nusabali

Warga Tionghoa Klungkung Ritual Cheng Beng

Ada Makam Tua Tahun 1926 dan Kereta Jenazah

  • www.nusabali.com-warga-tionghoa-klungkung-ritual-cheng-beng
  • www.nusabali.com-warga-tionghoa-klungkung-ritual-cheng-beng

SEMARAPURA, NusaBali.com – Masyarakat Klungkung etnis Tionghoa menggelar ritual Cheng Beng di Kuburan Warga Tionghoa Tegallinggah, Jalan Gunung Merapi Nomor 14, Semarapura Kelod Kangin, Klungkung, Bali pada Rabu (5/4/2023) pagi.

Didampingi oleh Sekretaris Lao Cu Cing Bing, Santosa Muliawan, Ketua Lao Cu Cing Bing, Hermanto Wijoyo menerangkan umat atau warga sudah silih berganti mendatangi kuburan untuk berziarah di makam para leluhur mereka.

Ia menerangkan rangkaian gelaran Cheng Beng sendiri sudah dilaksanakan sejak Selasa (21/3/2023) silam dengan gotong royong bersama membersihkan area makam dan juga dilaksanakan persembahyangan pembuka.

“Hari Cheng Beng dikenal sebagai hari bakti leluhur. Kami sebagai etnis Tionghoa memperingati ini setiap tahunnya. Jadi peringatan itu ditujukan kepada para leluhur yang telah mendahului kami. Kalau ada makamnya kami berziarah ke makam untuk tabur bunga dan mempersembahkan sarana persembahyangan,” ujar Santosa saat ditemui di lokasi pada Rabu (5/4/2023) siang.

Ia juga turut menjelaskan gelaran ini dilaksanakan rutin setiap satu tahun sekali, pada tanggal 4 April atau 5 April tahun kabisat. Pada Rabu (5/4/2023) ini pun, dikatakannya merupakan hari puncak Cheng Beng dan pada pukul 09.00 Wita sudah dilaksanakan persembahyangan ke seluruh makam.

Selaras dengan hal tersebut, Wakil Ketua Vihara Dharma Ratna Klungkung, Sosan Muliono menjelaskan sejak pukul 12.00 Wita dilakukan persembahyangan yang dimulai dari penyembahan altar Toa Pek Kong, dilanjutkan ke Altar Ho Ping, dan diakhiri di altar Dewa Dewi oleh panitia Lao Cu Cing Bing yang selanjutnya diikuti oleh para pengurus dan para umat.

“Awal masuk Cheng Beng pada Selasa (21/3/2023), umat yang memiliki waris makam di sini datang ke makam leluhur. Di awali dengan pembersihan makam, tabur bunga, mandi kembang, dan menyuguhkan teh, bunga, manisan, dan makanan lainnya. Ini adalah tradisi turun temurun,” jelasnya.

Sementara bagi umat yang tidak memiliki makam leluhur, mereka akan datang ke pantai atau sumber mata air yang disucikan untuk memanggil para leluhurnya. Biasanya lokasi itu berada di sisi Barat Pantai Klotok, di sisi timur Pantai Jumpai, atau di lokasi yang terdekat.

“Istilahnya di panggil diajak pulang untuk ikut memperingati Cheng Beng,” imbuhnya.

Foto: Makam tua yang sudah ada sejak tahun 1926. -RIKHA SETYA

Kuburan seluas 45 are tersebut, kata Sosan memiliki hampir 231 makam. Namun uniknya, di makam itu memiliki makam tua yang sudah ada sejak tahun 1926. Dilihat dari pantauan NusaBali makam tersebut berada paling pojok dekat dengan pohon bambu kuning. Pada batu nisan pun masih jelas bertuliskan marga Kwee dengan nama Soei Gie yang wafat pada 8 November 1926.

“Itu adalah makam yang sangat tua di sini. Di sana tercatat dari marga Kwee yang meninggal pada tahun 1926. Itu sepertinya tidak ada pewarisnya tetapi masih terbaca tulisan di batu nisannya,” ungkapnya.

Walaupun tak memiliki pewaris, Ketua Divisi Kemanusiaan Yayasan Suka Duka Tulus Hati, Tito Wahyudi menerangkan pewaris makam yang ada di samping makam tua tersebut terkadang menyapa (memberikan sesajen).

“Saat ini tidak ada yang berziarah ke makam itu. Tetapi tetangga-tetangga makam itu biasanya ngejotin atau sekadar menyapa. Saat ini tetap disuguhkan canang, bunga, teh dan lainnya,” terangnya.


Foto: Kereta jenazah khas etnis Tionghoa yang masih difungsikan hingga kini. -RIKHA SETYA

Tito juga menerangkan, di kuburan itu masih memiliki kereta jenasah khas etnis Tionghoa. Awalnya, kata Tito kereta jenazah tersebut berada di Padangbai pada tahun 1961. Namun karena warga Tionghoa banyak berimigrasi ke Klungkung, sejak tahun 1975an kereta jenazah tersebut di pindah dan dirawat oleh Yayasan Suka Duka Tulus Hati, Klungkung. Kereta tersebut pun masih difungsikan sampai saat ini untuk menjemput jenazah yang meninggal di sekitar area Semarapura, Klungkung.

“Kereta ini digunakan kalau ada kedukaan di salah satu warga dan jenazahnya disemayamkan di rumah duka. Jadi kalau hendak dikremasi atau di kubur kereta ini yang menjemput. Itu pun ditarik oleh warga kami,” tuturnya.

Sebagai informasi tambahan, kereta jenazah tersebut berbahan full dari kayu jati asli dan terakhir digunakan pada tahun 2021. Saat ini, kereta tersebut terparkir rapi di bangunan khusus yang terletak di kuburan warga Tionghoa, Tegallinggah Klungkung dan dilakukan pembersihan setiap enam tahun sekali. *ris

Komentar