nusabali

Keunikan Banjar Adat Pacung Exclave Desa Adat Blahkiuh, Posisi Geografis di Wewidangan Desa Adat dan Desa Dinas Lain

  • www.nusabali.com-keunikan-banjar-adat-pacung-exclave-desa-adat-blahkiuh-posisi-geografis-di-wewidangan-desa-adat-dan-desa-dinas-lain

MANGUPURA, NusaBali.com – Beberapa desa adat yang bernaung di bawah satu desa dinas atau sebaliknya mungkin sudah biasa. Tetapi, Banjar Adat Pacung, Desa Adat Blahkiuh ini menganut sistem exclave, areanya benar-benar lepas dari wilayah induknya.

Secara kedinasan, Banjar Pacung merupakan salah satu banjar di Desa Sangeh, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung. Namun secara geografis, Banjar Pacung berdempetan dengan Banjar Tegal, Desa Adat Gerana, Desa Sangeh.

Banjar Adat Pacung dan induknya yakni Desa Adat Blahkiuh terpisah sejauh 5 kilometer dan tersekat wilayah Desa Adat Sangeh dan Desa Adat Gerana. Kedua desa adat tersebut bernaung di bawah Desa Sangeh.

Meskipun terpisah jauh dari induk adatnya, Banjar Adat Pacung memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan enam banjar adat lain di Desa Adat Blahkiuh. Banjar adat dengan 155 kepala keluarga aktif ini masih menjadi pangempon kahyangan tiga dan memiliki hak suara atas keputusan adat di desa yang menjadi pusat Kecamatan Abiansemal tersebut.

Kelian Adat Banjar Pacung I Made Wijaya, 69, membeberkan bahwa keunikan Banjar Adat Pacung dari segi posisi wilayah adat ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kerajaan Singasari. Kerajaan ini adalah wilayah bawahan Kerajaan Mengwi yang menjadi cikal bakal Desa Adat Blahkiuh.

“Dahulu para panglingsir kami menetap di wilayah di utara Desa Blahkiuh sekarang, yang juga disebut Pacung. Wilayah itu kini menjadi bagian dari Desa Selat,” tutur Wijaya ketika dijumpai di Pura Sada Banjar Adat Pacung pada Kamis (26/1/2023) pagi.

Kata pria yang akrab disapa warganya sebagai Pekak Ririn ini, di Pacung Selat itu dulu hanya berupa padukuhan atau pondokan di tengah hutan yang dihuni oleh 26 kepala keluarga. Namun, dikarenakan Desa Adat Blahkiuh adalah bagian dari Kerajaan Mengwi, diperintahkanlah agar seluruh rakyatnya harus berada di barat Tukad Yeh Adeng.

Hal ini terjadi lantaran kerajaan-kerajaan di Bali pada saat itu tengah mengonsolidasikan wilayah kekuasaan dan memperjelas perbatasan. Kerajaan Mengwi khususnya wilayah Desa Adat Blahkiuh memiliki batas timur yakni aliran Tukad Yeh Adeng.

Pacung Selat kebetulan berada di timur Tukad Yeh Adeng sehingga 26 kepala keluarga yang merupakan krama Desa Adat Blahkiuh itu dipindahkan oleh kerajaan pada tahun 1902. Oleh karena Kerajaan Mengwi memiliki lahan yang sesuai di wilayah sekitar Tegal Gerana, maka rakyatnya dipindahkan ke wilayah tersebut.

“Pada saat itu, dilakukan sistem yang disebut tukar guling. Jadi apa-apa saja yang kami kelola dan miliki di Pacung Selat digantikan dengan jumlah yang sama oleh puri (kerajaan),” sebut Pekak Ririn.

Sistem tukar guling ini berlaku semisalnya satu kepala keluarga memiliki pohon kelapa sebanyak 10 batang dan sawah sejumlah lima petak. Dari hitungan tersebut maka akan diganti dengan jumlah yang sama di wilayah yang baru. Akan tetapi, status tanah tersebut masih milik kerajaan dan kini berstatus karang ayahan desa.

Setelah sistem kerajaan memudar dan digantikan otoritas desa adat, lanjut Pekak Ririn, sempat ada wacana Banjar Adat Pacung meleburkan diri dengan desa adat setempat. Namun, niskala berbicara lain sehingga sampai detik ini Banjar Adat Pacung masih kekal menjadi exclave Desa Adat Blahkiuh.

Kondisi yang terbilang unik namun rumit ini bukannya tanpa masalah. Sejak awal perpindahan, gesekan cukup sering terjadi dengan wilayah adat di sekitar. Penyebabnya berupa perkara adat itu sendiri, kemudian ekonomi, dan juga tensi di tengah masyarakat.

Seperti misalnya urusan pitra yadnya atau ngaben. Awalnya, setra Banjar Adat Pacung dan Desa Adat Gerana masih dalam satu area. Setra tersebut bahkan memiliki dua Pura Prajapati. Akan tetapi seiring waktu, tensi di tengah masyarakat naik turun akibat perkara karang wilayah. Akhirnya Banjar Adat Pacung memindahkan setra dan Pura Prajapati ke tempat lain.

“Pernah juga terjadi masalah ogoh-ogoh sekitar tahun 2001. Saat itu ada aturan, tidak boleh mengarak ogoh-ogoh melewati batas adat masing-masing. Tetapi ada yang melewati batas adat kami dan bahkan melempar batu dan mengacungi pecalang kami obor menyala. Minyaknya itu muncrat ke pecalang dan akhirnya terbakar, hanya karena menghimbau agar tidak lewat,” ungkap mantan Kelian Dinas Banjar Pacung.

Beruntung permasalahan tersebut tidak berlarut dan berhasil diselesaikan secara kekeluargaan oleh Bupati Badung saat itu, AA Ngurah Oka Ratmadi. Pekak Ririn mengakui bahwa keunikan Banjar Adat Pacung ini memang membawa potensi konflik adat. Namun, seiring perkembangan zaman, hal tersebut sedikit demi sedikit mereda.

Bendesa Adat Blahkiuh I Gusti Agung Ketut Sudaratmaja, 65, menuturkan bahwa Banjar Adat Pacung masih sangat aktif ngayah di desa adat. Banjar exclave ini bahkan mendapat giliran ngamong pujawali di Pura Desa lan Puseh Desa Adat Blahkiuh pada tahun ini.

“Pada Umanis Kuningan di tahun 2022 lalu, Banjar Adat Pacung masih aktif ngamong tradisi Ngerebeg Matiti Suara di Pura Giri Kusuma. Saya berani bilang apa yang mereka tampilkan itu sangat luar biasa meriah,” kata Bendesa Adat Blahkiuh yang akrab disapa Gungtut.

Terlepas dari posisi Banjar Adat Pacung yang berada di luar wilayah Desa Adat Blahkiuh, Gungtut menjelaskan bahwa semua banjar adat memiliki kedudukan yang sama. Seperti yang disebutkan Pekak Ririn, sejak kepemimpinan Gungtut, Banjar Adat Pacung menjadi lebih sibuk sebab pengistimewaan mereka sudah berakhir.

Pada era sebelumnya, banjar adat yang kini terdiri dari 701 jiwa ini diberikan keringanan untuk urusan mengeluarkan piranti piodalan. Namun pada saat ini Banjar Adat Pacung ‘disetarakan’ dengan banjar-banjar lain.

Seperti ayahan banjar pada umumnya, banjar adat yang berada tidak jauh dari Puri Gerana ini mendapat giliran pangamongan di kahyangan tiga dan pura lain di Blahkiuh. Bukan hanya itu, di wilayah Banjar Adat Pacung sendiri masih ada Pura Sada dengan tiga pujawali dan Pura Prajapati yang diempon sendiri.

Selaku tokoh desa dan Kelian Adat Banjar Pacung, Pekak Ririn berharap apa yang sudah dijalankan selama ini agar tetap dijaga. Oleh sebab itu, keunikan banjar adat yang berbatasan dengan Subak Bukit Buwung di utara, Banjar Adat Tegal Gerana di timur, Subak Munduk Conto di selatan, dan Tukad Yeh Penet di barat ini benar-benar bisa tetap ajeg.

“Jangan sampai ke depan ada wacana untuk membuat perubah-perubahan sebab krama di sini tidak banyak. Jadi jaga yang sudah ajeg ini dengan baik,” pungkas pria yang mengemban tugas sebagai Kelian Adat Banjar Pacung sejak tahun 2018 silam. *rat

Komentar