nusabali

Pasamuhan Agung Kebudayaan Bali Tahun 2022, Gubernur: Petakan Aset Budaya di Desa Adat

  • www.nusabali.com-pasamuhan-agung-kebudayaan-bali-tahun-2022-gubernur-petakan-aset-budaya-di-desa-adat

Pasamuhan Agung Kebudayaan Bali 2022 yang baru pertama digelar ditujukan untuk menjaring permasalahan di bidang kebudayaan dan sekaligus mendiskusikan solusinya.

DENPASAR, NusaBali

Gubernur Bali Wayan Koster meminta Majelis Kebudayaan Bali (MKB) dapat bersinergi dengan pihak-pihak terkait untuk memetakan aset-aset budaya Bali yang tersebar di berbagai desa adat di Pulau Dewata.

“Ini langkah cepat harus dilakukan. MKB, dapat bersinergi dengan Dinas Kebudayaan, ISI (Institut Senin Indonesia), Dinas Pemajuan Masyarakat Adat, desa adat maupun perguruan tinggi lainnya untuk memetakan aset budaya kita,” kata Gubernur Koster saat sambutan sekaligus membuka Pasamuhan Agung Kebudayaan Bali Tahun 2022 yang mengambil tema Budaya Pramananing Caksu Siddhi Taksu Jagat Bali, Budaya sebagai Spirit Menghidupkan Taksu Bali, di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Bali, Denpasar, Sabtu (26/11/2022).

Gubernur Koster menyatakan, Bali yang tak memiliki kekayaan sumber daya alam, maka masyarakatnya harus sadar bahwa budaya menjadi kekuatan utama. Oleh karena itu, budaya harus terus dijaga dengan ketat dan bersungguh-sungguh.

Budaya Bali, ujar Ketua DPD PDIP Bali, ini bisa terus eksis hingga saat ini karena juga ditampilkan atau melekat dalam ritual keagamaan. Demikian pula, regenerasi budaya pada masyarakat didukung oleh berbagai sanggar seni yang hidup di desa adat.

Namun, kini di tengah era globalisasi dan perubahan yang begitu cepat, budaya Bali dihadapkan pada berbagai tantangan.

Tak saja tantangan internal dari perilaku masyarakat Bali yang menjadi terombang-ambing karena perubahan, juga tantangan eksternal dari sisi kepentingan agama, politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya.

Dengan pemetaan aset-aset budaya Bali yang tersebar di desa adat, di puri-puri, griya-griya maka dapat dipilah mana budaya Bali yang harus dijaga ketat seperti halnya Tari Rejang yang merupakan tari sakral (tari Wali).

“MKB harus punya prinsip yang kuat, mana yang harus dijaga karena memiliki keunikan tertentu di desa adat, jangan dibawa ke mana-mana. Jangan sampai mengaburkan budaya yang etnik dan sakral di desa adat dengan yang bisa ditampilkan secara umum,” tandas Gubernur asal Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula, Buleleng, seperti dilansir dari Antara.

Selain itu, MKB diminta untuk melihat dengan cermat budaya Bali yang dimiliki dan sudah tampil, serta mana yang belum tampil dan membutuhkan penggalian.

Menurut Gubernur Koster, budaya Bali hingga saat ini belum ada yang bisa menyamai keistimewaannya. Sehingga, tak heran jika budaya Bali yang beragam dan istimewa tersebut banyak dilirik banyak wisatawan.

“Di Bali sendiri kita bersyukur punya aksara dan aksara menunjukkan peradaban paling kuat bagi suatu bangsa. Negara yang mempunyai aksara adalah negara dengan peradaban kuat, dan negara dengan peradaban kuat adalah negara yang akan maju dan tangguh. Jadinya, kita harus memuliakan itu dan aksara adalah warisan budaya yang harus kita lestarikan,” sebut Gubernur Koster seperti dilansir dari detikcom.

Berangkat dari hal tersebutlah, kata Gubernur Koster, pihaknya meminta seluruh lokasi pariwisata hingga fasilitas umum untuk penamaan identitas agar mencantumkan aksara Bali.

Selain itu, pihaknya juga mendorong agar pelajar baik dari tingkat pendidikan paling dasar hingga tertinggi bisa memahami aksara. Sehingga, tak ada lagi stigma bahwa, hanya orang tua dan para sulinggih saja yang memahami aksara Bali.

“Begitu juga dengan pemakaian pakaian adat Bali, bahkan tidak hanya hari Kamis dan rahinan saja kita pakai pakaian adat tapi, di hari Sabtu juga. Ini harus kita budayakan terus sebagai suatu identitas orang Bali,” tegas Gubernur Koster.

Dia menyebut, dengan tingginya penggunaan pakaian adat Bali turut berdampak pada perekonomian rakyat, dalam hal ini mencakup perajin fashion hingga para pedagang.

Gubernur Koster juga meminta masyarakat agar tidak mementaskan Tari Rejang sebagai tari penyambutan tamu dalam berbagai acara. Sebab, Tari Rejang bersifat sakral dan tidak elok dipentaskan di luar konteks upacara keagamaan.

“Sakral ya sakral, jangan diobral. Tari Rejang termasuk tari yang sakral, jadi jaga dia.”

“Oleh karena itu, Tari Rejang ini jangan ditarikan ke mana-mana, dipakai nyambut Gubernur, itu salah. Karena itu dipakai untuk menyambut Ida Bhatara dan para dewa,” kata Gubernur Koster.

Mantan anggota DPR RI itu menambahkan, banyak yang salah kaprah terhadap penempatan tarian sakral di Bali. Hal itu menurutnya menjadi tantangan tersendiri bagi orang Bali.

“Mengapa saya perlu menekankan ini karena (penggunaan tarian tersebut) sudah lari ke mana-mana. Tari Rejang Renteng, Tari Rejang Dewa, Tari Rejang yang lainnya dibawa ke mana-mana dan di tempat yang tidak sepantasnya. Inilah yang merusak dan kitalah yang juga merusak,” sebut Gubernur Koster.

Dia menambahkan, ada banyak tari kreasi Bali yang bisa digunakan sebagai tari penyambutan. Dia meminta seluruh komponen yang tergabung dalam Majelis Kebudayaan Bali (MKB) agar turut menjaga kesenian Bali agar ditempatkan sebagaimana fungsi dan tujuan aslinya.

Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali I Gede Arya Sugiartha menjelaskan Tari Rejang memang merupakan tarian penyambutan sakral di upacara keagamaan. Dengan demikian, fungsinya bukan untuk menyambut tamu.

“Seperti menyambut tamu Gubernur dan Presiden pun jangan. Karena Gubernur dan Presiden adalah manusia. Sementara Tari Rejang ini dipersembahkan untuk Yang di Atas. Sifat tarian ini tetap sebagai sajian penyambutan tapi, konteksnya berbeda,” kata Arya Sugiartha.

Arya Sugiartha menyampaikan pasamuhan melibatkan 14 narasumber dari berbagai bidang budaya. Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Hilmar Farid juga tampil sebagai keynote speaker dalam pembukaan pasamuhan.

Terkait praktik di masyarakat yang seolah merendahkan budaya Bali sendiri, Arya Sugiartha menyatakan sudah memberikan surat edaran kepada desa adat di Bali agar prajuru desa ikut mengawasi. Menurutnya ‘keisengan-keisengan’ seperti itu harus ada pihak-pihak yang mengingatkan.

“Biar bisa memilah-milah, mana konten-konten yang kita anggap tidak sesuai dengan karakteristik masyarakat Bali,” ucap mantan Rektor ISI Denpasar ini.

Sementara itu, Ketua Majelis Kebudayaan Bali Prof Dr I Komang Sudirga mengatakan saat ini budaya Bali makin banyak tantangannya di tengah era disrupsi dan globalisasi.

Sudirga yang juga akademisi ISI Denpasar berpandangan generasi muda Bali tidak sedikit yang justru malah terkagum-kagum dengan budaya asing, yang mungkin ada tidak sesuai dengan etika budaya Bali.

Melalui acara pasamuhan agung (rapat akbar) yang baru digelar perdana tersebut, juga perlu dirumuskan kembali tentang konsep-konsep mengenai tari Wali, Bebali, dan Balih-balihan.

Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Prof Dr I Gede Arya Sugiartha, menambahkan Majelis Kebudayaan Bali merupakan mitra kerja dari Disbud Bali. MKB merupakan transformasi dari Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibiya) Bali.

Oleh karena itu, keanggotaannya ada unsur sulinggih (pendeta), akademisi, budayawan, dan seniman, yang nantinya mereka akan membantu Disbud Bali untuk mengadakan penelitian, kajian, dan pemetaan terkait dengan kebudayaan Bali.

“Tahun ini sudah pula dilakukan sosialisasi seni sakral dengan turun ke kabupaten/kota. Upaya serupa juga telah dilakukan dari tahun-tahun sebelumnya secara berkelanjutan,” ucapnya.

Melalui acara Pasamuhan Agung MKB yang digelar selama dua hari (26–27 November) dengan menghadirkan sejumlah pembicara tersebut ditujukan agar dapat menjaring permasalahan di bidang kebudayaan dan sekaligus dapat didiskusikan solusinya.

“Hasilnya nanti berupa rumusan yang selanjutnya akan disampaikan pada Pemerintah Provinsi Bali. Selain itu, melalui pasamuhan agung ini sekaligus untuk merancang kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan pada 2023,” ujar mantan Rektor ISI Denpasar itu. *cr78

Komentar