nusabali

Guru Honorer SD Masadu ke Dewan

  • www.nusabali.com-guru-honorer-sd-masadu-ke-dewan

“Guru honorer hanya menerima upah sekitar Rp 490 ribu sampai Rp 1 juta, padahal ada yang sudah memiliki masa kerja sampai 15 tahun dan pendidikan rata-rata sarjana”

DENPASAR, NusaBali
Belasan guru honorer yang tergabung dalam Forum Komunikasi Guru Honorer Tingkat Sekolah Dasar (SD) se-Kota Denpasar mendatangi Gedung DPRD Kota Denpasar, Kamis (15/6) kemarin. Kedatangan para guru honorer ini untuk menyampaikan keluh kesah terkait kesejahteraan mereka yang dirasa masih terabaikan. Sementara kegiatan dan kewajiban sebagai guru harus terpenuhi.

Kedatangan para guru honorer, diterima Wakil Ketua DPRD Kota Denpasar, I Made Muliawan Arya, I Wayan Mariyana Wandhira, Ketua Komisi IV DPRD Denpasar, I Gede Semara dan sejumlah anggota Komisi IV DPRD Denpasar. Turut hadir juga, Kepala Bidang Pembinaan Pendidikan Sekolah Dasar Disdikpora Kota Denpasar, I Ketut Sudana.

Dalam pertemuan tersebut, Ketua Forum Komunikasi Guru Honorer Tingkat Sekolah Dasar (SD) se-Denpasar, I Komang Eka Putra, mengatakan kehadirannya ke gedung dewan untuk menyampaikan keluh kesah dan mempertanyakan nasib ratusan guru honorer di Denpasar yang hingga kini kesejahterannya masih terabaikan.

Bahkan keberadaan guru honorer tingkat SD di Denpasar mendapatkan penghasilan yang tidak layak. Selain itu dari sisi kesejahteraan sosial baik kesehatan juga tidak mendapatkan perhatian yang layak. Padahal guru honorer telah bertugas sama seperti guru PNS di sekolah.

Menurutnya, selama ini penghasilan guru honorer SD didapatkan dari dana komite. Namun, pasca penerapan Perpres 87 Tahun 2016 tetang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) komite tidak berani lagi menerima dana sumbangan orangtua yang menyebabkan guru honorer tidak mendapatkan upah yang layak. "Selama ini sebagian besar guru honorer digaji dari dana komite dan belanja pegawai dari dana BOS sebanyak 15 persen dari dana BOS yang diterima sekolah. Namun sekarang dana komite sudah tidak ada, jadi nasib kami semakin tidak jelas. Guru honorer hanya menerima upah sekitar Rp 490 ribu sampai Rp 1 juta, padahal ada yang sudah memiliki masa kerja sampai 15 tahun dan pendidikan rata-rata sarjana," ujar guru SD 12 Kesiman ini.

Pihaknya mengharapkan dengan adanya kesempatan untuk diskusi dengan wakil rakyat, dapat memberikan kejelasan kepada para guru honorer terkait kesejahteraan dan nasib kedepannya. Pihaknya hanya menginginkan agar para guru honorer diberikan kesejahteraan yang layak, minimal digaji sesuai Upah Minimum Kota (UMK) dan diberikan pelayanan kesehatan. "Kami yakini keberadaan kami sangat dibutuhkan, karena banyak guru PNS telah pensiun.  Namun kami hanya menanyakan apa begini terus. Denpasar ini ibu kota dan barometer pendidikan. Selain itu, sangat memilukan ketika kami membandingkan diri dengan pegawai kontrak SKPD di Kota Denpasar, ada yang hanya berpendidikan SMA atau bahkan SMP digaji UMK.  Bagaimana dengan kami yang tamatan S1 yang digaji jauh sekali dari UMK?" ujarnya setengah bertanya.

Hal senada disampaikan I Wayan Damai Yasa. Menurut pria yang juga guru honorer ini, keberadaan guru honorer sangat dibutuhkan di sekolah-sekolah mengingat sekolah-sekolah di Denpasar sangat kekurangan guru berstatus PNS. Namun demikian, keberadaan guru honorer di Denpasar belum diperhatikan kesejahteraannya. Padahal, lanjut dia, kenyataannya setiap program pemerintah yang dilaksanakan oleh sekolah hampir sebagian besar dilaksanakan oleh guru honorer. "Kami telah bekerja dengan kesungguhan hati kami. Kami mulai bekerja dari pukul 7.30 sampai 12.45 Wita, ada ataupun tidak ada jam mengajar, kami tetap harus berada di sekolah. Tetapi, upah yang kami terima jauh dari kata manusiasi. Selain itu status kami tidak jelas, kami seakan-akan tidak dianggap," keluhnya.

Pihaknya juga menyayangkan tidak adanya sistem pengangkatan minimal pegawai kontrak untuk guru honorer di Denpasar. "Kami melihat ke kabupaten lain, tidak usah melihat kabupaten Badung, kenapa Gianyar ada GTT (Guru Tidak Tetap), di Tabanan ada guru kontrak, di kabupaten-kabupaten lain juga ada, kenapa justru di Denpasar yang merupakan ibukota dari Provinsi Bali yang notabene adalah barometer pendidikan di Bali tidak ada?," ujarnya setengah bertanya.

Dikatakan, sesuai dengan UU Guru dan Dosen RI No 14 Tahun 2005 bagian kedua tentang Hak dan Kewajiban, pasal 14 ayat 1 point A, telah diatur bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesiannya, guru berhak memperoleh penghasilan diatas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. "Tetapi pada kenyataannya, kami masih belum menerima apa yang seharusnya menjadi hak kami," ujarnya.

Mengingat hal tersebut, pihaknya mengharapkan agar pada pertemuan kali ini dapat diperjuangkan harapan-harapan dari ratusan guru honorer di Denpasar. "Ada beberapa hal yang kami harapkan, yakni kami berharap mendapatkan SK dari walikota sebagai persyaratan untuk mendapatkan NUPTK. Kedua kami harapkan penghasilan minimal UMR/UMK. Kami juga mengharapkan adanya jaminan kesejahteraan sosial. Bilamana ada perekrutan Guru Kontrak dan sebagainya agar kami yang sudah mengabdi di sekolah SD secara otomatis dikontrak," tandasnya.

Terkait kondisi ini, Ketua Komisi IV DPRD Denpasar, I Gede Semara beserta sejumlah anggota mengaku sangat prihatin terkait dengan upah guru honorer. Pihaknya mengaku para guru honorer telah bekerja dengan luar biasa dengan penghasilan yang sangat memprihatinkan.

"Sebenarnya kami  sudah mengusulkan sejumlah Rp 64 miliar untuk upah guru honorer. Namun kendalanya dari dana yang tidak mencukupi, karena PAD Denpasar hanya Rp 800 miliar. Anggaran pendidikan sebesar 30 persen dan itu secara menyeluruh. Kalau di luar Denpasar,  sebagian besar untuk guru honorer. Tapi di Denpasar lebih banyak ke Gedung Fisik," ujarnya.

Sementara Wakil Ketua DPRD Denpasar, I Wayan Mariyana Wandhira, mengaku para guru honorer selama ini telah bekerja dan mau digaji seadanya. Namun, semestinya walaupun mau digaji seadanya dalam konteks ini biaya hidup guru honorer harus disesuaikan. Pihaknya  mendorong agar pemerintah memperhatikan kesejahteraan guru, apalagi guru honorer, sebab beberapa SD di Denpasar kekurangan guru karena guru PNS sedikit. "Sekolah sangat bergantung pada guru honorer. Bayangkan kalau tidak ada guru honorer siapa yang mengajar anak-anak kita di sekolah?. Maka dari itu, telah menjadi kewajiban dan wajar jika pemerintah minimal memperhatikan kesejahteraan hidup mereka. Pemerintah melalui dinas lebih-lebih walikota harus berani memberikan kebijakan, sepanjang sesuai dengan peraturan," ujarnya.

Wandhira juga sepakat jika guru honorer dapat diangkat minimal sebagai tenaga kontrak, sama seperti tenaga kontrak yang ada di SKPD terkait. Sehingga para guru bisa mendapatkan upah setara minimal UMK. "Kenapa SKPD dengan mudahnya bisa melakukan kontrak pegawai, tetapi ini guru honorer yang sudah jelas-jelas bekerja tetapi tidak bisa dikontrak?" tandasnya.

Wakil Ketua DPRD Denpasar, Made Muliawan Arya yang memimpin jalannya pertemuan mengaku sangat menyadari keluhan dari para guru honorer. Untuk itu, pihaknya berjanji akan memperjuangkan permohonan para guru honorer untuk disampaikan kepada Walikota Denpasar, IB Rai Dharmawijaya Mantra. Terkait dengan anggaran senilai Rp 64 miliar dari APBD, pihaknya melalui badan anggaran akan mengusahakan mengawal rancangan anggaran tersebut agar bisa direalisasikan minimal di anggaran perubahan. *cr63

Komentar