nusabali

Maestro Barong I Wayan Reka, Aktif Berkarya di Usia Sepuh, Kalau Diam Justru Bingung

Maestro Barong dari Banjar Puaya, Desa Batuan, Sukawati, Gianyar

  • www.nusabali.com-maestro-barong-i-wayan-reka-aktif-berkarya-di-usia-sepuh-kalau-diam-justru-bingung

Dulu Wayan Reka sering berkeliling desa di Bali mengerjakan barong, karyanya yang bernuansa sakral banyak tersebar di Pura Kahyangan Tiga di Bali.

GIANYAR, NusaBali
Maestro perajin Barong asal Banjar Puaya, Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Gianyar, I Wayan Reka,81, masih aktif berkarya. Meskipun kondisi kesehatannya sedang tidak baik-baik saja, Wayan Reka mengaku tidak bisa berdiam diri. "Kalau diam saya justru bingung," ungkapnya saat ditemui NusaBali, Jumat (31/3). 

Suami dari Ni Ketut Kanti ini masih mengerjakan pesanan barong maupun pakaian tari. Sayangnya, belum pulihnya perekonomian pasca pandemi Covid-19 membuatnya turut kena imbas. "Ada order yang sudah jadi, tapi belum diambil karena alasan belum ada dana. Ada juga yang baru rencana bikin barong, tapi masih rapat anggaran. Jadi situasinya sudah sangat berbeda dengan dulu," kenangnya. 

Order yang telanjur jadi tersebut, yakni satu set pakaian Tari Fragmentari Ramayana yang dipesan oleh pelanggannya di kawasan Pecatu, Badung. "Awalnya order satu set langsung dibayar, kemudian order lagi katanya untuk cadangan. Tapi setelah order kedua siap kirim, ditelepon. Katanya dana belum ada, jadi ditunda dulu," kenangnya. Wayan Reka pun tak menuntut banyak, pakaian tari yang sudah masuk kardus pun dibongkar kembali. "Saya taruh di rak kaca supaya tidak rusak," terang bapak 4 anak ini. 

Oleh karena tidak bisa diam, Wayan Reka yang tak bisa berdiri lama-lama ini tetap mengerjakan barong. "Saya buat sekarang yang kecil-kecil. Yang diminati anak-anak. Biar ada saja kegiatan," jelasnya. Wayan Reka, sangat merasakan perbedaan zaman dulu dan sekarang. Bahwa dulu, dirinya keliling Bali dari desa ke desa mengerjakan Barong sakral. Wayan Reka juga aktif ke luar Bali, khususnya ke Jakarta untuk memenuhi permintaan pembuatan barong profan untuk kepentingan hiasan. Hingga kini, karya-karyanya yang bernuansa sakral banyak tersebar di Pura Khayangan Tiga hampir seluruh Bali. 

Sedangkan karya-karya profannya banyak diminati kolektor nusantara, Jepang, Amerika hingga Prancis. Salah satu barong hasil karyanya bahkan pernah dibeli oleh Ibu Tien Soeharto ketika mengikuti pameran di Nusa Dua, Badung. Sayangnya, seniman alam ini tidak ingat tahun berapa momen spesial itu terjadi. Seingatnya, Ibu Tien ketika itu kunjungan ke Bali selaku ibu negara mendampingi Presiden kedua Indonesia yang menjabat dari tahun 1967 sampai 1998. Tidak saja mahir membuat Barong, suami dari Ni Ketut Kanti ini juga spesialis membuat pakaian tari Bali, Rangda, Topeng, Wayang, dan sejenisnya, sehingga ayah 4 anak ini layak dipertimbangkan mendapatkan penghargaan Wija Kusuma.

Wayan Reka mengaku sudah cukup banyak mengantongi piagam penghargaan. Namun belum pernah sekalipun mendapat penghargaan khusus Wija Kusuma. “Paling sering tiyang dapat penghargaan sebagai peserta pameran dan juara,” jelasnya. Dari sederet piagam berbingkai yang dipajangnya di tembok rumahnya, Wayan Reka tercatat cukup sering mewakili Kabupaten Gianyar. Salah satunya tercatat sebagai Juara II Lomba Kerajinan Membuat Cenderamata dari Kulit pada PKB XIX (19) Tahun 1997. Sementara jauh sebelumnya, Wayan Reka aktif terlibat sebagai peserta pameran PKB sejak tahun 1984.


Kiprah Wayan Reka di bidang kerajinan Barong tidak terlepas dari pengaruh lingkungan. Seperti diketahui, Banjar Puaya, Desa Batuan merupakan sentra pembuatan kerajinan Barong, Rangda dan sejenisnya. “Tiyang mulai belajar ngukir kayu sejak tahun 1969. Ketika itu masih sekolah dasar,” terangnya. Wayan Reka belajar otodidak dari kakek dan ayahnya. Selain mengolah kayu menjadi tapel, Wayan Reka lanjutkan berkecimpung menjadi perajin kulit. Wayan Reka mulai membuat pakaian tari, hingga cukup dikenal oleh para seniman. 

Dua di antaranya, Prof Dr I Made Bandem dan Prof I Wayan Dibia yang sama-sama asal Kecamatan Sukawati, Gianyar. “Kokar saat itu masih di Jalan Ratna Denpasar. Tiyang yang selalu diminta untuk membuatkan pakaian tari untuk pentas,” terangnya. Beberapa jenis pakaian tari yang ia buat seperti Manukrawa, Margapati, Legong Keraton, Ramayana dan Pakaian Arja. 

“Tiyang waktu itu dibantu sekitar 16 orang pekerja. Sekarang sebagian sudah mandiri,” ungkapnya. Saat itu, Wayan Reka merasakan masa-masa kejayaan. Permintaan membuat barong maupun pakaian tari banjir dari seluruh Bali. Wayan Reka juga kerap diminta untuk membuat atau memperbaiki barong ke luar Bali. Tahun 1973, Wayan Reka mulai diminta datang ke Jakarta oleh Sanggar Saraswati pimpinan Gusti Kompyang Raka asal Singapadu. Selanjutnya sekitar tahun 1978, Wayan Reka dkk berkesempatan untuk membuat barong untuk koleksi Universitas Indonesia (UI) dan ditempatkan di Balai Kota Jakarta. 

“Waktu itu rasanya masih ikut dengan kakek misan. Barongnya diselesaikan di Bali, dirakit di Jakarta,” terangnya. Di ibukota, Wayan Reka dkk menetap sekitar 3 minggu kemudian kembali lagi untuk menetap dan berkarya di Bali. Selain Jakarta, Wayan Reka juga diundang membuat barong di daerah Kuningan, Jawa Barat tahun 2013. Barong karyanya juga menjadi salah satu koleksi Museum Sapto Udoyo Jogjakarta. “Dulu, tiyang lupa tahunnya. Ada juga ngirim ke Lampung. Kalau itu untuk disakralkan,” jelas Kelian Dinas Banjar Puaya dua periode mulai tahun 1978 hingga 1980 ini. Oleh karena usia, Wayan Reka tak bisa menghindari dari sakit penuaan. Dia divonis menderita sakit batu ginjal hingga harus dioperasi sekitar tahun 2015. Meski gerak fisiknya kini tampak mulai terbatas, raut wajah Wayan Reka mengisahkan kiprahnya di bidang kerajinan barong tampak bersemangat. Wayan Reka juga tampak menggunakan alat bantu dengar pada telinga sebelah kiri. Dalam kondisi pemulihan pasca sakit, Wayan Reka tetap berkarya. 

Untuk satu barong standar berukuran 2 sampai 3 meter, Wayan Reka dibantu pekerjanya memerlukan waktu sekitar 3 sampai 6 bulan. Satu barong, biasa dibandrol seharga Rp 95 juta hingga ratusan juta. “Kalau pakai prada mas biasanya lebih mahal. Mulai Rp 275 juta sampai Rp 350 juta,” jelas bapak dari Ni Wayan Suparti, I Made Artawa, I Nyoman Sujaya dan I Ketut Sudarma ini. Mengenai karya-karyanya yang dikirim ke luar negeri, diakui seluruhnya melalui perantara. 

“Banyak yang dikirim ke luar negeri. Tapi itu lewat perantara. Diambil di sini, dikirim ke Jepang, Amerika dan Prancis. Kadang-kadang, tamu datang langsung ke sini untuk beli,” terangnya. Selain dikoleksi oleh Bu Tien Soeharto, sepasang barong karyanya juga pernah diminati oleh Mantan Bupati Bangli Nengah Arnawa. “Ada 3 barong yang ditempatkan di Gurukula Bangli,” jelasnya. Jika dihitung, seluruh Bali, Wayan Reka mengerjakan barong sakral sekitar 90 barong. Kini sebagai estafet hidupnya dalam berkarya, diserahkan pada anak ketiganya yakni I Nyoman Sujaya. “Keempat anak tiyang sejatinya sebagai penerus, tapi Nyoman yang lebih fokus,” imbuhnya. 7 nvi

Komentar