nusabali

Hidup dari Surga Sampah di Pulau Surga

  • www.nusabali.com-hidup-dari-surga-sampah-di-pulau-surga

DENPASAR, NusaBali.com – Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung di Desa Suwung Kauh, Kecamatan Denpasar Selatan diwacanakan tutup mulai Maret mendatang. Pemulung yang bertahan hidup mengais sampah dari TPA ini pun hanya bisa mengikuti ke mana asa itu berpindah.

Menurut seorang aktivis peduli sampah Dimas Bagus Wijanarko, sistem open dumping seperti TPA menjadi salah satu metode tua penanganan sampah. Secara sistem, TPA sebenarnya hanya metode awal sebelum proses pengurukan atau sanitary landfill dilakukan. Di mana sampah tersebut ditanam ke dalam cekungan tanah.

“TPA itu kan sebenarnya tempat sementara sebelum proses sanitary landfill itu dilakukan,” tegas Dimas yang juga pendiri Yayasan Get Plastic Indonesia.

Problem besarnya bermula ketika produksi sampah jauh lebih laju dibandingkan proses pengurukan. Akibatnya, TPA menjadi lokasi penimbunan sampah yang menggunung dan dipersepsikan menjadi akhir dari penanganan sampah.

Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Timbulan sampah nasional pada tahun 2022 hampir sebesar 19 juta ton. Dari belasan juta ton sampah tersebut, kurang dari 60 persen yang sudah tertangani.

Sementara itu, berdasarkan keterangan Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Provinsi Bali, volume sampah yang masuk ke TPA Suwung per harinya saat ini mencapai 1.200 ton. Melihat komposisi sampah secara nasional, sekitar 18 persen timbulan sampah berupa plastik.

Sebanyak 18 persen dari komposisi sampah inilah yang menjadi sumber penghidupan bagi sebagian orang termasuk pemulung di TPA Suwung selama bertahun-tahun. Seperti salah satu pemulung di dalam TPA yang menyebut dirinya Kohol. Kohol adalah satu dari sekitar 500 keluarga di kawasan itu yang hidup dari mengais sampah plastik.

Walaupun bertaruh nyawa ketika beradu cepat dengan alat berat, mereka tidak bisa mengelak sebab keran kehidupannya ada di surga sampah itu. Meskipun dicap mengganggu pekerjaan, ratusan pemulung di TPA Suwung mengklaim bisa mengeluarkan 50 ton sampah plastik per hari dari gunung buatan manusia itu.

Berdasarkan pengakuan Kohol, sepanjang ia bekerja mengais sampah dari era tahun 1980-an, sudah ada tiga rekannya merenggut nyawa. Ketiga rekannya itu beradu dengan alat berat di tumpukan sampah.

“Selama saya di sini, sudah ada tiga orang meninggal saat bekerja di TPA Suwung. Satu orang Bali, satu orang Jember, dan satu lagi orang Lumajang,” tutur Kohol ketika ditemui di pemukiman sekitar TPA Suwung belum lama ini.

Rekan-rekannya itu tewas tergelincir dari gundukan sampah kemudian tergilas alat berat hingga kakinya putus, ada yang terdorong, dan lainnya. Mereka pun mengaku tidak bisa menuntut apa-apa lantaran dicap mengganggu pekerjaan petugas.

Setelah kapasitas TPA dikurangi, pemasukan para pemulung pun tidak seperti sebelumnya. Dalam setengah bulan, para pemulung di TPA Suwung hanya mampu mengumpulkan rupiah sebanyak Rp 700 ribu-1,5 juta. Itu pun tidak sebanding dengan risiko yang ditimbulkan dari pekerjaan ini seperti masalah kesehatan dan nyawa.

Sampah yang sudah dikumpulkan itu tidak bisa langsung menjadi rupiah. Kohol dan rekan-rekannya harus memilah sampah plastik itu dulu sesuai jenisnya. Setelah itu, harus disimpan sebelum diserahkan kepada pengepul.

Risiko yang dihadapi pun semakin tinggi pasca kapasitas TPA berkurang. Sebab, gundukan sampah semakin tinggi yang artinya proses memungut sampah plastik menjadi lebih susah dan berbahaya.

“Kami tidak bisa apa-apa, mau tidak mau harus dijalani karena hidupnya dari sana. Setelah ada berita mau ditutup ya mau bagaimana lagi, kami akan ikut ke mana truk sampah itu pergi,” lirih Kohol.

Hingga saat NusaBali.com berkunjung ke kawasan TPA Suwung pada Selasa (21/2/2023) lalu, antrean truk pengangkut sampah mulai dari jalur masuk kawasan hingga ke bibir TPA masih menjadi pemandangan biasa. Kata Kohol, para sopir truk sampah itu sampai menginap semalaman untuk memasukkan sampah ke dalam TPA Suwung.

Terlepas dari seok-seok kehidupannya di surga sampah Pulau Surga ini, Kohol cukup bersyukur lantaran generasi yang lebih muda sudah bisa memeroleh pekerjaan di luar pekerjaan generasi orangtua mereka. Meskipun tidak semua keluarga pemulung ini merasakan kemajuan, beberapa ada yang sudah memilik mobil pengangkut sampah untuk melayani hotel.

Kini Kohol dan sebagian besar pemulung tradisional di TPA Suwung menunggu ke mana asa akan membawa mereka apabila nantinya TPA lawas ini benar-benar ditutup. *rat

Komentar