nusabali

Nilai Siwa-Buddha Jiwai Perayaan Imlek di Jalan Gajah Mada Denpasar

  • www.nusabali.com-nilai-siwa-buddha-jiwai-perayaan-imlek-di-jalan-gajah-mada-denpasar
  • www.nusabali.com-nilai-siwa-buddha-jiwai-perayaan-imlek-di-jalan-gajah-mada-denpasar

DENPASAR, NusaBali.com – Perayaan Tahun Baru Imlek 2574 Kongzili di Jalan Gajah Mada berlangsung pada Senin (23/1/2023) sore. Perayaan yang diisi dengan kirab dan pertunjukan kesenian itu sangat kental dengan nilai Siwa-Buddha.

Dimulai dari lokasi permulaan kirab yakni Kelenteng Sing Bie di Jalan Kartini Gang II nomor 2, merupakan tempat pemujaan Siwa-Buddha yang dikelola oleh pasangan suami-istri I Wayan Gunawan dan Tio Sung Tao.

Kelenteng yang terbilang anyar dari segi usia ini sangat kentara bernuansa Siwa-Buddha dari segi arsitektur dan pernak-perniknya. Pada bangunan kelenteng terdapat siluet Buddha di pojok kiri atas bangunan sedangkan di pojok kanannya terdapat siluet Siwa Nataraja.

I Wayan Gunawan atau yang lebih dikenal sebagai Jero Gede Kuning membeberkan bahwa Kelenteng Sing Bie mengusung konsep Siwa-Buddha. Nilai dari dua sekte dalam Hindu ini terlihat dari komposisi bangunan pemujaan yang terdiri dari padmasana dan kelenteng.

“Di sini kami mengusung konsep Siwa-Buddha. Sarana yang digunakan pun melibatkan pacaruan dan sham sing (masakan dari tiga jenis daging),” tutur Jero Kuning ketika dijumpai di sela-sela persiapan acara pada Senin sore.

Tidak berhenti di sana, pada prosesi kirab, titik pertama yang dituju adalah Pura Desa lan Puseh Desa Adat Denpasar dan Pura Ida Ratu Mas Melanting di Pasar Badung. Kata Jero Kuning, kedua tempat suci Hindu Bali ini dituju untuk memohon restu sebelum kirab menuju catur muka dimulai.

Ketika komponen kirab seperti barongsai, liong, dan jempana berada di depan Pura Desa lan Puseh Desa Adat Denpasar, komponen kirab ini dipercikkan tirta. Khusus untuk jempana Dewa Kwan Kong, pamangku yang tadinya berada di gapura pura menuruni tangga dan mendekati jempana untuk dipercikkan tirta.

Setelah memohon restu, kirab mulai bergerak ke arah timur menuju catur muka. Selayaknya ritual ngelawang dalam tradisi Hindu Bali, komponen kirab beratraksi dan diputar di setiap catus pata yang dilewati. Suasana akulturasi semakin terasa tatkala kirab diiringi tabuh baleganjur.

Usai memutari catur muka, kirab kembali mengarah ke barat menuju pelataran Pura Ida Ratu Mas Melanting. Di titik inilah, puncak atraksi kirab dilaksanakan sekaligus dimeriahkan pergelaran lintas budaya. Dua partisipan dari pergelaran budaya ini adalah Sanggar Seni Pancer Langiit dan Naluri Manca.

“Atraksi budaya ini bernapaskan akulturasi budaya Bali dan Tionghoa. Ada barongsai, baris cina, dan penampilan dari sanggar seni,” jelas suami dari Tio Sung Tao atau lebih akrab disapa Jero Sung.

Pria keturunan campuran Bali-Tionghoa ini menjelaskan bahwa tujuan dari kirab ini mirip dengan ngelawang atau ngerebeg. Di mana asas tujuannya adalah untuk ngrahayuang jagat sehingga semua orang merasakan kebahagiaan.

Jero Kuning mengimbuhkan bahwa kirab dengan akulturasi Siwa-Buddha yang amat kental ini sudah menjadi tradisi di Kelenteng Sing Bie. Dalam kirab ini sedikitnya ada tiga konco yang terlibat yakni Griya Konco Dwipayana Denpasar, Konco Dewi Kwan Im di Pura Taman Sari, dan Konco Ratu Gede Syah Bandar di Puri Jero Kuta. *rat

Komentar