nusabali

Dina Kala Paksa, Tenget Malam Tumpek Wayang Dicitrakan Alaminya Ogoh-Ogoh Batukandik Padangsambian Kaja

  • www.nusabali.com-dina-kala-paksa-tenget-malam-tumpek-wayang-dicitrakan-alaminya-ogoh-ogoh-batukandik-padangsambian-kaja
  • www.nusabali.com-dina-kala-paksa-tenget-malam-tumpek-wayang-dicitrakan-alaminya-ogoh-ogoh-batukandik-padangsambian-kaja
  • www.nusabali.com-dina-kala-paksa-tenget-malam-tumpek-wayang-dicitrakan-alaminya-ogoh-ogoh-batukandik-padangsambian-kaja

DENPASAR, NusaBali.com - Malam Tumpek Wayang dikenal sangat pingit atau disebut Dina Kala Paksa. Kemagisan malam yang tenget (keramat) itu dicitrakan dalam bentuk ogoh-ogoh karya Sekaa Teruna Satya Budi.

Sekaa Teruna asal Banjar Batukandik, Desa Padangsambian Kaja ini mengusung serba-serbi hari Sukra Wage Wayang. Bagian yang diangkat mulai dari nilai niskala hingga yadnya yang biasa dilakukan pada malam Tumpek Wayang itu.

Bagus Anom, 22, Ketua ST Satya Budi menjelaskan bahwa ogoh-ogoh bertajuk Dina Kala Paksa adalah bentuk peringatan bagi anggota sekaa teruna. Sebuah warning bahwa Tumpek Wayang adalah hari yang sakral dan pada kala malam memasuki hari itu tidak boleh bertindak sewenang-wenang.

“Kami mengangkat Dina Kala Paksa atau sehari sebelum Tumpek Wayang yang sakral. Ogoh-ogoh ini juga bentuk edukasi untuk anggota bahwa pada malam itu tidak boleh bertindak yang aneh-aneh,” kata Gus Anom ketika dijumpai Bale Banjar Batukandik pada Kamis (9/3/2023) siang.

Jelas Gus Anom, pada malam Tumpek Wayang ini pula krama Hindu di Bali beryandnya dengan serius. Salah satu yadnya yang dilakukan adalah persembahan banten (sesajen) seselat. Banten ini bernilai magis yang bisa menyelat dunia manusia dan dunia bagian lain dari alam ini.

Banten seselat ini lumrahnya terdiri dari daun pandan berduri diolesi kapur sirih membentuk tapak dara. Kemudian ada benang tri datu, segehan manca warna, sidi atau saringan penanak nasi, lis bebuwu atau daun kelapa kering, penyeneng, api takep, canang, dan sodan.

Foto: Gus Anom, Ketua ST Satya Budi. -EBI

Pada akhir upacara banten ini diletakkan di depan pintu masuk rumah atau disebut pula lebuh. Banten ini dipercayai sebagai pembersih semesta dan menetralisir kekuatan negatif malam yang dikenal sebagai hari paling ‘kotor’ dalam setengah tahun Saka.

“Filosofi ini bersumber dari Lontar Sundarigama dan wejangan Ida Rsi dari Griya Wang Bang Pinatih Tegallinggah, Padangsambian Kaja,” tutur Gus Anom.

Dalam bentuk visualisasi ogoh-ogoh, banten tersebut diinjak oleh sosok bhutakala. Ungkap Gus Anom, tidak ada yang mengetahui sosok bhutakala yang muncul pada Dina Kala Paksa. Oleh karena itu, visualnya murni merupakan ekspresi seni undagi terhadap ogoh-ogoh berdimensi 2,5 x 4 meter itu.

Sekaa teruna yang bermarkas di Jalan Kebo Iwa Utara di Denpasar Barat ini menggunakan sedikitnya 12 macam bahan alami. Ogoh-ogoh ini dibalut satu karung kulit jagung yang sudah dicuci bersih dengan detergen dan dikeringkan. Dan beberapa bagiannya ditambal dua kilogram arang tempurung kelapa.

Untuk bagian lelamakan, bebadongan, gegelangan, dan empok-empok didesain dengan biji-bijian yang total beratnya kurang dari dua kilogram. Macam biji-bijian yang dipakai adalah merica, ketan hitam, biji jagung kering, dan kacang merah. Uniknya, digunakan pula rumput liar seperti rumput teki untuk aksen rumbai bebadongan dan lainnya.

“Kebanyakan bahan itu kami ambil dari pedagang jagung dari Padang Galak dan juga dari pasar. Ada juga yang memanfaatkan bahan-bahan di sekitar kami,” ungkap Gus Anom.

Foto: Detail ornamen Dina Kala Paksa dengan bahan alami. -EBI

Selain bahan-bahan itu, ada lagi daun cemara norfolk, pelepah bambu kering, serbuk kayu, dan bunga pohon pinus kering yang diambil langsung dari Kintamani. Bahan-bahan ini kebanyakan digunakan untuk menghias panggung ogoh-ogoh kecuali serbuk kayu untuk telapak tangan dan kaki.

Imbuh Gus Anom, bahan-bahan dari alam itu sengaja digunakan untuk pendukung finishing karena Dina Kala Paksa sendiri merupakan fenomena alam yang magis. Selain itu, pertimbangan biaya juga menjadi alasan. Sebab, total anggaran yang habis untuk menggarap ogoh-ogoh ini hanya Rp 10 juta.

Pada Kamis sore adalah hari penjurian ogoh-ogoh Dina Kala Paksa bersama ratusan ogoh-ogoh lain di Kota Denpasar. Sebagian besar dari proses finishing ogoh-ogoh karya ST Satya Budi ini dilakukan pada Rabu (8/3/2023) malam.

Sementara itu, I Wayan Agus Sudiyana, 45, Kelian Adat Banjar Batukandik mengapresiasi karya sekaa teruna. Kata Sudiyana, ST Satya Budi sudah berkontribusi dengan baik dalam melestarikan tradisi tahunan ini.

"Kami mendukung dan mengapresiasi kreativitas ST Satya Budi. Semoga bisa semakin ditingkatkan. Kami dari adat dan krama sudah memberikan dukungan materi dan moral," tandas Sudiyana ketika dijumpai dalam kesempatan yang sama.

Selama proses penjurian ini, ST Satya Budi berharap mampu memamerkan karya dalam kondisi terbaik dan dibarengi hasil yang maksimal. Prestasi tertinggi ST Satya Budi muncul pada tahun 2020 ketika menjadi bagian dari enam besar jawara Kota Denpasar lewat karya Bhuta Enjek Pupu. *rat

Komentar