nusabali

Minta Tidak Dilarang, Pendaki Gunung Minta Bali Berlakukan Simaksi

Pendapatan Terancam ‘Melorot’, Usaha Penyewa Alat Outdoor Minta Kaji Ulang

  • www.nusabali.com-minta-tidak-dilarang-pendaki-gunung-minta-bali-berlakukan-simaksi

MANGUPURA, NusaBali.com – Kabar soal larangan naik gunung di Bali untuk para pendaki lokal ataupun wisatawan asing membuat usaha penyewa alat outdoor langsung lemas. I Kadek Agus Dwiantara, yang menjadi salah satu pemilik usaha persewaan berharap regulasi ini dikaji ulang.

“Menurut saya larangan pendakian gunung di Bali itu kurang cocok, karena di Bali adalah tempat pariwisata. Tetapi kalau misalnya ada odalan (upacara agama) seperti di Besakih dan lain-lainnya, pendakian ditutup itu bagus, saya mendukung,” ungkap pemilik Mai Camping Bali, Agus Dwiantara ditemui  Senin (5/6/2023) siang.

Larangan Pemerintah Provinsi Bali itu dirasa kurang tepat karena dapat merenggut mata pencaharian bagi masyarakat di sekitar pendakian. Sementara, baginya sebagai pemilik usaha alat outdoor pun akan berdampak terhadap penurunan pendapatan. Meski masih menjadi usaha sampingan, dirinya mengaku penyewaan alat hiking itu menjadi salah satu pemasukan terbesar dari usahanya.

“Kalau penyewaan ini sebagai sambilan karena masih kuliah. Namun jika ada larangan itu, income yang masuk ke saya pun akan berkurang karena awalnya yang mau mendaki dan suka hiking di gunung tidak jadi melakukan pendakian ataupun menyewa alat ke saya,” lanjut pria yang saat ini berstatus sebagai mahasiswa D4 Jurusan Teknik Mesin, Politeknik Negeri Bali.

Rata-rata pendapatan per bulan dari penyewaan alat outdoor itu, lanjut Agus, bisa meraup omzet sebesar Rp 3 juta sampai Rp 4 Juta per bulannya. Bahkan, jika ramai bisa mendapat income sebanyak Rp 10 hingga Rp 20 juta per bulan.

Para penyewa alatnya pun, diterangkannya rata-rata pergi mendaki ke gunung Batur, Gunung Agung, dan Bukit Trunyan yang menjadi tiga lokasi pendakian favorit saat ini.

“Karena saat ini peraturannya belum berlaku, penyewaan sekarang astungkara masih aman, karena masih libur semester. Jadi yang nyewa masih ada,” ungkapnya.

Agus yang juga sebagai penghobi hiking ke gunung itu juga menerangkan, terdapat perbedaan mendaki gunung yang ada di Bali dengan gunung yang ada di Jawa.

Di Jawa, terangnya sudah dilengkapi dengan Simaksi atau Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi. Surat izin ini adalah tiket masuk bagi para pendaki sebelum melakukan pendakian ke gunung tertentu. Tak hanya itu, pendakian di Jawa  juga memiliki peraturan yang lebih ketat.

Sehingga, ia mengaku aturan mendaki gunung di Jawa bisa menjadi sebuah perbandingan. Aturan yang dibuat oleh pemerintah pusat diharapkan diberlakukan di Bali dan bisa lebih efektif serta tidak merugikan pihak lain.

Namun, Agus senang akan kepedulian Gubernur Bali, Wayan Koster untuk menjaga kesucian gunung di Bali. Memang akhir-akhir ini, ia mengaku beberapa pendaki dari wisatawan mancanegara berulah tak baik di atas gunung yang dianggap suci oleh masyarakat Bali.

“Tetapi tidak semua pendaki seperti itu, bahkan ada para pendaki yang mendaki gunung untuk membersihkan area gunung itu seperti melakukan bersih-bersih dan mengambil sampah,” ungkapnya.

Agus pun berharap, Pemerintah Provinsi Bali dapat kembali mengkaji dan mempertimbangkan peraturan soal larangan pendakian gunung di Bali bagi wisatawan lokal ataupun wisatawan mancanegara.
 
“Harapannya semoga tidak ditutup ya, karena banyak masyarakat Bali yang menggantungkan hidupnya dari gunung yang ada di Bali. Silahkan ditutup sesuai dengan prosedurnya jikalau ada odalan (upacara agama) ataupun musim hujan untuk recovery gunung,” pungkasnya. *ris

Komentar