria) dan teruni (remaja perempuani) bersamaan dengan karya pujawali di Pura Puseh, Desa Pakraman Talepud. “Ritual Masindihan selalu dilaksanakn pada hari kedua dalam empat hari pelaksanaan Piodalan Ageng di Pura Puseh,” beber Nyoman Suyasa.

Suyasa tidak memungkiri bahwa ritual Masindihan juga sebagai bentuk hiburan bersifat otonom khsusnya kalangan teruna-teruni. Cuma, hiburannya bernuansa ritual. Meskipun ada keriuhan, namun tetap dilakukan dari, oleh, dan untuk krama setempat. 

Selanjutnya...

Komentar