nusabali

Inspirasi dari Kisah Dewa Semara dan Dewi Ratih

  • www.nusabali.com-inspirasi-dari-kisah-dewa-semara-dan-dewi-ratih

DENPASAR, NusaBali
Kisah tragis Santo Valentinus di Eropa menginspirasi perayaan hari kasih sayang Valentine Day setiap 14 Februari.

Di Bali sejatinya juga ada kisah kasih Dewa Semara dengan Dewi Ratih yang bisa jadi rujukan membina hubungan baik dengan pasangan, orang lain, atau bahkan dengan diri sendiri. Kisah kasih keduanya disebut Sang Hyang Semara Ratih, tertulis pada lontar Cundamani II.

Budayawan Bali I Gede Anom Ranuara menyebut kisah Sang Hyang Semara Ratih adalah mitologi yang dibuat untuk menyampaikan pesan bahwa jiwa laki-laki (maskulin) dan jiwa perempuan (feminim) selalu sudah ada pada diri setiap manusia. Kedua 'jiwa' tersebut dibutuhkan oleh setiap manusia agar bisa menjalani hidupnya dengan baik.  

"Itu dibutuhkan dalam beraktivitas, kapan kita butuh power untuk maskulin, kapan kita butuh power untuk feminim. Karena tidak mungkin dalam hidup ini feminim semua atau maskulin semua. Artinya kedua unsur ini harus dibangkitkan, itulah harapan dari sebuah kehidupan itu sendiri," ujar Anom Ranuara kepada NusaBali, Selasa (14/2).

Cerita Sang Hyang Semara Ratih sendiri berpusat pada terbakarnya Dewa Semara atau Dewa Kama yang menjalankan tugas membangunkan Dewa Siwa yang sedang melakukan tapa semadi. Dewa Siwa akhirnya marah besar karena dibangunkan oleh Dewa Kama dan dengan kekuatannya membakar Dewa Kama hingga menjadi abu.

Niat Dewa Kama sejatinya baik. Membangunkan Dewa Siwa untuk memberitahu bahwa kerajaan surga sedang dikepung oleh para raksasa. Dan, hanya Dewa Siwa yang mampu mengalahkan para raksasa tersebut. Nasi sudah menjadi bubur. Dewa Kama telah tewas terbakar. Sang istri Dewi Ratih merasa kehilangan bukan main, dan akhirnya memohon kepada Dewa Siwa agar tubuhnya ikut dibakar bersama suaminya.

Singkat kisah, Dewa Siwa akhirnya sadar duduk persoalan sebenarnya setelah diberitahu sang istri Dewi Uma. Namun, Dewa Siwa tidak bisa menghidupkan kembali kedua sejoli Dewa Kama atau Dewa Semara dan Dewi Ratih. Dewa Siwa pun berjanji bahwa Dewa Kama dan Dewi Ratih akan 'hidup' selamanya di hati setiap insan manusia, laki-laki dan perempuan yang telah sadar dengan swadharmanya.

"Kita tetap mengacu monodualistis yang ada di Hindu, yang dua itu satu, yang satu itu dua. Dalam puja Ardanareswari kita bersyukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam wujud laki-laki sekaligus perempuan. Semara Ratih itu sebenarnya ada di sana," ujar budayawan yang akrab disapa Guru Anom ini.

Lebih jauh dikatakan Guru Anom, wujud tunggal Dewa Semara dan Dewi Ratih, Sang Hyang Semara Ratih, dipuja dalam sejumlah ritual Hindu di Bali. Misalnya keberadaan Sanggah Surya pada saat upacara perkawinan mekala-kalaan (mabeakala) merupakan niyasa (simbol) stananya Dewa Surya dan Sang Hyang Semara Ratih.

Pada upacara pemakuhan dalam pendirian rumah baru (ngetok sunduk) juga diawali dengan persembahyangan kepada Sang Hyang Semara Ratih. Pun, dalam upacara metatah (potong gigi) di awal pelaksanaannya melakukan persembahyangan dan mohon air suci tirta ke hadapan Dewa Surya dan Sang Hyang Semara Ratih. "Kenapa rerajahan Semara Ratih dimunculkan pada saat metatah, karena pada saat itu kita dianggap tahu jati diri kita dengan mengenal 6 unsur Sad Ripu. Ketika bisa merasa 6 unsur itu adalah orang enten atau orang jagra, orang sadar dan tahu akan jati dirinya," kata budayawan asal Desa Adat Kesiman, Denpasar ini.  

Guru Anom menuturkan, meskipun kisah Sang Hyang Semara Ratih berangkat dari sebuah mitologi, banyak nilai-nilai yang bisa dipetik manusia di zaman sekarang. Bahwa keseimbangan antara maskulinitas dan feminitas harus dijaga oleh setiap orang agar kehidupannya berlangsung baik. "Anak-anak sekarang mitologi dianggap cerita-cerita buatan. Tetapi ketika kita pakai logika maka akan mengerti maksudnya," tandas Guru Anom. *cr78

Komentar