nusabali

WHDI Denpasar Galang Gerakan Anti ‘Anak Mula Keto’ Lewat Pelatihan Banten

  • www.nusabali.com-whdi-denpasar-galang-gerakan-anti-anak-mula-keto-lewat-pelatihan-banten

DENPASAR, NusaBali.com – Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI) Kota Denpasar menggalakkan program pelatihan banten (sajen). Program ini menjadi gerakan mengikis kebiasaan ‘anak mula keto’ di kalangan wanita Hindu.

Seperti pada Sabtu (11/3/2023) pagi di Balai Banjar Abian Kapas Kaja, Kelurahan Sumerta, Kecamatan Denpasar Timur. Sebanyak 30 krama istri setempat mendapat pelatihan banten baik secara praktik maupun filosofis.

Jenis banten yang dijadikan subjek pelatihan adalah ayaban tumpeng pitu. Banten ini dikatakan sebagai jenis persembahan pada tatanan madyaning utama. Ayaban tumpeng pitu ini dipilih menjadi subjek pelatihan sebab terjangkau untuk segala kalangan dan cukup lumrah digunakan untuk manusa yadnya.

Program pelatihan ini merupakan gerakan berkelanjutan yang digelar WHDI Kota Denpasar di bawah pimpinan Sagung Antari Jaya Negara. Pelatihan banten ini digelar di dua banjar di setiap kecamatan dan memungkinkan untuk diperluas lagi jangkauannya.

Sagung Antari selaku Ketua WHDI Kota Denpasar meyakini bahwa krama istri di Banjar Abian Kapas Kaja sudah wikan (pintar) dalam hal membuat banten. Namun, perlu dilakukan penyamaan persepsi sehingga makna komponen di dalam banten itu bisa dipahami.

Foto: Krama istri Banjar Abian Kapas Kaja sedang melatih diri dengan tatuasan ayaban tumpeng pitu. -YUDA

“Nanti kalau ada orang yang bertanya mengapa membuat ini, mengapa membuat itu, jawabannya ‘anak mula keto’ (memang begitu). Biar tidak seperti itu menjawabnya,” tutur Sagung Antari di sela meninjau pelaksanaan acara pelatihan.

Istri Wali Kota Denpasar IGN Jaya Negara ini mengakui bahwa memang generasi yang lebih muda termasuk generasinya sudah mulai malas matanding (merangkai sajen). Kata Ketua TP PKK Kota Denpasar ini, generasinya lebih memilih membeli banten ketimbang membuat.

Akan tetapi, Sagung Antari berharap bahwa terlepas dari banten yang diperoleh dengan cara dibeli, memahami maknanya tetap yang utama. Sebab, pembeli yang ‘buta’ soal banten bisa saja dibodohi oleh tukang banten atau pengeluaran yadnyanya jauh melebihi dari banten yang dibuat sendiri.

Sementara itu, Ni Wayan Sukerti, 62, Koordinator Bidang Agama WHDI Kota Denpasar menegaskan bahwa ketigapuluh peserta pada Sabtu pagi diberi penerangan dengan cara learning by doing. Di mana, para peserta langsung praktik matuasan (memotong) dan majejahitan (menjahit) janur menjadi komponen banten ayaban tumpeng pitu.

“Setelah itu, diberikan penjelasan soal makna atau filosofi masing-masing komponen itu sembari matanding komponen banten ayaban tumpeng pitu ini satu per satu. Dijelaskan pula beberapa jenis ayaban tumpeng pitu lain khusus untuk kondisi tertentu,” imbuh Sukerti ketika dijumpai usai memimpin pelaksanaan pelatihan.

Foto: Sukerti sedang menjelaskan tahap demi tahap makna dan urutan matanding ayaban tumpeng pitu. -YUDA

Jelas Sukerti, ayaban tumpeng pitu secara umum terdiri dari tiga komponen utama dengan beberapa unsur lain di dalamnya. Ketiga komponen utama itu adalah pengambian dengan dua tumpeng, peras dengan dua tumpeng, dan dapetan pokok dengan dua aledan (alas) di mana satu aledan terdiri dari dua tumpeng dan satunya lagi berisi satu tumpeng.

Ada pula komponen lain yang dijelaskan lebih detail sesuai sastra Hindu. Dengan pelatihan semacam ini, Sukerti berharap wanita Hindu di Denpasar menjadi lebih melek ketika berhadapan dengan apa yang sudah biasa mereka kerjakan dalam beryadnya.

“Kami berharap agar ibu-ibu bisa memahami makna banten yang masing-masing membawa mantra. Selain itu, supaya banten yang kecil-kecil seperti ini tidak sedikit-sedikit membeli yang tentu harganya tidak bisa dibilang murah,” tegas Sukerti.

Sukerti mencontohkan misalnya pada saat otonan (wetonan). Upacara manusa yadnya ini salah satunya memerlukan ayaban tumpeng pitu. Apabila semuanya dibeli di pasaran dengan harga sekitar Rp 500.000, bayangkan bila dalam satu keluarga itu banten otonan yang diperlukan dua kali dalam setahun ini dibeli sepenuhnya.

“Kalau dibikin sendiri, ayaban tumpeng pitu ini bisa diselesaikan dengan harga paling mahal Rp 300.000 di Kota Denpasar, jauh lebih murah daripada dibeli,” cetus Sukerti.

Selanjutnya, WHDI Kota Denpasar bakal menyambangi para wanita Hindu di Kecamatan Denpasar Barat. Melihat perjalanan program ini dari Denpasar Selatan hingga ke Denpasar Timur, Sukerti menyebut antusias peserta sangat tinggi lantaran kegiatan semacam ini jarang diadakan dan jauh lebih efektif daripada dharma wacana. *rat

Komentar