nusabali

Dilintasi Sungai, Puri Rangki Abianbase Punya 'Penghuni' Lain

Puri Rangki Dibangun dengan Kesusastraan Hindu dan Cinta

  • www.nusabali.com-dilintasi-sungai-puri-rangki-abianbase-punya-penghuni-lain

Dalam catatan yang ditinggalkan mendiang AA Agung Gede Putra, Puri Rangki ini disebut ‘puri kecil’. Gungde Putra berharap Puri Rangki bisa menjadi wahana interaksi budaya antara masyarakat dan keluarga puri.

MANGUPURA, NusaBali

Puri Rangki di Kelurahan Abianbase, Kecamatan Mengwi, Badung, bukan hanya menyuguhkan khazanah arsitektur yang pembangunannya diinspirasi sastra dan cinta. Puri yang didirikan oleh mendiang Anak Agung Agung Gede Putra Rangki ini juga memberikan vibrasi magis dan kerap terjadi penampakan di kawasan seluas 1,7 hektare tersebut.

Istri mendiang pendiri puri, Jero Soka Astita, 70, mengisahkan bahwa ‘penghuni’ itu sebenarnya sudah ada sejak awal puri ini dibangun. Sebab, puri yang dibangun pada 1996 oleh AA Agung Gede Putra yang merupakan warga Puri Abianbase ini dilintasi sungai yang berhulu di beji Pura Hyang Api Desa Adat Abianbase, Bulakan Sunia.

Pura Hyang Api ini dikatakan sebagai peninggalan purbakala. Lokasi pura ini berada di timur laut Puri Rangki. Pura Hyang Api tersebut berdampingan dengan Bulakan Sunia yang dipercayai sebagai beji dari pura peninggalan purbakala tersebut.

“Memang ada (‘penghuni’) itu. Saya belum pernah lihat tapi adik ipar saya pernah (melihat),” sebut Jero Soka Astita, wanita bernama asli Rucina Ballinger yang akrab disapa Jero Made.

Di luar panyengker karang Puri Rangki ini, terdapat teras luar yang langsung berhadapan dengan sungai. Tidak ada penyekat ataupun pemisah tambahan antara teras di luar panyengker karang dengan sungai. Selain itu, terdapat telaga atau genangan air di bawah permukaan tanah.

Telaga seperti ini bagi sebagian besar orang Bali tidak boleh berada di tengah rumah. Bukan karena dilarang, melainkan hanya orang-orang dengan spiritual tinggi dan dengan mentalitas yang kuat saja biasanya membuat telaga di tengah pekarangan.

Sebab, tempat semacam ini dipercayai sebagai medium yang disukai oleh alam di luar manusia. Selain itu, wilayah aliran sungai juga dikenal tenget (angker) di berbagai tempat di Pulau Dewata.

“Karena itu alam, memang ada banyak. Diganggu, tidak. Tetapi saya tidak mau buka seperti gobanne kenken (wujudnya bagaimana),” tegas Jero Made ketika dijumpai beberapa waktu lalu di Puri Rangki.

Meskipun tidak mau mengumbar wujud ‘penghuni’ lain puri yang dibangun oleh suaminya itu, wanita dua anak asal Amerika Serikat ini menuturkan bahwa beberapa orang dekatnya pernah melihat.

Beberapa di antaranya ada tukang kebun, tukang banten, dan teman bulenya. Baru-baru ini, teman Jero Made yang berasal dari Jawa pun pernah melihat sosok itu tepat semalam sebelum NusaBali.com berkunjung.

Kata anggota grup lawak Bali Gedebong Goyang ini, sosok-sosok itu tidak mengganggu melainkan bersahabat. Lantaran, meskipun sudah jarang ditempati, yadnya di Puri Rangki terus berjalan seperti menghaturkan canang setiap hari maupun banten yang lebih khusus saat hari tertentu.

Sementara itu, adik mendiang AA Agung Gede Putra, AA Gede Agung menegaskan bahwa puri ini dibangun dengan asas Tri Hita Karana. Keselarasan dengan alam sudah berjalan sejak awal puri seluas 1,7 hektare ini berdiri. Manusia sebagai penghuni yang datang belakang ke lahan puri ini, kata Gede Agung, mesti memberikan ‘penghuni’ awal beraktivitas di dunia masing-masing.

“Pemikiran yang magis itu selalu ada. Itu dikombinasikan dengan pemikiran yang logis. Sama-sama berjalan beriringan,” tandas Gede Agung ketika dijumpai pada kesempatan yang sama.

Puri yang terletak di barat laut Puri Abianbase ini mengusung spirit nilai Hindu yang begitu kental. Vibrasi nilai agama ini muncul dari proses pembangunan puri yang berpegang pada enam dasar sastra dan pemikiran.

Keenam dasar itu adalah Panca Vriskha, kisah Prabu Janantaka, Astha Kosala-Kosali Gumi, karya Raja Syailendra, kebesaran Mpu Kuturan, dan peninggalan arsitektur puri-puri di Bali.

Jero Made menuturkan bahwa awalnya sang suami mewarisi lahan sempit. Namun, sedikit demi sedikit mendiang Gungde Putra membeli lahan dengan cara mencicil sampai akhirnya Puri Rangki seluas lebih dari satu hektare itu siap dibangun.

“Tahun 1980-an sampai 1990-an itu, almarhum (Gungde Putra) keliling melihat kori dari puri-puri di Bali. Jadi di sini ada enam kori yang khas dari masing-masing enam kabupaten saat itu untuk mempertahankan kekhasan arsitektur Bali,” tutur Jero Made.

Menurut Jero Made, mendiang Gungde Putra memang suka mempelajari kesusastraan. Oleh karena itu, posisi bangunan di Puri Rangki dihitung betul dengan Astha Kosala-Kosali Gumi dengan dasar hitungan Asta Wara, depa alit, dan sikut jimbar.

Bangunan yang tersedia di Puri Rangki pun cukup lengkap sesuai komposisi bangunan rumah Bali. Selain parahyangan rumah, di natah rumah terdapat gedong (bale daja), bale gede (bale delod atau bale adat), paon (dapur), loji (bale dauh), dan jineng. Ada pula komponen sumur dan teba.

“Di area puri ini juga ada banyak jenis tumbuhan dan pohon yang dipakai untuk upacara juga obat-obatan, yang saya sendiri kurang tahu tanaman itu apa. Tetapi, saya ingat di sini ada 30 jenis jepun karena pada saat itu sedang ‘gila’ jepun,” sebut Jero Made yang banyak dikenal orang karena grup lawak Bali Gedebong Goyang yang beranggotakan wanita-wanita ekspatriat.

“Kalau ada yang datang ke sini untuk meminta daun atau yang lain untuk kebutuhan upacara maupun pura, kami persilakan. Tetapi lakukan dengan bertanggung jawab tanpa merusak tanaman yang ada,” ujar ibu dua anak yang kini menetap di Kabupaten Buleleng.

Di samping berlandaskan kesusastraan, Puri Rangki didirikan sebagai wujud rasa cinta mendiang Gungde Putra kepada sang istri. Jero Made pindah ke Bali pada tahun 1975, dan sejak saat itu menekuni seni tari klasik Pulau Dewata. Latar belakang sang istri inilah yang membuat Gungde Putra membuat puri yang juga diperuntukkan untuk pertunjukan seni.

Di beberapa kori di dalam puri terdapat kalangan untuk pertunjukan tari, kemudian di bangunan gedong juga ditarik lantainya lebih ke depan agar bisa menjadi panggung. Sayangnya, kata Jero Made, Gungde Putra bukan sosok pragina sehingga desain bangunan kurang sesuai untuk seni pertunjukan. Contohnya terdapat tiang di tengah bangunan panggung.

“Di puri ini kami ada satu set gamelan Semarandana, Barong Ket, Barong Bangkung, dan Barong Macan. Ada juga rebab dan satu tapel (rangda) Ratu Ayu yang belum dipasupati,” beber Jero Made.

Dalam catatan yang ditinggalkan mendiang Gungde Putra, Puri Rangki ini disebut ‘puri kecil’. Melalui catatan tersebut, Gungde Putra berharap Puri Rangki bisa menjadi wahana interaksi budaya antara masyarakat dan keluarga puri. Dengan demikian, masyarakat sekitar tergugah untuk bergiat kesenian untuk adat maupun kemajuan pariwisata.

Pada era 1980-an hingga 1997, puri ini pernah menemui masa keemasannya. Pada kala itu, Jero Made sering mengundang rekannya dari ISI Denpasar untuk mengisi workshop seni dan budaya untuk ekspatriat atau warga negara asing. Workshop tersebut kemudian ditutup dengan makan malam diiringi pertunjukan seni klasik Bali.

Kini dari sekian bangunan di dalam Puri Rangki, hanya loji saja yang masih difungsikan cukup aktif. Sebab, putra kedua Jero Made masih cukup sering pulang ke Puri Rangki dan bermalam di puri yang sudah belasan tahun tidak dihuni secara permanen itu. *ol1

Komentar