nusabali

Mengenal Kesakralan Tari Baris Babuang, Warisan Leluhur Desa Adat Batulantang

Ditetapkan Jadi WBTb Kemdikbud RI dari Desa Sulangai, Kecamatan Petang, Badung

  • www.nusabali.com-mengenal-kesakralan-tari-baris-babuang-warisan-leluhur-desa-adat-batulantang

MANGUPURA, NusaBali.com – Tari Baris Babuang merupakan tari wali berasal dari Desa Adat Batulantang, Desa Sulangai, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Tari ini dikenal magis dan unik karena memadukan dua jenis tarian dan dua paledan tarian.

Berdasarkan situs Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia yang dikelola Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) RI, tarian ini sudah diajukan ke dalam pencatatan sejak tahun 2018.

Tiga tahun berselang tepatnya pada 7 Desember 2021, tarian yang memiliki kaitan erat dengan Pura Kahyangan Jagat Kancing Gumi dan pendirian padukuhan Batulantang ini akhirnya disetujui.

Sertifikat Warisan Budaya Takbenda yang ditandatangani Mendikbudristek Nadiem makariem  itu pun sudah diterima Pemkab Badung pada HUT ke-13 Mangupura, ibu kota Kabupaten Badung, pada 16 November 2022.
 
Berdasarkan keterangan Pekaseh Subak Batulantang I Made Pariasa, 52, yang juga terlibat dalam penelusuran tim pembukuan Tari Baris Babuang, tarian ini tercatat dalam Purana Giri Wana atau Hyang Gunung Alas. Purana ini, kata Pariasa, menjelaskan perjalanan leluhur masyarakat Batulantang berpindah dari selatan ke utara.

“Dulu panglingsir itu berpindah dari wilayah selatan yang banyak jurang menuju ke wilayah utara. Ditemukan kemudian sebuah bukit yang kemudian diratakan dan dibersihkan selama berbulan-bulan. Dari proses tersebut para panglingsir menemukan batu berdiri tertanam yang tidak ditemukan dasarnya,” kata Pariasa dijumpai di Kantor Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung ketika mengurus pemberkasan pasca penetapan WBTb Tari Baris Babuang, Rabu (16/11/2022) sore.

Batu tersebut disebut sakral dan disucikan panglingsir sebagai Siwa Mangadeg (batu berdiri). Penemuan ini kemudian mengilhami istilah Batulantang sebagai nama padukuhan yang dibangun panglingsir pada masa itu.

Kata Pariasa, batu tersebut masih ada hingga saat ini dan masih beberapa kali menunjukkan pertanda-pertanda tertentu bagi krama.

Padukuhan atau permukiman yang baru dibangun tersebut penduduknya masih terbilang sedikit. Untuk menjaga wilayah tersebut maka kemudian dipilihlah 8 yowana gagah perkasa untuk menjadi prajurit atau pecalang padukuhan. Keberadaan 8 prajurit inilah yang menjadi cikal bakal keberadaan Tari Baris Babuang.

Dikatakan bahwa ketika ada upacara besar yang akan diadakan pada masa itu, para panglingsir mendapat pawisik (wangsit) bahwa akan ada kekuatan jahat yang bakal merusak pelaksanaan upacara tersebut.

Namun, pada prinsipnya para panglingsir percaya bahwa kekuatan jahat akan dapat dinetralisir dan didamaikan apabila mereka diberi penghormatan dan jamuan. Prinsip ini disebut ‘dewa ya, kala ya’.

“Untuk menetralisir kekuatan negatif atau bhuta kala tersebut, diadakanlah upacara nyomya (mendamaikan) atau mabuu. Sama seperti kata ‘babuang’ yang berasal dari kata ‘mabuu’ yaitu melakukan penetralisiran terhadap kekuatan bhuta kala yang ingin merusak,” jelas Pariasa.

Tari Baris Babuang ini dapat dikatakan sebagai pencerminan dari peristiwa di masa lalu tersebut yang terus dilestarikan dan dilaksanakan secara turun temurun hingga saat ini.

Berdasarkan keterangan Pariasa, tarian ini dilakukan oleh 8 yowana putra yang dibagi ke dalam dua peran yakni 4 yowana sebagai prajurit dan 4 lagi sebagai bhuta kala.

Dua kelompok tarian ini disebut paledan. Paledan pertama adalah tarian prajurit yang berbusana serba poleng dengan tepian kain berwarna merah. Keempat prajurit ini membawa senjata yang disebut Blecong.

Senjata tersebut berasal dari tanaman bongkot (Etlingera elatior) tua. Tarian pada paledan pertama ini sekilas seperti gerakan tari baris pada umumnya namun memiliki formasi yang berbeda.

“Ada gerakan di mana para prajurit ini berputar melingkar kemudian memadukan Blecong yang mereka bawa di angkasa. Ini menyimbolkan penyatuan kekuatan dan pikiran dari empat prajurit. Apabila ketika memadukan Blencong sebanyak tiga kali ini tiba-tiba ada yang patah, di saat itu juga penari atau krama pasti mengalami karauhan,” ujar Pariasa.

Pengalaman menyaksikan Blecong yang patah ini didengar Pariasa langsung dari putranya yang sempat ngayah.

Ketika ada Blecong yang pada saat dipadukan, dikatakan bahwa ada energi luar biasa besar yang ‘meledak’ di pusat tarian di mana semua penari akan terjatuh. Kedatangan (rauh) energi yang besar ini tidak dapat dikendalikan oleh manusia biasa, itulah mengapa pada saat karauhan beberapa ada yang menangis dan sebagainya.

Sementara itu, pada paledan kedua mencerminkan bhuta kala yang ingin mengganggu jalannya upacara.

Pakaian yang digunakan penari tergolong sama hanya saja tidak menggunakan senjata tetapi membawa kekereb (kain yang dirajah) berwarna merah. Selain itu, para penari juga harus menggigit lapisan jantung pisang yang mencerminkan lidah panjang dari bhuta kala.

Tarian pada paledan kedua ini sekilas seperti tarian lenda-lendi atau sisya dari Calonarang. Bedanya ada pada pakaian dan ditarikan oleh laki-laki.

Satu demi satu penari memasuki area pementasan yang biasanya dilaksanakan di madya mandala pura. Setelah satu penari masuk dan melakukan tarian, penari pertama ini akan memanggil penari kedua untuk menari (merusak upacara) bersama dan begitu seterusnya sampai pada penari keempat.

Berbeda pada paledan pertama, paledan kedua ini menggunakan sesajen beralaskan tikar yang diletakkan di tengah area pementasan. Keempat penari ini menari masing-masing di empat penjuru sesajen tersebut, berputar, kemudian kembali mengambil posisi di penjuru masing-masing.

Setelah separuh tarian, Jero Mangku akan memasuki tarian dan duduk di tengah penari atau di atas tikar sesajen untuk berjapa mantra guna mempersembahkan sesajen tersebut kepada bhuta kala. Selama berjapa mantra ini, keempat penari tetap menari di empat penjuru sesajen dan Jero Mangku dengan gerakan seperti sebelumnya diselingi memutari sesajen.

Tarian tersebut diakhiri dengan sesajen tersebut beserta tikarnya diputar dan dibawa pergi oleh tarian paledan kedua ini.

Prosesi ini untuk mabuu kekuatan negatif yang dicerminkan pada paledan kedua dan kekuatan positif pada paledan pertama.

Dengan pelaksanaan ritual Tari Baris Babuang ini diharapkan semesta beserta isinya dapat damai dan jauh dari kemalangan.

Saat ini, Tari Baris Babuang dikenal sebagai tari wali Desa Adat Batulantang yang dipentaskan pada upacara besar di pura-pura dalam wilayah desa adat, terutama Pura Kahyangan Kancing Gumi. Seperti namanya, pura ini dipercayai sebagai panekek gumi Bali bahkan dunia.

“Tari ini dilakukan secara turun-temurun. Semua yowana di Desa Adat Batulantang itu ngayah menari tarian ini dengan tulus ikhlas karena siapa pun yowana ketika dibutuhkan oleh Jero Bendesa untuk ngayah saat piodalan, mereka akan bergerak sendirinya,” tandas Pariasa.

Menurut Bendesa Adat Batulantang, I Rai Ardana, 51, yang dikonfirmasi dalam kesempatan terpisah pada Kamis (17/11/2022) sore, tarian ini sudah dilakukan secara turun-temurun namun belakangan tarian ini dipakemkan gerakannya agar lebih tertata dan tetap. Kemudian, untuk yang ngayah juga sudah ditetapkan secara bergilir agar dapat dilaksanakan persiapan.

“Tarian ini hanya dipentaskan pada pujawali yang majaba jero dengan banten bebangkit di pura-pura yang ada di wewidangan di daerah Desa Adat Batulantang. Pementasan Tari Baris Babuang yang sakral ini mengikuti besaran upacara, di bawah banten bebangkit biasanya tidak dipentaskan,” tutur Rai Ardana.

Dengan penetapan Tari Baris Babuang sebagai WBTb Indonesia ini, Rai Ardana berharap mendapat dukungan material dan moral untuk dapat mengonservasi tarian sakral warisan leluhur Desa Adat Batulantang tersebut. *rat

Komentar