nusabali

7 Prajuru Adat Taro Kelod Dituntut 1 Tahun Penjara

  • www.nusabali.com-7-prajuru-adat-taro-kelod-dituntut-1-tahun-penjara

GIANYAR, NusaBali
Sidang kasus dugaan pengerusakan penjor Galungan yang terjadi di pekarangan rumah I Ketut Warka di Banjar Taro Kelod, Desa Taro, Gianyar, dengan 7 orang terdakwa memasuki agenda tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU), Selasa (21/2).

Dalam tuntutannya JPU menuntut 7 terdakwa yang merupakan Prajuru Adat Taro Kelod selama 1 tahun. Sidang dilaksanakan secara daring berlangsung di tiga tempat, yakni ruang sidang online Kejari Gianyar untuk JPU dan perwakilan Penasihat Hukum, Pengadilan Negeri (PN) Gianyar untuk Majelis Hakim dan perwakilan Penasihat Hukum para terdakwa, serta Rutan Kelas II B Gianyar (tempat 7 terdakwa ditahan).

Dalam sidang, JPU Kejari Gianyar I Made Agus Mahendra Iswara menyatakan membacakan tuntutan kepada ketujuh terdakwa, yaitu pidana penjara masing-masing selama 1 (satu) tahun, karena terbukti melanggar pasal 156a Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Adapun yang menjadi pertimbangan, yaitu hal yang memberatkan tuntutan 7 terdakwa ialah perbuatan para terdakwa meresahkan umat Hindu, Adat, Tradisi dan Budaya di Bali. Sementara hal yang meringankan tuntutan itu karena para terdakwa bersikap sopan, dan kooperatif selama proses persidangan.

Kemudian atas tuntutan tersebut, para terdakwa melalui penasihat kukumnya akan mengajukan Pledoi (nota pembelaan) pada, Senin (27/2) nanti. "Kami selaku Penasihat Hukum para terdakwa sangat menghormati tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Persidangan mendatang kami sudah menyusun nota pembelaan," ungkap Nyoman Astana, salah satu penasihat hukum terdakwa.

Berdasarkan bukti-bukti serta hasil pemeriksaan saksi-saksi, saksi ahli, saksi mahkota, pemeriksaan terdakwa dan bukti-bukti yang diajukan, diharapkan mengungkap apa yang benar dan apa yang salah, apa yang masuk akal dan apa yang tidak masuk akal.

"Kami berharap ada pertimbangan secara objektif terhadap yang dilakukan oleh para terdakwa dengan melihat semua bukti-bukti dan fakta-fakta dalam persidangan," ujar Astana. Disebutkan, fakta yang terungkap dalam persidangan, terdakwa hanyalah sebagai prajuru adat yang senantiasa berusaha menjalankan tugas sebagaimana diamanatkan oleh awig-awig dan hasil pesamuan/pesangkepan adat yang menjadi landasan norma hukum adat di Desa Adat Taro Kelod.

"Sesuai dengan ketentuan Pasal 42 ayat (5) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali, menyebutkan keputusan Pasangkepan Desa Adat mengikat secara hukum bagi seluruh krama desa adat," jelasnya. Diakui, kasus yang dihadapi para terdakwa inipun mendapat perhatian hampir seluruh prajuru adat di Bali. Karena hukum positif kerap berbenturan dengan norma hukum adat yang berlaku di masyarakat. Contohnya, kasus penangkapan 11 orang di Pantai Matahari Terbit Sanur yang menarik retribusi hingga kasus penarikan tiket masuk di objek wisata Tirta Empul, Gianyar pada tahun 2018 lalu, juga sempat menjadi perhatian dari berbagai kalangan.

Dan syukurnya, kasus ini dihentikan setelah aparat kepolisian sepakat tidak akan memasuki ranah adat, sepanjang prajuru adat dilandasi norma hukum adat, baik berupa awig-awig, perarem ataupun keputusan adat. "Seperti halnya tindakan pemindahan penjor galungan milik I Ketut Warka yang dilakukan oleh para terdakwa adalah semata-mata untuk menjalankan putusan adat dan tidak ada niat sedikit pun dari masing-masing terdakwa," jelas Astana.

Sebagai prajuru adat, dalam kasus ini para terdakwa pun dalam posisi yang serba salah. Jika tidak melaksanakan keputusan adat, maka akan dikenakan sanksi adat, namun ketika melaksanakan keputusan adat justru dihadapkan pada proses hukum positif. Lanjutnya, dengan segala upaya, termasuk menyampaikan permintaan maaf kepada I Ketut Warka, para terdakwa sudah siap secara lahir dan batin menerima putusan majelis hakim. "Namun apa yang terdakwa jalani ini tentunya akan menjadi pelajaran bagi masyarakat adat di Bali yang dilandasi adat, budaya dan Agama Hindu," ujarnya. *nvi

Komentar