nusabali

Kéwala Ngaé Pragat Gaé, Simbol Semangat Bertradisi Siswa SD Dwijendra Denpasar

  • www.nusabali.com-kewala-ngae-pragat-gae-simbol-semangat-bertradisi-siswa-sd-dwijendra-denpasar
  • www.nusabali.com-kewala-ngae-pragat-gae-simbol-semangat-bertradisi-siswa-sd-dwijendra-denpasar

DENPASAR, NusaBali.com – Tradisi menggarap ogoh-ogoh tidak hanya hidup di banjar namun menggeliat pula di sekolah seperti di SD Dwijendra, Desa Dangin Puri Kangin, Denpasar.

Pada Rabu (1/3/2023) siang, siswa SD yang berlokasi di Jalan Gadung ini tumpah ruah ke halaman sekolah sembari mengangkat boneka raksasa dari dalam sebuah ruangan. Dua boneka raksasa yang diangkat itu adalah ogoh-ogoh setinggi satu sampai dua meter karya para siswa.

Ogoh-ogoh yang masih pada tahap penggarapan anatomi itu ‘dikeroyok’ puluhan siswa yang begitu antusias menyelesaikan karya mereka. Ada yang mengurusi anatomi tangan, ada yang berkutat menempel kertas koran ke badan ogoh-ogoh, ada pula yang membantu mengaduk lem.

Pande Putu Gde Sarjana, 38, Kepala SD Dwijendra menuturkan bahwa kegiatan menggarap ogoh-ogoh ini adalah bagian dari proyek siswa berbasis Kurikulum Merdeka. Lantaran berdekatan dengan momen Hari Suci Nyepi, proyek dirangkaikan dengan momentum pangrupukan.

“Kami memfasilitasi para siswa untuk menumpahkan ide mereka dalam berprakarya. Selain itu, juga untuk menjaring bakat siswa sebelum Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional khususnya dalam kriya anyam,” tutur Pande ketika dijumpai di sela membina siswanya.

Jelas kepala sekolah berlatar belakang ilmu seni rupa ini, proyek penggarapan ogoh-ogoh baru pertama kali digeber oleh SD Dwijendra. Proyek ini baru saja dimulai pada pertengahan bulan Februari lalu.

Foto: Pande Putu Gde Sarjana, Kepala SD Dwijendra Denpasar. -WAYAN

Pembelajaran berbasis proyek ini dikatakan oleh Pande untuk mengenalkan siswa kepada tradisi dan budaya khususnya tradisi tahunan menjelang pangrupukan. Pande berharap dengan dikenalkan sekelumit proses pembuatan ogoh-ogoh, siswa nantinya siap terjun ke banjar.

Dalam proyek penggarapan ogoh-ogoh ini, SD Dwijendra melibatkan hampir seluruh siswanya mulai dari kelas satu hingga kelas enam yang berjumlah 177 orang. Pande bahkan melibatkan pula para siswi untuk membantu proses penggarapan seperti memotong kertas dan menghias.

“Melalui proyek ini siswa dapat belajar proses menganyam, mengikat, dan menempel. Untuk masalah bentuk seperti anatomi itu menjadi urusan nomor sekian. Yang terpenting adalah bagaimana siswa dapat mengenal tahap-tahap pembuatan ogoh-ogoh,” tegas pria jebolan ISI Denpasar.

Ungkap Pande, hampir semua bagian ogoh-ogoh ini digarap oleh para siswa dengan bantuan dan pengawasan lima guru pembina. Penggarapan ini dilakukan secara terjadwal pada jam mata pelajaran Seni Budaya dan Prakarya selama satu sampai dua jam.

Namun ketika semangat dan antusiasme siswa sedang tinggi-tingginya, penggarapan bahkan dilanjutkan setelah kegiatan sekolah dan pada akhir pekan. Dua ogoh-ogoh setinggi 2 meter dan 1,5 meter ini ditargetkan sudah selesai sebelum Jumat (17/3/2023) sebab pada hari itu akan dilaksana pengarakan.

“Kami berencana melakukan pengarakan di sekitar lingkungan Yayasan Dwijendra mendahului pangrupukan. Selanjutnya ogoh-ogoh ini akan disimpan dan dipajang nanti dalam pameran pendidikan,” imbuh kepala sekolah milenial ini.

Foto: Seorang siswa sedang menempel kertas menutupi anyaman bambu rangka ogoh-ogoh. -WAYAN

Meskipun bekerja sama dengan siswa SD cenderung sulit, semangat dan kesukaan mereka bekerja secara rombongan membuat pengerjaan tetap bisa dilakukan secara serius. I Wayan Saka Surya Wiratama, 11, salah satu siswa kelas lima mengaku mengasyikkan ‘mengeroyok’ ogoh-ogoh bareng kawan-kawannya.

“Senang, bahagia, dan bangga bisa kerja sama bareng teman-teman di sini,” kata Saka ketika dijumpai di sela-sela penggarapan.

Imbuh Saka, selama proses pengerjaan yang menjadi tantangan adalah pembuatan kaki dan kepala sebab rumit dan belum terbayangkan bentuknya. Namun proses pengerjaan badan disebut paling menggembirakan lantaran bidangnya yang besar membuat mereka harus mengerjakannya bersama-sama.

Meskipun guru mereka belum resmi membocorkan konsep dan judul kedua ogoh-ogoh ini, bocah asal Desa Sumerta Klod, Denpasar Timur yang mengidolakan Kedux ini mengaku bahwa rekan-rekannya sudah menyiapkan nama khusus.

Kedua nama yang muncul adalah Kéwala Ngaé untuk ogoh-ogoh berdimensi 2 x 2 meter dan Pragat Gaé untuk ogoh-ogoh berdimensi 1,5 x 1,5 meter. Walaupun namanya terkesan bercanda, kedua nama ini menyembunyikan filosofi bahwa yang terpenting bukan seberapa hebat bentuk ogoh-ogoh ini namun seberapa semangat mereka belajar mencintai budaya sendiri.

Hal ini pun ditegaskan kembali oleh Pande selaku Kepala SD Dwijendra bahwa yang dicari dari proyek ogoh-ogoh ini adalah pengenalan tradisi kepada generasi belia. Begitu generasi belia ini terjun ke banjar, mereka menjadi individu yang siap menjalankan budaya.

“Ke depannya setelah mereka terjun ke masyarakat, mereka dapat mengekspresikan diri lewat penggarapan ogoh-ogoh sekaligus mengapresiasi seni dan budaya sendiri,” tandas Pande.*rat

Komentar