nusabali

MUTIARA WEDA: Pandita Kaya dan Berkuasa?

Artham mahāntamāsādya vidyāmaisvayyyameva ca, Vicaredasamunnaddham yah sa pandita ucyate. (Sarasamucchaya, 316)

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-pandita-kaya-dan-berkuasa

Seorang pandita, bahkan setelah memiliki kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan, tidak berperilaku congkak dan sombong.

PERSEPSI sebagian besar orang terhadap pandita adalah kehidupannya sederhana, tenang, bijaksana, tidak terikat dengan benda-benda duniawi, memfokuskan diri pada kontemplasi, dan memiliki perilaku luhur. Teks di atas menyebut bahwa seorang pendeta memiliki kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan. Dari ketiga kepemilikan tersebut, mungkin hanya memiliki pengetahuan yang dipersepsi baik oleh masyarakat. Sementara kekayaan dan kekuasaan bukanlah atribut seorang pendeta yang hidupnya tidak terikat. Seperti itulah persepsinya kurang lebih.

Namun teks di atas menyatakan bahwa kekayaan dan kekuasaan juga bisa menjadi atribut dari seorang pandita. Kekayaan dan kekuasaan adalah atribut di dunia ini sehingga pandita pun bisa ada di dalamnya. Penekanan dari teks di atas adalah bukan pada kekayaan dan kekuasaannya, melainkan atribut lain yang muncul kemudian dari kekayaan dan kekuasaan tersebut. Apa itu? Congkak dan sombong. Pandita boleh kaya dan berkuasa sepanjang tidak congkak dan sombong. Sepanjang tidak sombong dan congkak, maka kekayaan dan kekuasaan bukan menjadi masalah bagi pandita. Ini tentu berbeda dengan persepsi umum terhadap pandita.

Mengapa persepsi masyarakat dan teks di atas ada perbedaan? Ada beberapa hal yang harus dipahami. Pertama, sejak awal diajarkan bahwa seorang pandita itu adalah dia yang telah melepaskan diri dari ikatan duniawi. Satu-satunya pengertian dari ‘melepaskan diri dari ikatan duniawi’ adalah hidup miskin atau berpantang dengan kehidupan mewah. Ini yang mempenetrasi kesadaran masyarakat sehingga ketika memandang seorang pandita, persepsi inilah yang hadir. Ketika persepsinya sesuai dengan keadaan, maka dia hormat. Tetapi, jika persepsinya tidak sesuai dengan kenyataan, tiba-tiba seorang pandita berpakaian mahal, menggunakan mobil mewah, diperlakukan seperti raja dan yang sejenisnya, maka mereka cenderung tidak suka. Bahkan, saat ini banyak yang berani mencaci maki dan menghina di media sosial.

Kedua, kehidupan pandita yang berpindah-pindah, dan hidupnya digantungkan dengan cara meminta-minta mungkin banyak dipengaruhi oleh tradisi sramana. Hadirnya tradisi sramana ini menjadikan terbentuk satu lagi gugusan baru pola kehidupan pandita. Yang pertama hidup dengan mengasingkan diri dan miskin. Sementara yang kedua, tetap berada dalam lingkungan masyarakat dan hidupnya terjamin dengan finansial yang melimpah. Zaman dulu, para penasihat raja adalah seorang pandita yang sangat dihormati dan diberikan fasilitas kehidupan yang sangat layak. Mereka disiapkan pelayan untuk mengerjakan pekerjaan domestik, serta ketika ada sidang, beliau didudukkan di tempat yang tinggi dan perkataannya sangat didengar.

Uniknya, ketika kita lihat di lapangan, para pandita hampir semuanya hidup seperti yang nomor dua, yakni pandita tinggal menetap, menghidupi diri sendiri, dan tidak sedikit memiliki rumah (griya) yang bagus dan kehidupan yang nyaman. Namun, keinginan serta persepsi masyarakat tentang seorang pandita adalah mereka yang kehidupannya sederhana dan tidak memikirkan kehidupan duniawi. Sedikit saja ada masalah yang berhubungan dengan dinamika sesana kesulinggihan, masyarakat bisa dengan mudah menghakimi. Mungkin persepsi dan harapan kepada pandita seperti itulah penyebabnya, harus hidup miskin dan terpisah dari kehidupan duniawi.

Penjelasan teks di atas sepertinya menguraikan jenis pandita yang menetap dengan fasilitas kehidupan yang memadai sebagaimana halnya orang biasa. Makanya di sini dikatakan bahwa pandita memiliki kekayaan dan kekuasaan. Kekayaan yang dimaksudkan berupa materi, seperti rumah, emas, uang, dan properti lainnya. Kekuasaan yang dimaksudkan mungkin modal sosial dan pengaruh. Pandita dikatakan memiliki pengaruh kepada masyarakat, memiliki kekuasaan atas wacana dan rencana pembangunan berkelanjutan. Nasihat seorang pandita sangat diperlukan oleh seorang pemimpin sebelum mengambil keputusan yang besar. Nasihat bijak yang diberikan kepada pemimpin dan masyarakat sangat pantas diganti (daksina) dengan materi dan penghormatan. Ini adalah konsekuensi dari kecerdasan dan kebijaksanaan yang dimanfaatkan. Sehingga, kekayaan dan kekuasaan tidak masalah pagi seorang pandita, asal beliau tidak sombong dan congkak atas materi dan kekuasaan yang dipegangnya itu. *

I Gede Suwantana

Komentar