nusabali

Tjok Rake Soekawati Raih Satyalancana dari Presiden Jokowi

Harumkan Bali Sejak Pimpin Misi Kesenian ke Paris 1931

  • www.nusabali.com-tjok-rake-soekawati-raih-satyalancana-dari-presiden-jokowi
  • www.nusabali.com-tjok-rake-soekawati-raih-satyalancana-dari-presiden-jokowi

GIANYAR, NusaBali
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menganugerahkan Piagam Tanda Kehormatan Satyalancana Kepariwisataan Tahun 2022 bidang Pelopor Pengembangan Pariwisata dan Budaya kepada salah seorang tokoh Puri Agung Ubud, Tjokorde Gde Rake Soekawati alias Tjok Rake Soekawati (almarhum).

Penganugerahan bersama sejumlah tokoh lain se Indonesia ini, serangkaian puncak peringatan HUT ke-77 Kemerdekaan RI di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (17/8).  Piagam tersebut sesuai Peraturan Pemerintah No : 35 Tahun 2010 (Lembaran Negara RI Tahun 2010 No : 43, tambahan Lembaran Negara RI No : 5115). Dalam peraturan ini ditegaskan, almarhum diberikan penghargaan atas jasa-jasanya yang besar atau berprestasi luar biasa dalam meningkatkan pembangunan, kepeloporan, dan pengabdian di bidang kepariwisataan. Prestasi itu dapat dibuktikan dengan fakta konkret lebih dari lima tahun secara terus menerus.

Piagam itu diterima langsung oleh salah seorang ahli waris atau cucu almarhum, Tjokorda Gde Asmara Putra Sukawati SIP MAP alias Cok Anom, dari Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI Sandiaga Uno di Jakarta, Rabu kemarin.  Dihubungi per telepon, Rabu kemarin, Cok Anom mengaku sangat mensyukuri karena kakeknya, Tjok Gde Rake, meraih  Tanda Kehormatan Satyalancana Kepariwisataan Tahun 2022 dari Presiden RI. Dia mengakui, penghargaan tersebut merupakan bentuk perhatian dan pengakuan Pemerintah RI atas beragam kiprah dan capaian almarhum yang juga Presiden NIT (Negara Indonesia Timur, 27 Desember 1949-17 Agustus 1950) selama hidupnya, terutama dalam bidang pariwisata dan kebudayaan. Tokoh yang tinggal di Puri Kantor (bagian dari keluarga Puri Agung Ubud, Red) ini mengakui,  secara khusus dalam bidang kepariwisataan, Satyalancana dari Presiden RI ini melengkapi penghargaan Parama Bhakti Pariwisata dari Pemkab Gianyar, untuk almarhum sebagai ‘Impresario dan Diplomat Seni Budaya’ pada 10 November 2015.  

Sebagai salah satu ahli waris almarhum, Cok Anom menghaturkan terima kasih kepada Presiden RI, Menparekraf RI dan jajaran, Biro Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan Sekretariat Militer RI, Koordinator Staffsus Presiden RI, Gubernur dan Wakil Gubernur Bali, Ketua DPRD Provinsi Bali, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Kepala Dinas Pariwisata Gianyar, Yayasan Janahita Mandala Ubud, dan asosiasi pariwisata di Bali, sehingga satyalancana ini dianugerahkan kepada almarhum.  

“Penghargaan ini dipersembahkan kepada seluruh keluarga besar Puri Agung Ubud, prajuru  beserta seluruh krama Desa Adat Ubud dan masyarakat Bali,” ujar politisi Partai Demokrat yang juga Wakil Ketua DPRD Bali ini. Untuk diketahui kiprah Tjok Rake Soekawati dipaparkan secara lengkap dalam buku ‘Laksana Manut Sasana (LMS)’ biografi Tjokorde Gde Rake Soekawati, Presiden NIT (Negara Indonesia Timur).

Buku ini diterbitkan Puri Agung Ubud melalui Yayasan Janahita Mandala Ubud, dan diluncurkan di Pura Saren Agung Ubud, Kelurahan/Kecamatan Ubud, Gianyar, Minggu (15/1/2021). Dalam buku ini, penulis buku sejarawan Arya Suharja, I Gusti Agung Paramita, dan Cokorda Gde Bayu Putra, secara khusus membahas peran almarhum berkaitan dengan keberadaan Hindu Bali dan perkembangan industri pariwisata. Setidaknya ada dua hal penting yang menjadi tonggak sejarah ketokohan Tjok Rake Soekawati. Pertama, misi kesenian Bali yang disponsori pemerintah kolonial dalam Expo Internasional Negeri-negeri jajahan di Paris 1931 (L'Exposition Internationale Coloniale de Paris 1931).

Misi ini dipimpin salah satu peserta Kongres Pemoeda pertama tahun 1928 dan anggota Volksraad dari Bali, Tjok Rake Soekawati. Misi ini sekaligus muhibah tim kesenian Bali pertama ke luar negeri. Misi tersebut bukan saja berhasil membentuk citra awal Bali sebagai destinasi pariwisata budaya yang kini tersohor di manca negara, melainkan juga berpengaruh besar berupa apresiasi masyarakat dunia pada keunikan karakter arsitektur dan teater tradisional Bali. Misi  seni budaya tersebut lebih lanjut memengaruhi perkembangan teater klasik Barat bahkan memunculkan perdebatan filsafat kebudayaan, khususnya pengaruh seni pertunjukan Calonarang terhadap teater kontemporer Barat. Apresiasi masyarakat dunia, khususnya orang Eropa terhadap sukses misi kesenian Bali dan tampilan spektakuler anjungan Negeri Belanda tersebut menjadi milestone (tonggak pencapaian) penting bagi perkembangan pariwisata dan kebudayaan Bali di Abad XX.

Tujuh tahun sebelum Paris Expo, 24 Juli 1924 dalam sidang Volksraad, parlemen Hindia Belanda, masih dalam catatan buku tersebut, Tjok Rake Soekawati, didukung kalangan orientalis, akademisi, indolog, dan seniman yang mencintai kebudayaan Bali, serta kalangan Bumiputera, mengajukan mosi menolak Evangelisasi terhadap masyarakat Bali. Mosi Soekawati, demikian tuntutan itu dikenal, menuntut pemerintah kolonial agar melarang misi dan zending bekerja di Bali.

Kala itu, Tjok Rake Soekawati terlibat polemik dengan Ketua Katholijke Volksraad Fractie (Fraksi Katolik di Volksraad) Van Helsdingen dan Pimpinan Christelijk-Ethische Partij PG Groenen dan misionaris Kristen, Hendrik Kraemer. Tjok Rake membuka mata sidang Volksraad dan pemerintah kolonial tentang karakter, keluhuran budaya aksara dan capaian kebudayaan Bali yang luhur. Karena hal itu layak dilindungi dari usaha-usaha yang dapat membahayakan nilai-nilai luhur kebudayaan Bali berdasarkan agama Hindu. Mosi ini berhasil memperoleh dukungan mayoritas dalam sidang Volksraad, hingga memaksa pemerintah kolonial menerbitkan kebijakan Baliseering, yakni mengembangkan badan perlindungan kebudayaan Bali.

Sementara itu, budayawan Prof Made Bandem mengakui, semasa hidupnya, Tjok Rake Soekawati sempat menjadi promotor seni budaya, dengan membawa misi kesenian dari Belaluan, Gianyar, di Festival Pasar Gambir, Batavia (Jakarta) 1929. Para seniman yang dilibatkannya kala itu, antara lain, I Marya (penari Kebyar), Ni Gusti Made Rai (penari Legong), Ni Gusti Putu Adi (penari Legong), I Gusti Alit Oka (penabuh), I Made Regog (komposer, penabuh) dan I Gejor Kelambu (penyanyi). Kesuksesan misi kesenian itu kemudian mengantarkan almarhum dipercaya Pemerintah RI untuk memimpin misi kesenian Bali mengadakan pementasan dan pameran di Paris, Prancis tahun 1931.  

Misi kesenian tersebut, papar Prof Bandem, melibatkan 51 seniman tari dan tabuh Bali asal Desa Peliatan, Ubud, Kecamatan Ubud), dan beberapa desa lainnya di Bali. Termasuk di antara mereka adalah AA Mandra, I Ketut Rindha, Tjokorda Oka Tublen, Tjokorda Gde Rai Sayan, Dewa Gde Raka, Tjokorda Anom, Jero Tjandra, dan Ni Rimpeg. Beberapa seniman lukis dan patung, serta perajin juga diajak memamerkan karya-karya di Anjungan Hindia Belanda, yang berdiri megah di Bois de Vincennes, Paris Timur. Misi kesenian kala itu juga menampilkan dramatari Calonarang dan Legong Keraton. Pementasan dan pameran misi kesenian Bali berlangsung selama 7 bulan, sejak 6 Mei 1931 - 6 November 1931. *lsa

Komentar