nusabali

Nengah Kuti, Perajin Gerabah yang Masih Bertahan di Tojan

  • www.nusabali.com-nengah-kuti-perajin-gerabah-yang-masih-bertahan-di-tojan

SEMARAPURA, NusaBali.com - Perajin gerabah tradisional dari tanah liat semakin langka digerus zaman. Pekerjaan yang dulunya menjadi mata pencaharian favorit bagi warga Desa Tojan kini nyaris tidak ada lagi yang menekuninya.

Padahal desa yang berada di Kabupaten Klungkung ini dulunya adalah pusat kerajinan gerabah. Di tahun 1960an, ratusan warga Desa Tojan menjadi perajin gerabah.

Kini, hanya Nengah Kuti, 63, yang tetap bertahan.  Ditemui di lokasi pembuatan gerabah miliknya di Desa Tojan, Nengah Kuti terlihat tekun melakoni pekerjaan ini.

“Dulu orangtua saya yang bekerja membuat gerabah, sehingga  saya tertarik,” ujar Nengah Kuti saat ditemui Rabu (28/9/2022).

Meski di usianya yang hampir uzur, terlihat semangat yang terpancar dari raut muka wanita kelahiran 1959 ini. 

Bagaimana tidak, ia dengan tekun mengulek-ulek tanah liat yang dicampur air agar lunak dan bisa dibentuk sedemikian rupa. Tidak butuh waktu lama, kurang dari 10 menit Nengah Kuti berhasil membuat gerabah ukuran 10 cm secara manual dan siap untuk dijemur.

Nengah Kuti mengaku sudah biasa membuat gerabah sejak kanak-kanak. “Ketika zaman G30S/PKI, saya sudah sekolah kelas 2 SD tetapi sekolah hanya sebentar lalu putus sekolah untuk membantu orang tua bekerja,” kenangnya.

Nengah Kuti menyebutkan, dalam sehari dirinya mampu mengerjakan 20 biji payuk (tempat tirta). “Kalau yang kecil-kecil seperti lepekan bisa sampai 50 biji sehari tergantung juga capek atau tidaknya. Karena sudah tua, tidak sanggup buat banyak-banyak,” papar Nengah Kuti.

Proses pembuatan gerabah, diakui  Nengah Kuti, cukup rumit. Langkah pertama ia harus menjemur tanah liat tersebut sampai kering. 

Setelah benar-benar kering, tanah itu ia tumbuk sampai halus yang kemudian di saring menjadi butiran yang lebih halus. Selanjutnya, tanah itu akan diadon bersama air sedikit demi sedikit untuk mendapat tekstur yang baik pada saat dilakukan pencetakan.

Setelah tanah liat sudah tidak menggumpal dan bagus digunakan, Nengah Kuti selanjutnya mencetak satu persatu menggunakan alat putar yang sederhana. 

Semua gerabah yang telah ia cetak akan dijemur seharian hingga kering dan ia akan mengumpulkan semua itu selama 10 hari. 

“Kalau sudah dapat banyak baru semua gerabah dibakar menggunakan somi (padi kering) agar warnanya menjadi merah. Cukup dua jam saja lalu diangkat,” ujar Nengah Keti.

Nengah Keti mengakui hanya dirinya sendiri yang masih bertahan dan tidak ada lagi generasi penerusnya. Bahkan disebutkannya di Desa Tojan pun saat ini tidak ada orang yang menekuni pembuatan gerabah karena penerus sebelumnya sudah meninggal dunia. 

“Saya tidak menikah, tidak punya anak. Jadi tidak ada lagi yang membuat gerabah karena pekerjaan ini memang berat dan sulit untuk dilakoni. Akan tetapi untuk membeli beras membeli kopi, membeli canang dan untuk keperluan dapur sehari-hari masih cukup,” ujarnya sendu.

Di antara gerabah yang sering dibentuknya adalah model periyuk, tempat tirta, coblong sebagai tempat tirta untuk upacara kecil dan upacara besar, lalu (dupa/pasepan) yang digunakan oleh pemangku saat upacara dan gerabah lainnya yang biasa dipakai untuk upacara yadnya.

Soal tanah liat yang ia dapat,  Nengah Kuti langsung membelinya satu truk seharga Rp 1juta. Dan tanah-tanah itu disimpan dan bisa bertahan sampai enam bulan lamanya.

“Jika tidak ada tanah pasti saya akan khawatir. Saya berpikir, dimana saya mendapatkan tanah? Kalau sudah Tuhan berkehendak selalu ada jalan dan jika tidak ada, saya merasa sulit,” ujarnya.

Setiap 10 hari sekali, Nengah Kuti selalu membawa gerabah yang sudah siap dijual ke Pasar Galiran, Klungkung untuk dititipkan. 

Soal harga gerabah, ungkapnya juga tidak pernah ada perubahan atau pun kenaikan harga sejak dulu. Ini ia lakukan agar gerabah yang ia kerjakan laku semua dan agar ia bisa membeli kebutuhan makanan sehari-hari.

“Jika punya 50 biji coblong yang harganya Rp 500/biji, saya dapat uang Rp 100.000. Lalu jika membawa 100 biji sangkon dengan harga Rp 800/biji, saya akan dapat Rp 80.000. Cukup untuk beli beras sama kopi saja,” ujarnya sembari meletakkan gerabahnya.

Ia berharap, perajin gerabah kelak akan ada penerusnya entah dari adiknya, keponakan, atau orang sekitarnya.

“Jika tidak ada yang meneruskan saya merasa sedih. Walaupun begitu, pekerjaan ini sekaligus bentuk saya bisa ngayah kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena pekerjaan ini hanya untuk dipersembahkan kehadapan-Nya,” pungkas Nengah Keti berkaca-kaca. *ris

Komentar