nusabali

Ada Altar dan Lonceng Berusia Ratusan Tahun

Menguak Kisah Kelenteng Caow Eng Bio di Tanjung Benoa, Kuta Selatan, Badung

  • www.nusabali.com-ada-altar-dan-lonceng-berusia-ratusan-tahun
  • www.nusabali.com-ada-altar-dan-lonceng-berusia-ratusan-tahun

Kelenteng ini satu-satunya kelenteng di Indonesia yang memiliki altar tempat penyembahan Dewi Lautan yaitu Shui Wei Shen Niang. Konon altar ini hanya ada di China, Thailand, Singapura, Malaysia, dan Indonesia.

MANGUPURA, NusaBali

Kelenteng Caow Eng Bio yang terletak di Tanjung Benoa, Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Badung, diyakini sebagai kelenteng tertua di Bali. Di kelenteng yang berdiri sejak zaman Kerajaan Badung pada tahun 1548, ini terdapat altar yang hanya ada di lima negara di dunia termasuk Indonesia.

Dewan Pertimbangan Kelenteng Caow Eng Bio Nyoman Suarsana Ardika,  mengungkapkan pada tahun 1548, awal mulanya kelenteng ini berdiri bukan sebuah bangunan kelenteng, melainkan tempat persembahyangan kecil yang dibuat oleh para pelaut dari Hainan, Desa Dong Chiao, Wenchang.

“Kenapa mereka (pelaut Hainan) pilih di sini, karena mereka dihantam badai angin barat. Awalnya mereka berada di daerah Ketewel (Gianyar), namun karena di sana masih lautan lepas, jadi mereka berlabuh ke sini (Tanjung Benoa, Kuta Selatan). Kawasan ini berupa teluk yang lebih aman untuk mereka bersembunyi dari hantaman angin keras,” uja Suarsana saat ditemui di Kelenteng Caow Eng Bio pada Jumat (3/2/2023) malam.

Setelah angin reda, kata Suarsana, para pelaut Hainan kembali lagi ke asalnya yakni di Pulau Hainan, China. Namun kemudian mereka kembali lagi dengan rekan-rekan lainnya, sehingga sekitar tahun 1874 kelenteng ini mulai dibangun secara permanen. Selain itu, dahulu kawasan Tanjung Benoa tidak berpenghuni, melainkan berupa tanah kosong yang belum ditempati oleh warga lokal Bali.

Nama Caow Eng Bio ada sejak pertama kali kelenteng ini dibangun. Nama tersebut disumbangkan oleh warga Hainan, dan tercantum dalam papan nama yang terpasang pada pintu masuk kelenteng. Di belakang papan nama tersebut juga tertera tulisan dari warga pelaut Hainan Desa Dong Chiao, Kabupaten Wenchang.

Sebagian besar artefak yang dimiliki kelenteng, masih kental bernuansa seni China, terlihat dari ukiran-ukiran khasnya yang dominan berwarna merah. Terdapat pula Kuil Perahu Naga yang berada di depan kelenteng.

Kelenteng ini menjadi satu-satunya kelenteng di Indonesia yang memiliki altar tempat penyembahan Dewi Lautan yaitu Shui Wei Shen Niang. Konon altar ini hanya ada di lima negara di dunia yakni di China, Thailand, Singapura, Malaysia, dan Indonesia.

Beberapa altar, menurut Sudarsana, pada bagian tengah altar merupakan altar tuan rumah beserta 108 pengawal yang diprediksi berusia hampir ratusan tahun. Altar tersebut didatangkan langsung dari Hainan. Selanjutnya, di sisi kanan terdapat altar dewi laut yang lebih dikenal dengan Tian Shang Sheng Mu yang berasal dari China Utara. Sisi kirinya merupakan altar Cia Shen Thang yakni altar ruang pertemuan para dewa.

Uniknya lagi, pada kelenteng ini juga memiliki sebuah lonceng besar yang diperkirakan berusia 200 tahun dan merupakan sumbangan dari warga Desa Dong Chiao. Namun, tak sembarang orang bisa memegang bahkan membunyikannya. Hanya orang tertentu atau mangku yang bertugas yang dapat melakukan hal tersebut.

Di balik umur lonceng yang berusia lebih dari 2 abad tersebut, Suarsana menceritakan lonceng itu pernah berbunyi dengan sendirinya dan tak kenal waktu.

“Pernah berbunyi sendiri dan sudah beberapa kali, bahkan pernah bunyi pada saat siang hari. Ini diyakini berkenaan dengan hal ‘gaib’ juga. Tetapi hal ini sulit untuk kita jelaskan, kita hanya berpikir positif saja,” tutur pria yang merupakan generasi keempat yang mengabdi di kelenteng tersebut.

Kelenteng ini pun telah banyak mengalami pemugaran. Tanah yang dihibahkan oleh Raja Badung Ida Cokorda Pemecutan ke-10 ini kemudian dibangun prasasti tepat di depan kelenteng sebagai upaya penghormatan bagi warga Chinese yang ikut berpartisipasi dalam berdirinya Kelenteng Caow Eng Bio.

“Kami pasang prasasti di luar berisikan nama yang berjasa atas berdirinya Kelenteng Caow Eng Bio sampai saat ini,” ungkap Suarsana.

Suarsana menegaskan, walaupun zaman terus berubah, pihaknya akan terus melestarikan tradisi persembahyangan dan memegang erat ikatan tali persaudaraan antarumat. *ol3

Komentar