nusabali

Tinggal di Pinggir Sungai, Akses Hanya Jalan Setapak dan Curam

Melihat Kehidupan Tiga Bersaudara Teruna Lingsir Miskin yang Memprihatinkan di Sukasada, Buleleng

  • www.nusabali.com-tinggal-di-pinggir-sungai-akses-hanya-jalan-setapak-dan-curam

Made Sari mengalami skoliosis dan sering sempoyongan, Made Ngurah hanya mampu berjalan dengan memegang tongkat dan Ketut Sasih saat ini juga menderita asam urat.

SINGARAJA, NusaBali

Nasib apes tidak dapat dihindari oleh tiga bersaudara yang hidup melajang alias teruna lingsir asal RT 5, Lingkungan Sangket, Kelurahan/Kecamatan Sukasada, Buleleng. Di usia senjanya dengan kondisi ekonomi miskin dan sakit-sakitan mereka hidup terisolir. Rumah warisan orangtua mereka terletak di pinggir sungai yang hanya dapat diakses dengan berjalan kaki.

Untuk sampai di gubuk mereka, memerlukan waktu sekitar 20 menit dari Jalan Raya Singaraja-Denpasar wilayah Sangket. Setelah masuk ke akses jalan RT 5, perjalanan dilanjutkan menjejaki terasering persawahan. Lalu menuruni seratusan anak tangga di pinggir tebing. Rumah yang ditinggali tiga truli ini tepat berada di dasar tebing di pinggir sungai.

Ketiga lansia ini, yakni Made Sari,78, Made Ngurah,75, dan Ketut Sasih,70.  Mereka sejak kecil tinggal di gubuk yang ditinggalinya saat ini. Ada 5 unit bangunan gubug. Tiga di antaranya adalah kamar tidur dan dua dapur. Gubuk-gubuk sudah tampak sangat tua. Berdinding batu yang direkatkan tanah liat, berlantai tanah dan beratapkan seng.

Ketut Sasih truli termuda mengatakan, ketiganya bertahan di tempat terisolir karena tidak pernah menikah dan hanya memiliki warisan lahan yang ditempati tetuanya terdahulu. Made Sari adalah kakak perempuan nomor sembilan, Made Ngurah kakak laki-lakinya nomor 13 dan Ketut Sasih adalah anak bungsu dari 15 bersaudara.

Kini di tengah kondisinya yang sudah tua, sakit-sakitan dan himpitan kemiskinan, ketiga lansia ini hanya bisa pasrah. Made Sari mengalami skoliosis dan sering sempoyongan. Begitu juga Made Ngurah yang hanya mampu berjalan dengan memegang tongkat. Sedangkan Ketut Sasih saudara perempuan termuda yang paling kuat saat ini juga menderita asam urat. “Sekarang untuk makan ya kalau ada hasil jual daun, jual pandan cukup untuk beli beras saja. Kalau makan nasi pakai garam dan minyak, tidak pakai lauk. Karena kalau masak sayur daun singkong, paku, terong sering sempoyongan. Kalau tidak ada beras, nasi jagung. Kadang dibawakan sama ponakan-ponakan, tetapi mereka juga buruh, jadi untuk keluarganya saja susah,” tutur Ketut Sasih saat ditemui, Rabu (21/9) pagi.

Awalnya kondisi rumah dan ekonomi yang sulit dapat dilalui ketiga truli bersaudara ini. Meski hanya dengan bekerja menjadi tukang panen padi, menjual kayu bakar, daun pandan, tekor dan daun pisang. Namun belakangan di usia semakin renta, ketiganya tidak mampu berbuat banyak. Apalagi memanjat tebing untuk mencari penghasilan di pusat desa. “Kalau dulu sebelum saya sakit, biasa ikut jadi buruh panen padi, jual kayu bakar ke Babakan (Desa Sambangan) jalan kaki dua jam menyeberang sungai sudah bisa. Kalau ada daun pisang saya dan buah apa saja yang ada di sini jual ke pasar,” ucap Ketut Sasih.

Sayangnya kondisi tiga truli ini belum terdaftar sebagai penerima bantuan pemerintah. Ketua RT 5 Lingkungan Sangket Made Ariada menyebut persoalan itu terjadi karena mereka masih ikut satu Kepala Keluarga (KK) dengan keponakannya Ngurah Darma.

“Kakek dan nenek ini masih satu KK sama keponakannya Ngurah Darma yang sering menjenguk ke sini. Sehingga yang tercover 1 keluarga. Kalau keluarganya sudah dapat bantuan PKH (Program Keluarga Harapan),” kata Ariada. Namun dengan kondisi tiga lansia ini, Ketua RT dan juga Kepala Lingkungan akan mengusulkan pemecahan KK. Sehingga tiga truli bersaudara ini bisa tersentuh bantuan. *k23

Komentar