nusabali

Seniman Badung I Ketut Putrayasa Hadirkan Seni Instalasi di Agenda G20

  • www.nusabali.com-seniman-badung-i-ketut-putrayasa-hadirkan-seni-instalasi-di-agenda-g20

MANGUPURA, NusaBali.com - Seniman Badung I Ketut Putrayasa mendapat kesempatan untuk merespons ajang ‘World Conference Economy Creative’ yang digelar di Hotel Westin, Nusa Dua, dengan memamerkan 35 karya seni instalasi bambu yang dikerjakan ratusan orang.

Nusa Dua memang  menjadi konsentrasi dunia beberapa hari belakangan ini. Pasalnya, pertemuan tingkat tinggi KTT G20 akan dihadiri para petinggi negara dari berbagai penjuru dunia.

“Saya hanya merespons lewat karya instalasi bambu. Bambu menjadi alternatif dalam penerapan material ekologis dengan syarat aman bagi kesehatan manusia dan lingkungan, atau disebut juga sebagai material yang sustainable and environmentally friendly,” ungkap Putrayasa.

Ia menuturkan, karya seni instalasi ini memakai bambu sebagai material utama. Subjek materi dalam karya ini menampilkan bentuk jamur sebagai ungkapan metaforik yang menggambarkan pertumbuhan dan kebersamaan layaknya sifat tumbuhan jamur yang tumbuh dengan cepat dalam satu koloni spora, subjek materi jamur ini dipertegas dengan pemakaian material bambu yang secara alamiah memiliki sifat kuat, tangguh, dan lentur. 

Kata 'kreatif' memiliki pengertian ‘daya cipta’ atau ‘memiliki kemampuan untuk menciptakan’. Sementara itu ‘kreativitas’ berarti kemampuan untuk mencipta atau daya cipta. Kreativitas merupakan naluri yang sudah dimiliki manusia sejak lahir.

“Nilai tersebut juga hadir dalam proses pengerjaan karya ini yang dibuat secara kolektif. Sebagai seniman, saya dibantu oleh 700 orang yang bekerja bersama selama 10 hari,” ujarnya. 

Lebih lanjut dijelaskan, nilai kolektivitas dalam penciptaan karya seni rupa menguat sejak beberapa tahun terakhir sebagai sebuah wacana dalam ekosistem seni rupa kontemporer. 

“Nilai komunal dan kolektivitas dalam konteks penciptaan karya sesungguhnya telah ada dalam tradisi penciptaan karya seni rupa dan budaya visual dalam ruang ruang kebudayaan tradisi kita di Bali,” ucap seniman asal Tibubeneng, Kuta Utara Badung itu. 

Ia menjelaskan, ada sistem pengorganisasian kerja yang terjadi dalam kerja kolektif yang terjadi dalam kerja kolektif di ruang tradisi; bagaimana seorang perupa yang diposisikan sebagai sangging atau undagi yang bertanggungjawab pada para pengayah atau artisan yang bekerja membantu mewujudkan bentuk dan konsep yang telah ditetapkan sang perupa.

Di samping secara pola kerja kolektif, secara pilihan teknis karya ini, kata Putrayasa juga menggali dari pengetahuan kontruksi tradisional Bali dalam mengolah material bambu. 

“Teknik jalinan, ikatan dan anyaman kontruksi yang disebut iket tinjeh dalam pengerjaan bade atau menara pengusung jenazah dalam upacara ngaben dikembangkan dalam proses penciptaan karya ini. Sebuah kolektivitas yang holistik, dan kreatif secara inklusif,” pungkasnya. * isu

Komentar