nusabali

Pembina Sanggar Wasundari, Pelestari Lukisan Wayang Gaya Kamasan

Ni Wayan Sri Wedari, Guru Seni Budaya SMAN 2 Semarapura, Klungkung

  • www.nusabali.com-pembina-sanggar-wasundari-pelestari-lukisan-wayang-gaya-kamasan

SEMARAPURA, NusaBali
Guru Seni Budaya SMAN 2 Semarapura, Klungkung, Ni Wayan Sri Wedari, 48, meneruskan amanat orang tua, I Nyoman Mandra (alm) untuk mengasuh Sanggar Wasundari dan melestarikan seni lukis klasik Wayang Kamasan.

Almarhum adalah maestro seni lukis klasik Wayang Kamasan. Maka Sri Wedari meluangkan waktunya di luar jam sekolah untuk mengajar melukis Wayang Kamasan di sanggarnya pada Hari Sabtu dan Minggu. Saat mentransfer ilmunya di sanggar, dia menerapkan empat program pembelajaran.


Menurut Sri Wedari, untuk menguasai teknik melukis wayang gaya Kamasan mesti menguasai pakem-pakem tertentu. Program pertama atau tingkat dasar diawali dengan berbagai macam garis dan ornamen. Kedua, pengenalan karakter wayang dari muka sampai hiasannya. Ketiga menggambar figur dan karakter wayang dengan media kertas. Keempat melukis di kanvas hingga finishing. “Setelah melukis di media kertas, baru saya ajarkan melukis ke media kanvas,” ungkap Sri Wedari, belum lama ini.

Program dasar diajarkan selama 25 kali pertemuan, program kedua 30 kali pertemuan, program ketiga sampai figur utuh selama 25 hari, dan penggunaan media kanvas dalam 10 kali pertemuan. Setelah semua dikuasai, peserta pelatihan mendapatkan sertifikat. Ilmu mengajar melukis didapatkan langsung dari almarhum ayahnya. Ketika sang ayah masih aktif mengajar, Sri Wedari sering membantu mengajar melukis. “Beliau (Nyoman Mandra, Red) berpesan kepada anak-anaknya agar melestarikan kesenian lukis wayang gaya Kamasan. Karena ini merupakan salah satu indentitas budaya Kabupaten Klungkung,” ungkap istri I Kadek Sesangka Puja Laksana ini.

Menurut guru Seni Budaya SMAN 2 Semarapura ini, minat anak-anak belajar melukis Wayang Kamasan menurun. Pada era 1990-an bisa mencapai 50 orang lebih. Saat ini yang belajar di tempatnya sekitar 20 orang. Mereka adalah warga setempat 10 orang dan luar Klungkung 10 orang. Sewaktu-waktu juga ada wisatawan asing yang belajar melukis wayang Kamasan. Putri pertama pasangan suami istri I Nyoman Mandra (alm) dengan Ni Nyoman Normi (alm) ini juga dikenal sebagai pelukis Wayang Kamasan di sekolah. Bahkan, perempuan kelahiran 27 November 1974 ini mampu seorang diri mengajar melukis Wayang Kamasan di SMAN 2 Semarapura.

Sri Wedari mengakui tidaklah mudah mentransfer ilmu melukis kepada para siswa. Apalagi, siswa langsung melukis menggunakan kanvas. “Saya berusaha membimbing siswa secara pelan-pelan agar mereka tidak merasa terbebani,” ungkap ibu dari Ni Putu Esa Puja Laksmi dan I Made Danan Adi Laksana ini. Banyak siswa yang berbakat dalam bidang melukis, banyak pula yang tidak berbakat. Mereka bahkan tertawa sendiri melihat hasil karya lukisnya karena sangat jauh dari bentuk yang diinginkan. Bagi Sri Wedari, ini merupakan tantangan dan sekaligus warna-warni dalam mengajar seni lukis di sekolah.

Walau tidak berbakat, para siswa tetap senang hati mengikuti pelajaran melukis Wayang Kamasan yang diberikan Sri Wedari. “Saking melekatnya bagi siswa kalau saya satu-satunya guru seni melukis Wayang Kulit, saya sampai dijuluki Bu Wayang,” kata Sri Wedari. Dalam memberikan pelajaran melukis di sekolah, Sri Wedari tetap mengawali dengan mengenalkan pakem dan karakteristik Wayang Kamasan dengan beberapa sampel gambar. Materi praktek diawali dengan pelajaran sketsa, mempelajari gelap terang, hingga mewarnai. Ketika siswa mulai mahir, mereka dilibatkan membuat mural di dinding sekolah dengan ornamen Wayang Kamasan. “Saya mengajak siswa melukis mural sejak Juni 2016 dengan mengambil cuplikan kisah epos Ramayana,” terang Sri Wedari.

Sketsa cerita pewayangan langsung digarap Sri Wedari untuk menghindari terjadinya kekeliruan bentuk yang akan dilukis. Ketika salah membuat sketsa di dinding akan sulit dihapus. Membuat bentuk yang relatif gampang seperti bebatuan dan dedauan dipercayakan kepada para siswa. “Khusus untuk membuat sketsa di dinding, saya buat agak lebih jelas sehingga para siswa lebih gampang mewarnai,” ujar Sri Wedari. Dia terlahir dan dibesarkan di tengah-tengah lingkungan keluarga pelukis. Ayahnya, almarhum I Nyoman Mandra membuka sanggar seni di rumahnya, Banjar Sangging, Desa Kamasan. Saat SMP, Sri Wedari sudah mampu membantu ayahnya untuk mengajar anak-anak yang belajar melukis di sangar seni tersebut.

Setamat SMAN 1 Semarapura, Sri Wedari melanjutkan kuliah di Jurusan Seni Murni Program Studi Seni Rupa dan Desain (PSSRD) Universitas Udayana (Unud). Begitu menamatkan pendidikan di PSSR Unud tahun 1998, Sri Wedari mengadu nasib sebagai desainer baju di salah satu perusahaan konfeksi. Pekerjaan ini dilakoninya sampai Sri Wedari kawin dengan I Kadek Sesangka Puja Laksana, pemuda asal satu banjar yang kini bekerja membuat kerajinan keramik dengan motif lukisan Wayang Kamasan dan lukisan potret.

Setelah berkeluarga, Sri Wedari mencoba mencari Akte IV di IKIP PGRI Bali di Denpasar. Selesai pendidikan di IKIP PGRI Bali, pada tahun 2008 Sri Wedari menjadi guru honorer di SMK Pariwisata Yapparindo, Klungkung. Nasib baik akhirnya datang ketika Sri Wedari mengikuti tes seleksi calon PNS tahun 2009. Sri Wedari lulus dan ditugaskan mengajar di SMAN 2 Semarapura. “Beberapa bulan mengajar, saya langsung dipercaya mengisi materi melukis Wayang Kamasan di sekolah,” kenangnya. *wan

Komentar