nusabali

Transisi Energi Diminta Berpegang pada Prinsip-Prinsip Demokrasi

AEER Gelar Festival Demokrasi Energi

  • www.nusabali.com-transisi-energi-diminta-berpegang-pada-prinsip-prinsip-demokrasi

DENPASAR, NusaBali.com –  Untuk mendorong pemerintah segera mentransisikan sumber energi dari fosil menjadi energi terbarukan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan desentralisasi, Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) menggagas sebuah diskusi bertajuk Festival Demokrasi Energi, Sabtu (24/9/2022).

Diskusi berkolaborasi dengan 350 Indonesia tersebut dilangsungkan di Halo Coffee Jalan Badak I Nomor 13 Denpasar. Hadir wakil dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Kepala Bagian Tata Usaha Balai Besar Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Wilayah III, I Nyoman Gede Wiryajaya dan praktisi energi terbarukan I Gusti Ngurah Agung Putradhyana alias Gung Kayon. 

Demokrasi energi atau dapat diistilahkan dengan desentralisasi energi merupakan suatu kejadian yang memungkinkan setiap orang untuk berpartisipasi memenuhi kebutuhan energinya masing-masing berdasarkan potensi setempat. 

“Demokrasi energi lahir dari upaya menghargai otonomi lokal atas sumber daya dan upaya kita untuk mendorong pemerintah segera mentransisikan sumber energi dari yang sekarang fosil ke terbarukan dengan prinsip-prinsip demokrasi juga desentralisasi energi dalam hal kebangkitan,” ujar Finance Campaigner 350 Indonesia, Suriadi Darmoko.

Desentralisasi energi, lanjut Suriadi Darmoko, terkait dengan pembangkitan listrik yang sumber energinya berasal dari energi terbarukan seperti surya, air, angin dan lain-lain sehingga pembangkitnya tidak terpusat.

“Pengelolaan pembangkitnya tidak terpusat tetapi masyarakat dan komunitas bisa membangun pembangkit listriknya sendiri sesuai dengan potensi energi terbarukan yang ada di daerahnya masing-masing,” lanjut Suriadi Darmoko.

Makna transisi demokrasi energi ini dinilai penting, agar semua orang mendapatkan akses listrik di berbagai penjuru. Energi yang cukup terjangkau seharusnya dapat diakses oleh semua orang, terutama oleh kelompok yang rentan, seperti masyarakat lokal dan adat, masyarakat miskin, dan kelompok terpinggirkan lainnya. Namun, ironisnya hal ini masih terjadi di beberapa pelosok seperti di daerah Kalimantan Timur.

“Beberapa Desa di Kalimantan Timur belum teraliri listrik sehingga masyarakat lokal harus membeli genset diesel dan panel surya pribadi. Sehingga listrik hanya dapat dinikmati masyarakat yang mampu saja,” ujar Koordinator AEER, Pius Ginting. 

Soal tersosialisasinya perpindahan energi berbahan fosil, sebut Pius Ginting, akan diprioritaskan ke daerah perkotaan terlebih dahulu mengingat jumlah kendaraan di daerah perkotaan lebih padat dibandingkan dengan daerah perdesaan.

“Pengguna motor lebih banyak di perkotaan, maka peralihan sektor transportasi umum berbasis kendaraan listrik lebih urgen,” lanjut Pius Ginting dalam diskusi yang dihadiri puluhan peserta dari mahasiswa, komunitas, sampai dengan kalangan umum.

Terkait dengan akan diselenggarakannnya KTT G20 di Nusa Dua, Bali, Suriadi Darmoko, berharap event bulan November tersebut akan membahas transisi energi  berkelanjutan dan urgensi penanganan krisis iklim, benar-benar memberi manfaat bagi Indonesia.

“G20 menjadi momen untuk mendesak bantuan internasional terutama dari negara-negara utara, sehingga pertemuan G20 menguatkan mandat untuk negara maju berkontribusi lebih konkret lagi,” tandas Darmoko.

Tidak hanya gelaran diskusi, Festival Demokrasi Energi juga melakukan pemutaran film dokumenter ‘Mencari Demokrasi Energi’, serta  pameran foto dan infografis. 

Festival Demokrasi ini juga berkolaborasi dengan Dis-Print Kultur untuk menghadirkan seni cukil.   “Bentuk seni yang digunakan bisa apa saja, tetapi harapan dengan adanya seni cukil di sini apa yang kita perbincangan dapat menjadi inspirasi bagi teman-teman yang ingin membuat karya cukil,” pungkas Darmoko. *ris

Komentar