nusabali

Pro Kontra Sistem Pemilihan di Pemilu 2024, 'Jangan Lucuti Keinginan Rakyat'

  • www.nusabali.com-pro-kontra-sistem-pemilihan-di-pemilu-2024-jangan-lucuti-keinginan-rakyat

Dengan memilih secara langsung, memberikan otoritas dan kesempatan kepada rakyat, siapa yang mereka inginkan

JAKARTA, NusaBali

Anggota MPR RI dari Fraksi Golkar Dave Akbarshah Fikarno menyatakan, Partai Golkar tidak masalah dengan penerapan sistem Pemilu terbuka maupun tertutup. Menurut Dave, Partai Golkar selalu survive ketika sistem tersebut diterapkan. Namun, Golkar tidak berpikir untuk kepentingan pribadi maupun elit partai politik. Melainkan demi kepentingan rakyat.

Lantaran melalui sistem Pemilu terbuka, rakyat bisa menentukan siapa yang mereka inginkan untuk posisi kepala daerah baik di tingkat provinsi, kabupaten/kota. Kemudian dapat menentukan wakilnya duduk di DPRD, DPR RI hingga DPD RI dengan memilih secara langsung.

"Dengan memilih secara langsung, memberikan otoritas dan kesempatan kepada rakyat, siapa yang mereka inginkan. Kesempatan ini, jangan sampai dilucuti," tegas Dave dalam diskusi Empat Pilar bertema Sistem Pemilu dan Masa Depan Demokrasi di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Rabu (22/2).

Menurut Dave, Indonesia pernah menggunakan sistem Pemilu tertutup dari tahun 1955 sampai 1999. Baru di tahun 2004 Pemilu dilakukan secara semi terbuka. Sistem Pemilu terbuka, benar-benar dilakukan di Pemilu 2009, 2014 dan 2019.

Bahkan, di Pemilu 2019 dilaksanakan secara bersamaan pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg). Bagi Dave, hal ini sebuah kemajuan dalam demokrasi Indonesia. Selain itu, penghematan anggaran negara.

"Jangan sampai hanya untuk kepentingan elit, oligarki, penguasa maupun parpol, sistem yang sudah bagus ini dirusak dan dikembalikan. Golkar dan tujuh parpol lainnya di parlemen tetap menjaga sistem ini," ucap anak dari politisi senior Partai Golkar Agung Laksono ini.

Pasalnya melalui sistem proporsional terbuka, lanjut Dave, rakyat memiliki hak memilih pemimpin dan wakilnya serta menyampaikan aspirasi langsung. Berbeda jika proposional tertutup diterapkan. Mereka akan kehilangan hal tersebut, karena partai yang menentukan.

Partai pun harus bekerja dan hanya bertumpu pada satu atau dua orang seperti ketua umum. Akhirnya semua berlari ke sana, tidak lagi kepada anggota parlemen. Akibatnya, kontak ke masyarakat akan semakin lama semakin hilang atau berkurang.

"Itu yang harus kita putus, jangan sampai demokrasi diberangus. Jangan sampai demokrasi diputus. Jangan sampai fungsi aspirasi lambat laun hilang sehingga tidak ada lagi pendekatan dan pengenalan wakil rakyat kepada masyarakat," tegas pria yang juga Anggota Komisi I DPR RI ini.

Memang, lanjut Dave, ada yang menganggap proporsional terbuka membuat orang yang memiliki dana besar bisa terpilih karena mereka dapat membagi-bagikan sembako dan lain-lainnya. Hal tersebut, tidak sepenuhnya benar. Sebab, ada dua calon gubernur yang telah ‘membakar’ uang di dapilnya tetap tidak terpilih. "Jadi, belum tentu yang punya banyak uang terpilih," tegas Dave.

Sementara Pengamat Politik Ujang Komarudin menyatakan, jika proposional tertutup diterapkan berarti kembali ke zaman orde baru. Kemudian menutup ruang bagi orang-orang berjuang keras dan mati-matian untuk menjadi anggota DPR baik di tingkat daerah maupun pusat.

"Dengan sistem terbuka, maka hanya pejuanglah atau orang-orang yang mau berusaha dekat dengan rakyat akan terpilih. Kalau kita mundur (menggunakan sistem proposional tertutup), kapan akan menjadi bangsa besar. Dengan sistem tertutup pula, tidak akan ada interaksi," kata Ujang.

Kata Ujang, lantaran wakil rakyat yang terpilih merasa tidak mewakili rakyat, mereka merasa mewakili partai, sehingga tinggal setor ke partai. "Jadi, diantara plus minus sistem terbuka dan tertutup, sistem terbuka yang terbaik," papar Ujang. *k22

Komentar