nusabali

Kanda Pat Getarkan Rupa Karya Susiawan

  • www.nusabali.com-kanda-pat-getarkan-rupa-karya-susiawan

GIANYAR, NusaBali
Garis dan warna merupakan unsur inti dari lukisan Susiawan. Bidang lukisan Susiawan berselubung serat garis dan warna yang dianyam secara intuitif mengikuti gerak jiwa.

Serat garis dan warna mengalun ekspresif sekaligus ritmis dan meditatif. Menjelmakan suatu dunia yang bersahaja, tapi merebakkan aura misteri dan enigma (teka-teki). Dan, semua itu tergetarkan oleh kekuatan Kanda Pat.  

Gambaran itu terungkap dari lukisan-lukisan karya Sukma Susiawan, akan dipamerkan pada 28 Oktober - 28 November 2022, di Tony Raka Gallery, Jalan Raya Mas, Desa Mas, Kecamatan Ubud, Gianyar.

Susiawan pelukis yang sudah bermukim di Bali sejak 2007. Dia sempat lama tinggal di Kanada bersama istrinya, Susan Allen. Sejak masih kuliah pada 1970 - 1980-an, dia pekerja sosial bidang pendidikan anak berbasis seni. Selain melukis, bersama istrinya dia mengelola sanggar seni kontemporer untuk anak dan remaja di Ubud. Pada 2020, dia mulai mengerjakan karya-karya yang didasari penggalian 'akar budaya spiritualisme lokal Hindu Jawa dan Bali'. Hasilnya adalah seri lukisan dan karya grafis bertema 'Imaji Kanda Pat'. Karya-karya dari seri ini mendominasi materi pameran Sukma Painting (Lukisan Sukma). Istilah 'kanda pat' berarti 'empat saudara'. Dalam kepercayaan tradisional Bali, kanda pat adalah empat saudara kandung mistis yang menemani setiap orang sejak dari dalam kandungan sampai meninggal dunia.

Kanda pat juga dikenal di Jawa, tapi dengan nama lain. Ketika masih kecil, semasa tinggal di Solo, Jawa Tengah, Susiawan sudah mendengar tentang kanda pat dari lingkungan keluarganya.

Di Bali, berpuluh-puluh tahun kemudian, Susiawan diperkenalkan lebih jauh dengan Kanda Pat oleh salah seorang rekannya. Dia juga diantarkan ke sebuah pura yang dipersembahkan untuk Kanda Pat, yaitu Pura Luhur Catur Kanda Pat Sari Pengideran Dewata Nawa Sangha di Peguyangan, Denpasar.

Persentuhan dengan Kanda Pat di Bali itu terasa sangat mencerahkan bagi Susiawan, membangkitkan energi kreatifnya untuk menciptakan karya-karya yang diilhami kanda pat. Jalan kreatif yang bersendikan spiritualitas menjadi terbuka lebar untuknya. “Saya berterima kasih yang dalam terhadap kuasa Tuhan, terhadap sang bunda, Sang Kanda Pat, dan Semesta, sehingga saya selamat dan rahayu. Meditasi sederhana ini mengantarkan saya ke keheningan yang damai dalam sapuan spontan kuas yang cepat dengan warna-warna,” tutur Susiawan.

Susiawan tampak banyak menyerap unsur-unsur tradisi spiritual Bali ke dalam kerja seninya yang berorientasi spiritual. Seri lukisan 'Imaji Kanda Pat' didominasi warna merah, hitam dan putih. Tiga warna tersebut mengingatkan pada warna gelang benang yang bermakna religius dan biasa dikenakan di pergelangan tangan kanan pemeluk agama Hindu-Bali. Gelang triwarna ini dikenal dengan nama 'Tridatu'. Warna gelang Tridatu melambangkan Tuhan dalam tiga manifestasinya, yaitu Dewa Brahma (merah), Dewa Wisnu (hitam), dan Dewa Siwa (putih). Gelang Tridatu juga menyimbolkan tiga fase kehidupan, yaitu lahir, hidup, dan mati. Unsur visual yang juga tampil mencolok pada lukisan-lukisan Susiawan adalah pola-pola melingkar serupa pusaran arus. Pola-pola melingkar ini seperti mengisyaratkan tahap awal terbentuknya simbol sakral atau simbol mistis berbasis lingkaran yang biasa didapati dalam berbagai tradisi spiritual.  Garis-garis lengkung seakan menari kesurupan pada bidang lukisan Susiawan. Ruang terasa menggeliat hidup oleh ayunan maupun hempasan gelombang-gelombang energi. Tarian garis juga sering membentuk formasi yang sayup-sayup menggemakan karakter aksara Bali. Guratan garis kaligrafis pada lukisan Susiawan terlihat seperti prototipe tulisan suci atau tulisan mistis dalam tradisi spiritual Bali. Di Bali, aksara memiliki kedudukan penting di dunia spiritualisme. Penekun spiritualisme seperti pendeta dan balian kerap memanfaatkan aksara untuk sarana penyembuhan, pelindungan, pemberdayaan, dsb. Pengguratan aksara untuk tujuan spiritual terdapat dalam praktik pembuatan jimat rajah maupun peneraan simbol suku kata mistis pada tubuh manusia.

Arief Bagus Prasetyo yang menjadi kurator pameran mengatakan, pada fajar modernisme seni di Eropa pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, spiritualitas menduduki tempat penting dalam sejarah seni rupa. Spiritualitas berada di jantung modernisme.

Gagasan mistis banyak meresapi karya para perupa modernis ternama seperti Kandinsky, Malevich, Mondrian, Miro, dan Klee. Seiring perjalanan modernisme, terutama setelah kedatangan pascamodernisme, spiritualitas menjadi tersingkirkan dari lembaran sejarah seni rupa.

Namun, sebagaimana dicatat Eleanor Heartney dalam 'Spirituality Has Long Been Erased from Art History. Here’s Why It’s Having a Resurgence Today', era kontemporer menyaksikan kebangkitan spiritualitas dalam seni rupa. Seni rupa bernapaskan spiritual kini banyak mendapat perhatian. *cr78

Komentar