nusabali

Sanggar Seni Mudra Tampilkan Drama Gong Remaja dari Sastra Bali Modern 'Katemu ring Tampaksiring' di PKB 2023

  • www.nusabali.com-sanggar-seni-mudra-tampilkan-drama-gong-remaja-dari-sastra-bali-modern-katemu-ring-tampaksiring-di-pkb-2023

MANGUPURA, NusaBali.com – Sanggar Seni Mudra dari Banjar Sandakan, Desa Sulangai, Kecamatan Petang dipercaya menjadi duta Kabupaten Badung dalam kategori drama gong remaja pada Pesta Kesenian Bali (PKB) XLV Tahun 2023 mendatang.

Sanggar seni binaan I Gusti Lanang Subamia ini bakal menampilkan sebuah pementasan drama gong di Kalangan Ayodya pada Selasa (27/6/2023) mendatang. Drama gong pada PKB tahun ini memang dikemas berbeda yakni mengangkat kisah dari karya sastra Bali anyar (modern), tidak seperti sebelumnya yang berkisah para tokoh istana sentris.

Dari enam judul yang disiapkan kurator drama gong PKB XLV, Sanggar Seni Mudra memilih alur cerita dari cerpen karya Made Sanggra yang bertajuk ‘Katemu ring Tampaksiring’. Cerpen yang terbit sekitar tahun 1978 ini mengisahkan pertemuan haru Ni Luh Kompiang dan anaknya yang keturunan tentara Belanda yakni Combosch alias Van Steffen.

“Latar yang diambil kisah ini adalah tahun 1970-an ketika Ratu Belanda Juliana berkunjung ke Bali. Van Steffen ini adalah seorang wartawan yang saat itu sedang meliput kunjungan ratu. Ini bukan cerita sejarah mutlak tetapi berangkat dari peristiwa sejarah,” kata Lanang Subamia ketika ditemui di kediamannya sekaligus markas sanggar pada Minggu (2/4/2023) sore.

‘Katemu ring Tampaksiring’ yang digarap menjadi drama gong terdiri dari 9 babak. Lanang Subamia berusaha mempertahankan alur cerita seperti aslinya yakni dimulai dari pertemuan Ni Luh Kompiang dan Van de Bosch, seorang tentara Belanda, di Desa Carangsari. Latarnya mengambil era sekitar 1940-an.

Kisah keduanya berlanjut hingga jatuh cinta dan menikah. Namun, maut memisahkan mereka ketika Van de Bosch tewas pada peperangan di Lembang, Jawa Barat. Van de Bosch meninggalkan Ni Luh Kompiang, putranya yang masih belia yakni Combosch, dan putrinya yang masih dalam kandungan, Ni Luh Rai.

Combosch yang merupakan keturunan Belanda dibawa pulang oleh utusan kerajaan ke negara ayahnya. Combosch diasuh oleh yayasan yatim piatu di Rotterdam dan ketika dewasa, ia diberi nama Van Steffen. Takdir seakan membawanya kembali ke Indonesia saat Ratu Juliana berkunjung ke tanah air pada 1971 dan Van Steffen bertugas meliput peristiwa sejarah ini.

“Singkat cerita Ratu Juliana berkunjung ke Tampaksiring. Di waktu senggang dalam kunjungan ini, Van Steffen keluar melihat lingkungan sekitar ditemani guide bernama Gladag dan Gledig. Diceritakan di sana, Van Steffen tertarik dengan sebuah art shop yang ternyata dijaga oleh Ni Luh Rai,” tutur Lanang Subamia yang juga pembina Widya Sabha Badung.

Tanpa mengetahui latar belakang satu sama lain, Ni Luh Rai dan Van Steffen sama-sama memiliki rasa dan jatuh cinta. Hubungan ini terus berlanjut hingga Ni Luh Kompiang curiga dengan tingkah laku putrinya dan pada akhirnya meminta agar Luh Rai tidak berhubungan dengan orang asing sebab risikonya tinggi.

Foto: Lanang Subamia mamungkah (memulai) cerita drama gong pada saat latihan. -NGURAH RATNADI

Pada suatu ketika Ni Luh Kompiang sakit dan ditemani sang putri. Di saat itu pula Van Steffen datang usai mewartakan kunjungan Ratu Juliana ke Pura Besakih. Pada saat inilah Ni Luh Kompiang berusaha mengulik orang asing yang dekat dengan putrinya itu. Sampai fakta mengejutkan terungkap bahwa Van Steffen adalah Combosch, putra Ni Luh Kompiang.

Pertemuan kembali itu pun berlangsung haru ketika Van Steffen dan Ni Luh Kompiang sama-sama memiliki foto keluarga berisikan Combosch kecil. Pada saat ini pula, Ni Luh Rai membuat kejelasan dalam hubungan keduanya bahwa perasaan suka mereka sebaiknya dijadikan rasa kasih sayang antarsaundara.

“Mengingat di dalam alur cerita ini tidak ada tokoh antagonis dan untuk drama gong, hal ini jadi kelemahan karena ‘lalah (pedas) manisnya’ tidak ada. Kurator, Prof Dibia akhirnya mengobrol langsung dengan Pak Sanggra untuk mengembangkan cerita karena sebelumnya juga sudah pernah dijadikan arja (drama tari),” sebut Lanang Subamia yang juga Patajuh Desa Adat Sandakan.

Lantas diselipkanlah beberapa tokoh termasuk salah satunya tokoh antagonis yakni I Wayan Gabler, anak Bendesa Manukaya yang sifatnya memaksakan kehendak dan ugal-ugalan. Gabler mengambil sifat raja buduh (gila) jika disandingkan dengan drama gong klasik. Ia diceritakan sangat menyukai Ni Luh Rai dan berhasrat menikahinya.

Drama gong ‘Katemu ring Tampaksiring’ akan diiringi gong gebyar lengkap dengan kurang lebih 29 penabuh. Mengingat dasar cerita diambil dari sastra modern, tampilan busana, dekorasi panggung, dan properti pun bakal disesuaikan. Hal ini berbeda dengan drama gong klasik yang ‘cukup’ dengan busana drama gong pada umumnya dan langse (tirai) sebab panggung bergapura sudah selayaknya visual istana atau kerajaan.

Kata Lanang Subamia selaku penggarap drama gong, penggunaan sastra Bali modern sebagai dasar cerita ini menjadi tantangan tersendiri. Sebab, drama gong sendiri biasanya identik dengan tokoh feodal seperti patih agung, raja muda, raja buduh, dan lainnya. Sementara itu, drama gong yang berdasarkan cerpen ini dipatok berdurasi 180 menit atau tiga jam.

Di samping itu, kriteria drama gong sendiri mengharuskan jumlah pemeran minimal 15 orang sedangkan ‘Katemu ring Tampaksiring’ hanya memiliki 9 tokoh. Mengatrol jumlah pemeran ini sendiri disebut cukup menyulitkan lantaran pekerjaannya tidak hanya cukup menambah orang melainkan menambah dialog dan menyesuaikan dengan alur cerita pula.

Sementara itu, I Gusti Made Sumadi, sang pembina pragina (penari) menjelaskan, tidak semua pragina yang terlibat pernah memerankan drama gong. Sebab, usia pragina dibatasi dari 16 sampai 28 tahun. Oleh karena itu, pragina yang tidak memiliki basic drama gong juga digojlok untuk berani unjuk gigi.

“Sebagian besar memang sudah pernah pentas (drama gong dan arja) tetapi beberapa juga belum pernah jadi perlu dilatih lebih mendalam,” jelas Sumadi ketika dijumpai dalam kesempatan yang sama.

Saat dikunjungi NusaBali.com pada Minggu sore, komponen pragina dan penabuh baru pertama kali disandingkan dalam satu latihan setelah dilatih terpisah sejak awal Januari 2023. Urusan penguasaan panggung dan materi cerita termasuk adegan dan lawakan masih punya waktu untuk digeber selama tiga bulan ke depan. *rat

Komentar