nusabali

Viral Isu Sengketa Batas Adat, Dinas PMA Bali Minta Utamakan 'Pasuwitran Nyatur Desa'

  • www.nusabali.com-viral-isu-sengketa-batas-adat-dinas-pma-bali-minta-utamakan-pasuwitran-nyatur-desa

MANGUPURA, NusaBali.com – Ketegangan antara jajaran Pemkab Badung dengan Prajuru Adat Pemogan, Kota Denpasar soal pembangunan gapura batas adat pada Senin (10/4/2023) lalu memantik pergunjingan tentang sengketa batas wilayah desa adat di Bali.

Ketegangan di Jalan Griya Anyar yang secara administratif masuk wilayah Kecamatan Kuta, Badung itu terkonfirmasi bukan ‘merebutkan’ tanah adat. Melainkan soal penggunaan ruang milik jalan (rumija) yang secara hukum merupakan tanah negara untuk membangun gapura tanda batas adat.

Sayangnya video ketegangan itu sudah keburu menyebar di media sosial dan cenderung menarasikan ke ranah konflik adat namun dicampuri dinas dalam hal ini Pemkab Badung. Padahal pada saat ketegangan itu terjadi, tidak ada unsur Desa Adat Kuta yang terlibat.

Berdasarkan hasil pertemuan Pemkab Badung dengan Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) Provinsi Bali pada Rabu (12/4/2023) di Puspem Badung, desa adat dikatakan memang mengalami euforia pasca tahun 2019. Sebab, pada tahun itu telah terbit Perda Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali.

Perda ini dinilai memberikan napas baru dan penguat bagi keberadaan desa adat di Bali yang pada dasarnya tujuannya positif untuk menjaga ke-ajeg-an Bali. Akan tetapi, di saat yang sama, gesekan akibat ego desa adat juga sulit dihindari terutama soal tapal batas adat yang terbilang asumtif.

“Dari banyak awig-awig yang saya baca, hampir semua batas adat itu ditandai dengan penampakan alam seperti bengang (kawasan hijau tanpa penduduk), sungai, bukit, taru ageng (pohon besar). Batas ini saling seluk (beririsan) sehingga sulit dipastikan batas-batasnya,” jelas Kepala Dinas PMA, IGAK Kartika Jaya Saputra dalam pertemuan.

Akan tetapi kejelasan batas desa adat sama pentingnya dengan batas administratif, bedanya batas adat tidak diatur jelas dalam hukum positif sedangkan batas kedinasan diatur dalam Permendagri. Sementara itu, batas adat berperan penting dalam dinamika urusan keagamaan dan kegiatan adat di Bali termasuk soal kesucian dan kacuntakan (kotor) wilayah.

Melihat nilai yang dipegang para leluhur maupun catatan sejarah soal adat seperti pasamuan agung (persidangan) Majelis Utama Desa Pakraman pada tahun 2006. Ada satu nilai dan norma yang disebut ‘pasuwitran nyatur desa’. Secara harfiah hal ini bermakna persahabatan di sekeliling desa.

Nilai inilah yang dijadikan pegangan untuk resolusi konflik eksternal seperti salah satunya soal batas-batas desa adat. Dalam disertasi gelar doktor hukum I Made Suwitra di Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya pada tahun 2009, dijelaskan prinsip ‘nyatur desa’ ini.

Dalam disertasi berjudul ‘Eksistensi Hak Penguasaan dan Pemilikan atas Tanah Adat di Bali dalam Perspektif Hukum Agraria Nasional’ itu, prinsip batas wilayah dalam ‘nyatur desa’ ini ada dua. Pertama adalah batas-batas itu harus diakui oleh krama (warga) desa adat sendiri, kemudian batas-batas itu juga harus diakui oleh desa-desa lain di keempat penjuru (nyatur) desa bersangkutan.

Pengakuan itu dituangkan dalam bentuk tertulis seperti awig-awig di masing-masing desa adat. Ketika terjadi sengketa batas wilayah maka harus maparuman dulu dengan desa adat yang diajak berbatasan berdasarkan asas pasuwitran (persahabatan). Di lain sisi, kehendak salah satu pihak tidak boleh dipaksakan apabila tidak disepakati secara bersama.

“Tidak boleh desa adat itu menentukan sendiri batas wilayahnya, harus diajak bicara dulu desa adat tetangga. Kalau memang tidak memungkinkan ditentukan batas adat yang jelas, sementara dibiarkan dulu sebagaimana telah berjalan kemudian dibuat pangeling-eling atau kesepakatan,” tutur Kartika selaku Kepala Dinas PMA.

Cara ini mungkin terdengar sulit apabila dipraktikkan di lapangan sebab dinamikanya sangat cair dan kadang-kadang sangat ‘panas’. Namun, apabila desa adat memang merupakan wahana yang membawa visi menjaga warisan leluhur seharusnya diingat pula nilai penyelesaian konflik ini juga diwariskan leluhur. Konsistensi tanpa standar ganda sangat diperlukan. *rat

Komentar