nusabali

MUTIARA WEDA: Generasi 'Healing'

Vyartham srutamasilasya dhanam krpanajivinah, Utsāho mandabhāgyasya balam kāpurusasya ca. (Sarasamucchaya, 355)

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-generasi-healing

Apa gunanya kitab suci bagi orang yang berkarakter tidak baik, kekayaan bagi kehidupan yang menyedihkan, upaya bagi orang yang malang, dan keberanian bagi orang pengecut.

URAIAN teks di atas mungkin bisa disamakan dengan pernyataan seperti ini: ‘apa gunanya emas bagi kambing, apa artinya hidangan daging lezat bagi orang mengidap tekanan darah tinggi, apa gunanya bola bagi mereka yang tidak suka sepakbola, dan seterusnya’. Apa yang hendak dipesankan oleh teks di atas? Dari aspek utility, sesuatu akan memiliki nilai jika mengandung kegunaan. Benda akan memiliki nilai jika ada gunanya. Semakin besar gunanya barang itu, semakin besar nilainya. Teks di atas menyatakan, meskipun kitab suci dikeramatkan oleh para pemeluk agama, namun itu tidak akan bernilai sama sekali bagi orang yang tidak berkarakter. Demikian juga, kekayaan tidak akan membuat kehidupan orang menjadi bermakna jika kehidupannya tidak bahagia. Usaha tidak berarti apa-apa bagi mereka yang malang. Demikian juga, bagi seorang pengecut, keberanian tidak memiliki makna apa-apa.  

Sepertinya, teks di atas masih relevan saat ini. Mari kita lihat contoh-contohnya di lapangan. Pertama, ‘kitab suci tiada berarti bagi orang dengan karakter tidak baik’. Kitab suci mengajarkan tentang cinta kasih, saling berbagi, meningkatkan kesadaran diri, dan sejenisnya. Namun, kita lihat sekeliling. Bukan kitab suci yang memuliakan kehidupan mereka. Sebaliknya, kitab sucilah yang dimanipulasi sesuai keinginannya. Kemudian atas nama ajaran kitab suci, mereka mengajak orang-orang untuk saling bermusuhan, membenci mereka yang tidak seide, dan seterusnya. Mereka menginterpretasi teks sesuai dengan isi kepalanya. Jika tidak bisa diinterpretasi, oleh karena teks sangat kuat mengajarkan kebenaran, dia pun membencinya dan menyatakan teks itu tidak layak dipelajari. Jadi, di sini tampak bahwa isi kepala dirinya sendirilah yang bernilai, bukan kitab sucinya.

Kedua, ‘kekayaan bagi orang yang hidupnya penuh kesedihan’.  Dewasa ini semakin banyak generasi muda yang lahir dari orangtua kaya, sehingga sejak awal mereka hidup berkelimpahan dan hampir tidak pernah menghadapi persoalan hidup. Apapun yang diinginkan tersedia. Apalagi saat ini ada sebuah gagasan pendidikan dengan pola ‘menghamba pada anak’, menuruti apapun yang diinginkan, dan tidak pernah memarahi seberapa pun kesalahan yang anak lakukan, dengan alasan kasih sayang. Apa yang terjadi? Ketika mereka menginjak dewasa dan harus mengarungi kehidupan sepenuhnya, masalah pun muncul bak air bah. Bukan masalahnya yang datang berlipat-lipat, tetapi kemampuan mereka beradaptasi dengan masalah itulah persoalannya. Makanya, saat ini ‘generasi strawberry’ itu sedikit-sedikit perlu healing, belum apa-apa sudah kepayahan. Akhirnya, kekayaan yang mereka miliki habis untuk kegiatan wisata. Ke depan, kegiatan wisata menjadi life style mereka.

Ketiga, ‘usaha bagi orang yang malang’. Dalam kondisi tertentu, ada orang-orang yang kelahirannya penuh kemalangan. Apapun yang diuapayakannya selalu sia-sia, seolah bertentangan dengan hukum karmapala. Mestinya, setiap usaha akan mendatangkan hasil, tetapi bagi orang ini, semua usaha yang dilakukan tidak memiliki nilai apa-apa, karena semua usaha itu tidak mendatangkan apa-apa. Semua upayanya tidak berguna sama sekali. Menurut ilmu Jyotisa mungkin kelahiran mereka sepenuhnya dipengaruhi oleh Shani, sehingga tidak ada satu pun bintang yang memberikan support pada usahanya. Orang-orang ini ada di sekitar kita dan biasanya mudah dikenali dari cara berpikirnya. Dari semua mereka yang kelahirannya malang, ada juga orang lainnya yang selalu merasa dirinya malang. Mereka yang serakah selalu merasa kehidupan tidak pernah berpihak padanya, sehingga dia tidak pernah memberikan nilai pada usaha yang telah dilakukannya. Seberapa pun banyak yang dihasilkan, mereka selalu merasa kurang.

Keempat, ‘keberanian bagi orang pengecut’. Apa maksudnya? Mereka tidak pernah menghormati orang yang berani, karena di dalam dirinya tidak ada konsepsi tentang itu. Atau, bisa juga mereka menganggap bahwa keberanian adalah bentuk lain dari kepengecutan. Saat ada orang yang berani menyuarakan kebenaran, mereka biasanya berkomentar: ‘orang itu pasti bermotif agar dikenal dan biar dianggap berjasa’. Pikirannya selalu begitu. *

I Gede Suwantana

Komentar