nusabali

Sarana Ritual Mengusir Pengaruh Bhuta Kala

Tradisi Perang Api di Desa Adat Jasri, Karangasem

  • www.nusabali.com-sarana-ritual-mengusir-pengaruh-bhuta-kala

AMLAPURA, NusaBali
Ritual Perang Api atau Terteran dilaksanakan oleh krama Desa Adat Jasri, Kelurahan Subagan, Kecamatan Karangasem, pada Hari Pangrupukan, Anggara Umanis Uye, Selasa  (21/3) malam.

Tradisi ini digelar setiap dua tahun sekali. Tujuannya, mengusir pengaruh jahat atau bhuta kala agar tidak masuk ke wawidangan (wilayah) desa. Kelian Sabha Desa Adat Jasri dr I Komang Wirya memaparkan, tradisi ini dilaksanakan berkaitan dengan Usaba Muu-Muu, di Pura Dalem, yang puncaknya pada Soma Kliwon Uye, Senin (20/3).

Selanjutnya, saat Hari Pangrupukan, sejak pagi krama menyembelih seekor sapi dan seekor Anjing Bangbungkem, di Pura Bale Agung, untuk bahan banten pacaruan. Berlanjut krama menggelar arak-arakan menggelar pacaruan dari Bale Agung hingga ke seluruh wawidangan desa adat. Terakhir, pada sore hari menggelar upacara di Pantai Jasri Kelod, Kelurahan Subagan, Kecamatan Karangasem, terkait menyucikan pratima dan pralingga Ida Bhatara Dalem.

Setelah prosesi berakhir di Pantai Jasri Kelod, para pangayah balik ke Pura Bale Agung, pukul 20.00 Wita. Saat itulah krama se-Desa Adat Jasri khawatir, unsur bhuta kala mengikuti pangayah yang mengusung pralingga dan pratima Ida Bhatara Pura Dalem dari Pantai Jasri Kelod. Maka krama terbagi tiga kelompok bersenjata prakpak (daun nyiur kering) masing-masing Kelompok Banjar Adat Jasri Kaler, Jasri Tengah dan Banjar Adat Jasri Kelod.

Itulah sebabnya, lanjut Komang Wirya, saat pangayah hendak memasuki wawidangan Desa Adat Jasri, terlebih dahulu menggelar ritual khusus dengan cara menginjakkan satu kaki ke bumi, atau disebut suku tunggal. Tujuannya, untuk melepas sifat-sifat Bhuta Kala.

Pangayah selanjutnya berjalan dari selatan ke utara mulai dari perempatan paling selatan tepatnya di patung salak, pasukan bersenjata prakpak menyala langsung menyerang. Prakpak dimaksud obor dari bakaran daun pohon kelapa kering. Tujuannya, agar sifat-sifat  bhuta kala tidak melekat di tubuh pangayah, sehingga tidak bisa masuk wawidangan desa adat.

Menyusul di perempatan depan Bale Banjar Ramia Sabha, pangayah kembali terserang prakpak menyala, dan terakhir pangayah terserang prakpak  saat tiba di depan Bale Desa Adat Jasri, selanjutnya pangayah menuju Pura Bale Agung. Selama perjalanan pangayah memasuki wawidangan Desa Adat Jasri, berusaha menghindar agar tidak kena serangan prakpak menyala.

Di Pura Bale Agung pangayah dapat anugerah tirtha agar bersih dari pengaruh bhuta kala dan semua bhuta kala kembali somya tidak lagi mengganggu kenyamanan dan ketentraman kehidupan sosial di masyarakat.

“Sebenarnya prakpak menyala dilempar kepada pangayah itu, tujuannya untuk membersihkan pangayah dari unsur bhuta kala, yang masih  melekat. Selanjutnya, setelah pralingga dan pratima kalinggihang, barulah terjadi perang api saling lempar antar dua kelompok, dengan jarak 20 meter dalam suasana gelap,” jelasnya. *k16

Komentar