nusabali

Mengenal Sapi Bali dan Kelaikan Dagingnya Masuk Hotel dan Restoran

  • www.nusabali.com-mengenal-sapi-bali-dan-kelaikan-dagingnya-masuk-hotel-dan-restoran

DENPASAR, NusaBali.com – Pemerintah Provinsi Bali mendorong agar produk daging sapi Bali dapat masuk hotel dan restoran. Namun, keraguan mengemuka lantaran kualitas daging sapi Bali lebih rendah dari  daging sapi impor. Mungkinkah daging sapi Bali ini bersaing dengan daging dari sapi impor?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, mengenal lebih jauh tentang sapi Bali sangat diperlukan untuk memahami kelebihan dan kekurangannya. Dengan demikian, dapat diketahui nilai plus apa yang bisa dijual dari sapi bernama latin Bos sondaicus ini.

Berdasarkan penjelasan ahli peternakan dari Universitas Warmadewa (Unwar), Dr Ir I Dewa Nyoman Sudita MP, 64, di dunia ini ada tiga jenis sapi yakni Bos indicus atau sapi brahman yang sering ditemui di India. Sapi ini memiliki punduk sebagai ciri khasnya. Kedua ada sapi jenis Bos taurus yang menjadi induk dari sapi-sapi Eropa. Kemudian, ada Bos sondaicus yang menjadi induk dari banteng di Baluran, Banyuwangi, Jawa Timur.

“Sapi Bali ini masih erat kaitannya dengan banteng yang ada di Baluran. Banteng-banteng tersebut kemudian dibawa ke Bali dan dijinakkan. Banteng tersebut mengalami adaptasi dan menjadi sapi Bali yang kita kenal sekarang,” tutur Dr Dewa Sudita ditemui Kamis (17/11/2022) sore.

Menurut Ketua Prodi Magister Sains Pertanian, Fakultas Pertanian Unwar ini, sapi Bali memiliki beberapa keunggulan dari segi fertilitas, adaptivitas, dan kuantitas karkasnya.

Meskipun memang dari segi genetik di bawah sapi-sapi Eropa, sapi Bali dinilai memiliki tingkat kesuburan yang lebih tinggi daripada sapi-sapi lokal lain di Nusantara. Hal ini dikarenakan apabila sapi Bali dibuahi maka kemungkinan hamil sangat tinggi atau dapat dikatakan bahwa sekali dibuahi pasti berhasil.

Kemudian, daya tahan sapi Bali terhadap lingkungan sangat tinggi karena hewan ruminansia ini sangat adaptif terhadap dinamika tempat hidup mereka. Sekalipun dipelihara dalam kondisi yang sulit seperti minim pakan dan cuaca yang ekstrem, sapi Bali masih bisa hidup. Tidak salah bahwa masyarakat yang mengikuti program transmigrasi biasanya menernakkan sapi Bali.

Yang cukup mengejutkan adalah kuantitas karkas sapi Bali. Karkas secara sederhana adalah kondisi di mana sapi tersebut sudah disembelih, darahnya dikeluarkan, jeroannya dikeluarkan, kepala dan kaki dihilangkan. Kata Dr Dewa Sudita, karkas sapi Bali hampir sama dengan karkas sapi Eropa yakni di kisaran 55-57 persen dari total badan.

“Lalu, kalau ditanya apakah mungkin sapi Bali dibuat seperti sapi-sapi Eropa? Kemungkinannya ada, kemungkinannya cukup besar,” cetus mantan Sekretaris Jenderal Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Bali ini.

Namun, tantangannya cukup besar untuk mencapai tahap tersebut. Dijelaskan Dr Dewa Sudita, sapi Bali sudah mengalami degradasi performa. Faktor yang menyebabkan adalah perubahan lingkungan dan inbreeding (perkawinan sedarah). Alih fungsi lahan yang memperkecil pakan hijau dan pola perkawinan sedarah yang dilakukan peternak menjadi dua faktor kualitas sapi Bali saat ini sudah menurun.

Di lain sisi, untuk menghasilkan daging sapi yang berkualitas diperlukan pakan yang ideal. Selain itu, pola peternakan yang profesional juga diperlukan untuk mendukung peningkatan kualitas daging sapi Bali.

Agar kualitas sapi itu sendiri dapat terkatrol diperlukan program inseminasi buatan (IB) yang intensif, apalagi di Bali saat ini sudah ada laboratorium pengembangan semen pejantan unggul (super bull) di Kecamatan Baturiti, Tabanan. Penggalakan IB ini dapat membuahi betina sapi Bali untuk menghasilkan anakan yang lebih segar.

Kemudian diperlukan pula pola peternakan yang profesional. Saat ini, sebagian besar sapi Bali diternakkan secara kerakyatan dan dijadikan semacam sampingan atau tabungan oleh petani. Sapi tersebut baru akan dijual apabila diperlukan. Faktor ini pulalah yang mengakibatkan kualitas daging sapi Bali jauh di bawah sapi Eropa.

Sapi yang dipelihara atau didiamkan terlalu lama, di mana sapi tersebut diternakan secara kerakyatan, otot sapi tersebut lama-lama akan mengeras. Lebih-lebih, apabila sapi itu terlalu banyak bergerak maka otot (daging) tersebut akan menjadi alot. 

Padahal sapi itu baik mulai dipelihara pada usia 1,5-2 tahun. Kemudian digemukkan dengan asupan pakan minimal 10.000-11.000 kilokalori, idealnya 12.000 kilokalori per hari per ekor. Sumber kalori itu bisa didapat dari pakan hijau, tumbuhan kacang-kacangan (leguminosa), dedak, konsentrat, molase, dan kombinasi lain untuk memenuhi energi dan protein ternak.

“Makanya tadi saya bilang, apakah mungkin untuk bersaing dengan daging sapi Eropa, saya bilang mungkin dengan catatan pakannya harus bagus. Kalaupun diternakkan dengan cara kerakyatan jika diberikan kombinasi pakan yang bagus maka hasil dagingnya juga akan bagus,” jelas Dr Dewa Sudita.

Oleh karena itu, permasalahan kelaikan sapi Bali untuk masuk ke dalam industri hotel dan restoran sebenarnya cukup minor pada lingkup genetik dan jenis sapi Bali yang memang tidak lebih bagus daripada sapi Eropa. Hanya saja, dengan pemberian pakan yang beragam dengan kombinasi pakan hijau (rumput), leguminosa, dan asupan protein lain yang mendukung pembentukan jaringan daging yang baik maka sapi Bali sangat mungkin bersaing dengan sapi-sapi Eropa yang lebih dulu merajai pasar. *rat

Komentar