nusabali

Awas! Pariwisata Bali Salah Arah, Cok Ace: Kita Sudah Diingatkan Niskala

  • www.nusabali.com-awas-pariwisata-bali-salah-arah-cok-ace-kita-sudah-diingatkan-niskala

DENPASAR, NusaBali.com – Sejak Bali bertransformasi dari ekonomi agraris menjadi pariwisata di tahun 1920, sudah banyak peringatan secara niskala yang diterima Bali akibat salah tata kelola pariwisata, namun sering terabaikan.

Prof Dr Ir Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati MSi, Wakil Gubernur Bali yang akrab disapa Cok Ace mengilas balik proses transformasi Pulau Bali menjadi ekonomi pariwisata sejak era para mpu masuk ke Bali pada abad ke-11 hingga kondisi terkini yang dihadapi masyarakat di Pulau Dewata.

Sosok yang juga dikenal sebagai praktisi pariwisata sejak 1973 ini mengatakan, dahulu Bali pada era mpu, seperti yang paling terkenal kedatangan Mpu Kuturan, membawa konsep Tri Murti dan melahirkan tatanan desa adat. Kemudian, pada era kerajaan, Bali diwarnai dengan konflik agraris, yakni perang perluasan wilayah akibat kerajaan hanya mengandalkan pertanian pada saat itu.

Sampai akhirnya datanglah bangsa Eropa, dan pada tahun 1924, foto pertama tentang Bali dimuat di surat kabar di Eropa. Pada era ini, pemimpin Bali dan rakyatnya belum siap menghadapi gempuran wisata, sehingga tidak ada instrumen untuk mengamankan Bali waktu itu. Walhasil, pembangunan pariwisata berlangsung sporadis.

Kendati di era republik sudah ada beberapa upaya untuk menyelamatkan Bali dari gempuran budaya baru, seperti melokalisasi tempat tinggal para turis dengan pembangunan kawasan Nusa Dua pada tahun 1973, toh, usaha tersebut juga belum bisa menyelamatkan budaya, manusia, dan alam Bali dari gempuran ekonomi bernilai ratusan triliun ini.

Cok Ace yang juga dikenal sebagai akademisi selama lebih dari 36 tahun ini, pada saat pemaparan materi ‘Sustainable Tourism’ atau pariwisata berkelanjutan dalam Kuliah Umum Universitas Mahasaraswati Denpasar, Rabu (3/8/2022), mengatakan saat ini Bali telah banyak mengalami ketimpangan dan sebenarnya rakyat Bali sudah diingatkan secara niskala.

Ketimpangan yang dimaksud adalah, ketimpangan perilaku antara keagamaan dengan praktiknya, sebab di saat terdapat banyak yadnya di Bali, masyarakat masih membuang sampah sembarangan dan merusak alam, kemudian bermusuhan dengan tetangga hingga berebut setra dengan desa lainnya. 

Selain itu, juga terjadi kesenjangan wilayah antara Bali bagian utara dan selatan secara ekonomi, di mana Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Bali utara masih kecil tidak sebanding dengan jumlah penduduknya.

Dan saat ini, terjadi kesenjangan sektor, seperti sektor pertanian yang persentase penyumbangan devisanya menurun dari 25 persen menjadi 16 persen. Salah satu penyebabnya adalah terdapat 600 hektare tanah pertanian setiap harinya berubah menjadi lahan non-pertanian, baik itu hotel maupun pemukiman. Hal ini sangat mengkhawatirkan, sebab Bali hanya memiliki 60.000 hektare lahan pertanian. 

Sementara itu, Cok Ace juga sempat menyoroti jumlah investasi pariwisata di Bali saat ini, 80 persen dipegang oleh bukan orang Bali.

“Saya tidak mau mengatakan Bali dan non-Bali, tetapi ini sebuah fakta bahwa kita kehilangan momentum, dan ini salah kita tidak mampu melindungi Bali,” ujar Cok Ace di hadapan sivitas akademika Universitas Mahasaraswati Denpasar di Jalan Kamboja 11 A, Denpasar, Rabu.

Ketimpangan atau kata Cok Ace, salah arah ini, sebenarnya sudah diingatkan oleh Ida Bhatara sejak awal milenial yaitu pada Bom Bali I tahun 2002 dan Bom Bali II tahun 2005. “Bom Bali I bulan Oktober ini mengingatkan kita bahwa ada yang sudah abai di Bali,” ungkap mantan Bupati Gianyar periode 2008-2013 itu.

Padahal menurut Cok Ace, sebelum Bom Bali I itu, Bali sudah dicoba untuk dibom dua kali yaitu ketika bom tersebut ditanam di Sanur namun tidak meledak, dan ketika bom dibawa menggunakan bus melalui Ketapang, tetapi meledak di perjalanan.

“Tetapi mengapa Oktober 2002 itu meledak bomnya? Nah, Ida Bhatara sudah kehabisan masa kesabaran-Nya; Bhatara bisa juga kehilangan kesabaran,” kata Cok Ace sembari menyelipkan sedikit candaan.

Dua kejadian yang menguras emosi inilah yang seharusnya bisa menjadi pengingat niskala bagi rakyat Bali bahwa kita tidak boleh abai lagi dalam melindungi dan menjaga keajegan tanah Bali. Bali yang hanya memiliki budaya ini harus benar-benar dijaga tiga hal yaitu budayanya, manusianya, dan alamnya, agar keberlanjutan pariwisata yang menjadi hajat hidup orang banyak ini tetap terjaga hingga ke masa depan. *rat

Komentar