nusabali

Ogoh-Ogoh Banjar Balun Padangsambian Visualisasikan Cetik Gringsing dengan Makhluk Segara

  • www.nusabali.com-ogoh-ogoh-banjar-balun-padangsambian-visualisasikan-cetik-gringsing-dengan-makhluk-segara
  • www.nusabali.com-ogoh-ogoh-banjar-balun-padangsambian-visualisasikan-cetik-gringsing-dengan-makhluk-segara
  • www.nusabali.com-ogoh-ogoh-banjar-balun-padangsambian-visualisasikan-cetik-gringsing-dengan-makhluk-segara

DENPASAR, NusaBali.com – Cetik Gringsing adalah salah satu nama racun mematikan yang paling terkenal telinga orang Bali. Racun inilah yang diusung secara filosofis oleh ST Dharma Kerti dari Banjar Balun, Kelurahan Padangsambian dengan wujud makhluk laut.

Ogoh-ogoh setinggi lebih kurang empat meter itu terdiri dari gurita raksasa berukuran sekitar 2,5 meter yang ditunggangi bhutakala berwujud perempuan berbadan kepiting. Unsur gurita dan kepiting ini adalah komponen filosofis cetik gringsing yang diangkat menjadi ogoh-ogoh.

Seperti filosofi yang diangkat, ogoh-ogoh yang dibalut bahan organik seperti tempurung kelapa dan cangkang telur ini juga bertajuk Cetik Gringsing. Kata Made Juniarta, 23, Wakil Ketua ST Dharma Kerti, secara fisik cetik gringsing mungkin berupa racun namun secara makna lebih dari pada itu.

“Cetik gringsing terdiri dari dua kata yaitu cetik yang berarti racun dan gringsing yang berarti jalinan atau untaian. Jadi cetik gringsing adalah untaian racun yang biasanya menggunakan media tinta dengan untaian warna hitam, cokelat, merah, dan putih,” ungkap Juniarta yang akrab disapa Ajus ketika dijumpai di sela menunggu proses penjurian ogoh-ogoh pada Kamis (9/3/2023) sore.

Imbuh wakil sekaa teruna yang bermarkas di Jalan Tangkuban Perahu, Kecamatan Denpasar Barat ini, cetik gringsing adalah lambang penderitaan yang teruntai seperti tidak ada ujungnya. Hal ini dilambangkan dalam bentuk gurita raksasa dengan 8 tentakel yang mencerminkan warna untaian cetik gringsing.

Gurita raksasa itu berwarna dasar merah, dengan alat pengisap yang berwarna putih. Sementara itu bagian atas tubuh gurita itu ditutupi tempurung kelapa yang berwarna cokelat. Sedangkan warna hitam dari untaian cetik tidak ditampilkan melainkan dianggap ada lantaran gurita secara alami membekali diri dengan tinta yang berwarna gelap.


Foto: Made Juniarta alias Ajus, Wakil Ketua ST Dharma Kerti. -EBI

“Untuk menutupi bagian atas gurita, kami menghabiskan hampir 55 kilogram tempurung kelapa yang kami dapat dari warga sekitar. Kami proses dari nol, mulai dari dipecahkan, ditempel, dan difinishing agar mengkilap,” jelas Ajus.

Gurita ini ditunggangi selayaknya kuda bertali oleh sosok bhutakala berwujud perempuan. Bhutakala itu berbadan kepiting berkaki tiga pasang ditambah sepasang capit. Jelas Ajus, bhutakala itu wujud dari kepiting Rekata jelmaan Bhuta Karuna yang membawa nestapa abadi.

Apabila digabungkan dengan tangan sang bhutakala maka total jumlah anggota gerak kecuali kakinya adalah 10. Angka ini melambangkan Dasa Mala yaitu sepuluh sifat manusia yang menyebabkan penderitaan bahkan kematian.

Bhutakala berwujud manusia raksasa dengan fisik tambahan berupa kepiting ini adalah simbol manusia yang dikuasai sifat-sifat binatang. Manusia yang dikuasai sifat-sifat binatang hanya akan membawa pertengkaran, kehancuran, dan petaka.

“Untuk menambah kesan organiknya kami lapisi kaki dan capit kepiting dengan cangkang telur yang total menghabiskan sebanyak satu keresek merah besar,” imbuh Ajus.

Papar Ajus, kepiting Rekata (nestapa) yang dibelit gurita (cetik gringsing) hanya menyisakan kesengsaraan karena semua kebahagiaan manusia sudah diisap oleh sang gurita cetik. Pesan moralnya, sifat-sifat binatang dan dasa mala ini perlu dikendalikan sehingga tidak melahirkan sifat bhutakala melainkan bhutahita.

Foto: Penjurian Centik Geringsing oleh tim juri yang bertugas di Denpasar Barat. -EBI

Selama proses penggaraoan yang dinilai kompleks oleh Ajus adalah tahap pembentukan tentakel gurita raksasa. Selain itu, pada Rabu (8/3/2023) sore atau sehari sebelum penjurian, Cetik Gringsing sempat mengalami gagal konstruksi sehingga harus diperbaiki hari itu juga.

Kejadian itu bahkan sempat membuat ST Dharma Kerti berpikir dua kali untuk mengikuti lomba ogoh-ogoh. Beruntung pada akhirnya sepakat untuk menggeber perbaikan dan berhasil diselesaikan pada Kamis pagi.

Selain bahan-bahan berupa tempurung kelapa dan cangkang telur, ada teknik unik yang digunakan untuk membuat gelungan, bebadongan, gegelangan, lelamakan, dan empok-empok. Ornamen pernak-pernik ini dibuat menggunakan rotan, mata kancing dari tempurung kelapa, berlian dari kaca, dan tali lintingan serabut pelepah pisang.

Ada pula pasir pantai asli yang diambil dari Segara Petitenget dan beberapa pernik kerang ditaruh di atas panggung yang menambah kesan mahkluk samudera.

“Visualisasi komponen cetik gringsing ini murni berasal dari imajinasi penggarap. Sejauh ini kami menghabiskan dana sebesar Rp 17 juta sudah termasuk konsumsi. Semoga apa yang sudah kami usahakan selama ini membawa hasil yang maksimal di hari penjurian ini,” tandas Ajus. *rat

Komentar