nusabali

Pesan Prof Dibia ke Pragina Muda: Jadilah Penari yang Mataksu dan Beridentitas

  • www.nusabali.com-pesan-prof-dibia-ke-pragina-muda-jadilah-penari-yang-mataksu-dan-beridentitas

DENPASAR, NusaBali.com - Menjadi pragina (penari) tradisional maupun modern sah-sah saja. Kalau menjadi penari modern, jadilah penari modern yang memiliki identitas budaya Bali.

Pesan ini disampaikan oleh Prof Dr I Wayan Dibia SST MA. Sosok yang sudah tidak asing lagi bagi sebagian besar seniman, sastrawan, dan budayawan di Bali.

Ketika dijumpai di sela acara perayaan Hari Tari Sedunia di Kota Denpasar pada Rabu (29/4/2023), Prof Dibia menekankan beberapa poin untuk pragina muda di Bali.

Maestro tari peraih penghargaan Padma Shri dari Pemerintah India ini meminta penari muda untuk terus mengasah diri. Yang diasah bukan saja teknik menari tetapi juga menyelami makna atau filosofi dari seni tari Bali.

"Dengan ini, menggeluti aktivitas berkesenian di bidang seni tari sekaligus dapat menjadi medium peningkatan kecerdasan diri dan sebagai semangat untuk terus meningkatkan kualitas diri," ujar purnabakti guru besar ISI Denpasar.

Seniman kelahiran Singapadu, Gianyar pada 75 tahun silam mengingat para penari muda agar tidak mendikotomikan tari tradisional dan tari modern. Kata Prof Dibia, seniman muda hendaknya memandang tradisi sebagai sesuatu yang dinamis bukan sebuah kekakuan.

Seni tari tradisi dinilai tetap memberikan ruang untuk berinovasi. Hal ini pun sudah dibuktikan oleh beberapa sanggar yang didirikan seniman muda. Meskipun sudah diinovasikan, karakter tari Bali itu masih ada namun dikemas lebih up-to-date (kekinian).

"Kalau mereka yang memang berkeinginan menjadi penari modern, jadilah penari modern yang benar. Tetapi (jadilah) penari modern yang beridentitas budaya Bali," imbuh mantan penari Hanoman di kala muda.

Sementara yang menjadi perhatian Prof Dibia terhadap perkembangan seni tari di kalangan pragina muda adalah soal perkembangan zaman. Sebagai sesepuh pragina, dia melihat keberadaan ponsel pintar sedikit banyak mengganggu konsentrasi penari muda.

Kondisi yang Prof Dibia sebut sebagai 'gangguan' ini menjadi salah satu penyebab keberadaan taksu dalam seni tari semakin melorot. Sebab, ketika sudah dalam kondisi 'siaga' untuk menari, baik pikiran maupun fisik seutuhnya dikonsentrasikan kepada tarian, pantang untuk hal lain.

Tabiat mulat sarira (mengontrol diri) inilah yang biasa dipraktikkan oleh para pragina di masa lalu. Maka tidak heran, taksu atau vibrasi kesatuan antara penari dengan tari itu begitu padu.

"Persoalan yang paling mendesak untuk saat ini, bagaimana semua orang (penari) itu (bisa) berusaha untuk menampilkan taksunya sendiri. Karena taksu sudah semakin melorot diganggu konsentrasi yang kurang," tandas pencipta Tari Wirayuda. *rat

Komentar