nusabali

Usung Kerusakan Lingkungan, 'Kala Caplok' Banjar Peken Sumerta Kaja Gunakan Ijuk dan Barang Bekas

  • www.nusabali.com-usung-kerusakan-lingkungan-kala-caplok-banjar-peken-sumerta-kaja-gunakan-ijuk-dan-barang-bekas
  • www.nusabali.com-usung-kerusakan-lingkungan-kala-caplok-banjar-peken-sumerta-kaja-gunakan-ijuk-dan-barang-bekas
  • www.nusabali.com-usung-kerusakan-lingkungan-kala-caplok-banjar-peken-sumerta-kaja-gunakan-ijuk-dan-barang-bekas
  • www.nusabali.com-usung-kerusakan-lingkungan-kala-caplok-banjar-peken-sumerta-kaja-gunakan-ijuk-dan-barang-bekas
  • www.nusabali.com-usung-kerusakan-lingkungan-kala-caplok-banjar-peken-sumerta-kaja-gunakan-ijuk-dan-barang-bekas

DENPASAR, NusaBali.com – Ogoh-ogoh ST Jaya Sakti dari Banjar Peken, Desa Sumerta Kaja, Kecamatan Denpasar Timur mengusung isu kerusakan lingkungan dengan nuansa yang berbeda. Alih-alih mengangkat isu lingkungan umum, pengalaman pribadi jadi titik tolok.

Sekaa teruna yang bermarkas di Jalan Kenyeri ini menggarap ogoh-ogoh dari hobi anggota mereka yaitu memancing. Namun kerusakan lingkungan di aliran sungai akibat sampah plastik lebih dominan dilihat ketika hobi itu dijalankan.

Selain itu, di Desa Adat Sumerta sendiri terdapat dua aliran sungai yakni Tukad Guming dan Tukad Bindu yang disebut dalam kondisi yang sudah tidak baik-baik saja. Terlebih lagi, Jalan Kenyeri yang menjadi rumah ST Jaya Sakti kerap kali banjir begitu hujan deras melanda.

Berangkat dari isu inilah ST Jaya Sakti memvisualisasikan problem lingkungan dalam wujud ogoh-ogoh bertajuk Kala Caplok yang merujuk kepada dewasa ayu. Dalam penanggalan Bali, dewasa kala caplok adalah hari baik untuk membuat alat pancing dan aktivitas memancing.

“Akan tetapi, manusia mulai bingung mengapa dewasanya tepat, airnya tenang, yang seharusnya banyak ikan tidak ada apa-apa di aliran sungai. Yang ada hanya sampah yang semestinya tidak ada di alam,” tutur undagi Kala Caplok, I Gede Putra Yadnya, 24, ketika dijumpai di Balai Banjar Peken pada Senin (13/3/2023) malam.

Ketika manusia itu kebingungan karena tidak memeroleh ikan, lambat laun akhirnya muncul ikan julit (sidat). Pada saat manusia melemparkan jala, ikan julit itu ternyata duwe (dikeramatkan) dan tiba-tiba muncul sosok hitam legam dari dasar sungai yang terjaring jala.

Situasi ini menggambarkan ironi bahwa biasanya manusia yang menyerok makanan dari alam kini alam yang menyerok manusia karena sifat bhutakala yang menguasai umat manusia. Sama seperti banjir dan bencana alam yang sebenarnya dipicu oleh ulah manusia.

Foto: Gede Putra, undagi ogoh-ogoh Kala Caplok. -EBI

Dari cerita di balik ogoh-ogoh Kala Caplok itu, ada tiga figur yang berdiri di atas panggung yang dibentuk sebagai kolam. Ketiga figur itu adalah pemancing, ikan julit, dan sosok hitam besar berbulu. Ketiganya menggambarkan manusia yang tertarik sosok hitam legam yang muncul dari kolam setelah ikan julit dijala.

Menariknya, bahan-bahan yang digunakan untuk menggarap ketiga figur ini pun sejalan filosofi yang diangkat. Setidaknya ada beberapa bahan alam dan barang-barang bekas termasuk sampah plastik yang dipakai. Di antaranya ijuk, ketumbar, simbar menjangan, kuaci, anyaman rotan, kardus bekas, sampah botol plastik, dan karung goni.

“Untuk sosok hitam legam itu kami menggunakan 80 gulung tali ijuk untuk menutupi badannya sedangkan 3 kilogram lagi untuk rambutnya,” tutur Gede Putra.

Kata pemuda yang bekerja di bidang pariwisata ini, sosok hitam legam itu terinspirasi dari mitologi orang Bali. Biasanya ketika orang Bali berbicara soal penampakan, sosok yang diceritakan rata-rata berwujud hitam dan berbadan besar. Agar lebih mengeksplorasi kreativitas sekaa teruna maka diputuskan untuk menggunakan ijuk.

Selain ijuk, di lain sisi, badan figur pemancing secara keseluruhan dibaluri ketumbar sehingga terlihat lebih bertekstur. Sedangkan sebagian morfologi ikan julit seperti sirip punggungnya menggunakan daun simbar menjangan.

Sementara untuk sirip pektoralnya dipakai bagian ental simbar menjangan yang kering dan menyerupai jaring. Sedangkan gigi ikan menggunakan biji bunga matahari alias kuaci. Selain bahan-bahan tersebut, ada pula sampah botol plastik yang dikreasikan menjadi ikan dan rerumputan di pinggir kolam.

“Untuk bebatuan bibir kolamnya, kami pakai kardus bekas yang dibentuk sedemikian rupa. Di samping itu, karung goninya kami terapkan sebagai kamen bhutakala dan elemen jala pada ogoh-ogoh,” ungkap Gede Putra.

Dengan dimensi ogoh-ogoh utama 3,5 x 3 meter kemudian ditambah dua figur lain sepanjang 170 cm untuk sosok pemancing dan 180 untuk ikan julit, diperkirakan berat total Kala Caplok berada di angka 90 kilogram. Hitungan ini sudah termasuk kolam seluas 3 x 1,7 meter dan 2,5 meter kubik air di dalamnya.

Gede Putra mengaku memerlukan waktu sekitar dua minggu saja untuk menyelesaikan pemasangan tali ijuk di tubuh figur hitam legam. Meskipun sebenarnya, bagian ini justru dinilai sebagai bagian yang paling sulit. Sebab, tali ijuk itu tidak sekadar dipasang melainkan diatur dan dipolakan sehingga konturnya terbentuk.

Selain pemasangan finishing bahan-bahan alami, pada proses konstruksi juga dinilai cukup menyulitkan. Lantaran, penentuan titik beban yang pas agar tidak terjadi gagal konstruksi memakan waktu lama.

Foto: Tunida, Ketua II ST Jaya Sakti. -EBI

Kata I Putu Nida Verdi Antara, 23, Ketua II ST Jaya Sakti, dana yang dihabiskan sejauh ini sudah lebih dari Rp 15 juta. Sementara proses penggarapan memakan waktu lama yakni mulai pertengahan Januari hingga beberapa jam sebelum penilaian pada Kamis (9/3/2023) lalu.

“Kala Caplok ini menurut informasi dikatakan lolos 10 besar di Denpasar Timur. Prestasi terakhir kami itu pada tahun 2018 lalu dengan tajuk Pragolan tentang perubahan wujud menjadi leak. Kami berhasil menduduki peringkat tiga di kecamatan pada saat itu,” beber Putu Nida.

Kata pemuda yang akrab di sapa Tunida ini, Kala Caplok juga menggunakan dua mesin untuk menambah daya tarik selain bahan-bahan organik dan pemanfaatan sampah plastik. Kedua mesin itu adalah dinamo swing untuk gerakan kepala dan dinamo wiper untuk perputaran cakra di punggung bhutakala.

Yang masih menjadi sedikit kekhawatiran pada saat Kala Caplok diarak adalah potensi kebocoran kolam yang menjadi panggung ogoh-ogoh. Kolam ini terbuat dari terpal plastik tebal. Terpal plastik itu sempat bocor pada bagian lem-lemannya.

Sementara itu, Gede Putra selaku undagi Kala Caplok berharap ogoh-ogoh karya ST Jaya Sakti ini bisa membawa pesan dan kesadaran memelihara lingkungan kepada masyarakat. Kata Gede Putra, alam akan memberikan lebih banyak kepada manusia entah itu berupa sumber makanan dan lainnya apabila alam itu terjaga, lestari, dan terpelihara. *rat

Komentar