nusabali

Dilema, Pariwisata Bali Korbankan Pertanian

  • www.nusabali.com-dilema-pariwisata-bali-korbankan-pertanian

Bali saat ini layaknya sebuah benteng yang terbuka, di mana arus orang, arus barang, dan arus kapital tak terbendung datang ke Bali.

DENPASAR, NusaBali
Pembangunan infrastruktur di Bali begitu masif dilakukan pemerintah dalam beberapa waktu terakhir, terutama menjelang Bali sebagai tuan rumah KTT G20 pada 15-16 November 2022. Proyek-proyek bernilai triliunan rupiah tersebut dihadirkan dengan harapan mampu menstimulus perekonomian sekaligus menjawab kebutuhan masyarakat.

Di sisi lain, tidak sedikit yang melihat pembangunan fisik yang begitu sporadis punya dampak lain jika tidak dimaknai dengan bijak. Dikhawatirkan pembangunan yang kebablasan justru secara sistemik akan menggerogoti secara perlahan jati diri Bali itu sendiri. Bukan saja alam, budaya, melainkan manusia Bali itu sendiri akan tercerabut dari akarnya di tanah Bali. Sejenak, masyarakat Bali diajak melakukan refleksi, bertanya kembali, ke mana Bali ingin melangkah?

Diskusi menarik membahas persoalan tersebut dilakukan sejumlah kalangan di Rumah Community Hub, Denpasar, pada Minggu (18/9). Budayawan Bali I Wayan Westa melihat situasi Bali saat ini layaknya sebuah benteng yang terbuka, di mana arus orang, arus barang, dan arus kapital tak terbendung datang ke Bali. Hal ini membuat terjadi pembangunan secara masif di Bali, terutama di sektor pariwisata yang banyak mengorbankan dan mengalihfungsikan tanah pertanian.

"Ketika Bali membuka industri pariwisata, industri ini mengambil wilayah yang luar biasa, terutama tanah-tanah untuk pembangunan villa-villa, hotel, restoran, dan sebagainya. Banyak ribuan hektare tanah beralih fungsi untuk menyejahterakan orang Bali sendiri, tapi itu hanya sesaat," ujar Wayan Westa dalam diskusi yang digagas Dewan Pimpinan Provinsi (DPP) Perhimpunan Pemuda Hindu (Peradah) Indonesia Bali tersebut.

Lebih lanjut, menurut peraih penghargaan Sastra Rancage 2014, dengan masifnya pembangunan pariwisata ini, Bali tidak memiliki pertahanan ekonomi lain di luar pariwisata. Oleh karena itulah, menurutnya Bali sangat rapuh saat menghadapi berbagai ancaman, misalnya pandemi Covid-19. Untuk itu, menurutnya, kerapuhan ekonomi Bali tersebut harus segera diatasi untuk masa depan Bali. "Berapa sih tanah kita tersisa, berapa sih sungai kita yang masih, dan berapa sumber air kita yang terselamatkan. Untuk kemudian memetakan bagaimana Bali ke depan," terang Wayan Westa dalam diskusi bertajuk 'G20 dan Masa Depan Bali'.

Dalam diskusi yang sama, Ketua Yayasan Konservasi Indonesia Iwan Dewantama, mengungkapkan bahwa Bali saat ini sedang mengalami permasalahan terkait tata kelola air. Hal ini terbukti melalui data yang dikeluarkan oleh pemerintah menunjukan bahwa dari sembilan kabupaten/kota yang ada di Bali, hanya satu kabupaten mengalami surplus air. Di samping itu, Bali juga mengalami masalah intrusi air laut. "Dari sembilan kabupaten/kota, lima kabupaten/kota sudah mengalami intrusi air laut. Artinya apa? Yakni air laut masuk ke akuifer di tanah Bali yang harusnya akuifer itu diisi air tawar, artinya ada pengambilan besar-besaran untuk air bawah tanah kita itu terjadi. Misal, bagaimana hotel, villa mengambil air bawah tanah kita dan itu tidak terkontrol," terang Iwan Dewantama

Iwan mengatakan, ketika hal tersebut tidak menjadi perhatian pemerintah, maka kejadian banjir rob seperti di Semarang dan Jakarta bisa terjadi di Bali. Ia memperingatkan, sebagai pulau kecil akan sangat berbahaya bagi Bali jika terjadi penurunan muka tanah.  "Melalui kondisi Bali di mana luas hutannya tidak ideal, danaunya tercemar, intrusi air laut terjadi, pencemaran air, adalah fakta-fakta yang harus menjadi ukuran mau dibawa ke mana Bali ke depan. Investasi-investasi yang masuk ke Bali, lebih harus berpihak pada alam dan kelangsungan pulau Bali," terang Iwan.

Ketua DPP Peradah Indonesia Bali I Putu Eka Mahardhika, menekankan agar investasi yang masuk ke Bali memberikan manfaat bagi 'manusia Bali'. Untuk itu ia menyebut pelibatan unsur adat menjadi penting. "Bukan berarti bahwa ketika investasi besar-besaran datang ke Bali itu bagus. Belum tentu. Bagusnya ini apakah untuk mereka yang berinvestasi atau berdampak pada manusia Balinya. Di mana dampak ini juga ada kategorinya, yaitu apakah manusia Bali hanya sebagai pekerja atau berdampak bagi kesejahteraan mereka," jelas Eka Mahardhika.

Dia mengatakan, investasi harus tepat guna, tepat sasaran, serta sesuai dengan kontur geografis Bali seperti tidak menghilangkan arteri air, kelestarian tanah, dan lingkungan. "Pemerintah harus jujur dan tahu kebutuhan masyarakatnya. Semua elemen dan semua lapisan dalam masyarakat harus saling gisi (bergandengan, Red) dalam membangun Bali," katanya.

Pemerintah Bali rupanya juga punya kekhawatiran mengenai arah pembangunan Bali di masa depan. Hal itu setidaknya seperti disampaikan Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace) saat mengukuhkan Pengurus Pacific Asia Travel Association (PATA) Bali dan Nusa Tenggara Chapter periode 2022-2027 di Art Gallery Griya Santrian Sanur, Kamis (22/9).

Wagub Cok Ace menegaskan pembangunan (pariwisata) yang dikembangkan di masa mendatang harus berpihak pada pelestarian alam, penguatan budaya, dan peningkatan kualitas manusia Bali. Pengembangan pariwisata yang berpotensi merusak alam, budaya dan manusia Bali sudah saatnya dievaluasi dan dihentikan. Dalam penataan pariwisata Bali di masa mendatang, Ketua PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia) Bali ini mengajak seluruh komponen untuk berpedoman pada komitmen menjaga tiga modal utama, yaitu alam, budaya, dan manusia Bali. “Selamatkan alam, budaya dan manusianya, karena hanya itu kekayaan yang kita punya. Kalau kita sadar kalau pengembangan pariwisata merusak tiga hal itu, sebaiknya segera hentikan,” tandasnya.

Cok Ace menyebut pertumbuhan ekonomi Bali yang disupport sektor pariwisata ternyata tidak dibarengi dengan peningkatan signifikan pada indeks pembangunan manusianya (IPM). Ia mengajak semua komponen membuka mata tentang apa yang sesungguhnya terjadi dalam masyarakat Bali. Menurutnya, kesenjangan pertumbuhan ekonomi dengan IPM adalah persoalan serius, yang jika dibiarkan, lambat laun akan makin meminggirkan posisi manusia Bali.

Pandemi Covid-19 yang meluluhlantakkan perekonomian Daerah Bali dapat dimaknai sebagai proses penyadaran terakhir atau bahan renungan bagi seluruh komponen untuk melakukan transformasi dalam pembangunan bidang kepariwisataan. “Mari kita lakukan evaluasi secara menyeluruh, arah pengembangan pariwisata Bali ke depan. Apakah yang dikembangkan selama ini sudah dalam track yang benar,” ajaknya.*cr78.

Komentar