nusabali

Peristiwa 27 Juli Puncak Perlawanan Rakyat, Parta Dorong Pengusutan Kasus Kudatuli Sampai Tuntas

  • www.nusabali.com-peristiwa-27-juli-puncak-perlawanan-rakyat-parta-dorong-pengusutan-kasus-kudatuli-sampai-tuntas

JAKARTA, NusaBali
Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI Dapil (Daerah Pemilihan) Bali Nyoman Parta menegaskan peristiwa 27 Juli 1996 atau yang dikenal dengan Kerusuhan Duapuluh Tujuh Juli (Kudatuli) merupakan puncak perlawanan rakyat dan keberanian seorang Megawati Soekarnoputri terhadap pemerintahan orde baru.

"Makna peringatan 27 Juli 1996 adalah puncak dari perlawanan rakyat terhadap orde baru dan Ibu Megawati Soekarnoputri sebagai simbol perlawanan. Beliau adalah orang yang berani pada saat itu, sehingga kami mengikuti beliau," ujar Parta kepada NusaBali, usai tabur bunga dalam peringatan peristiwa 27 Juli 1996 di Kantor DPP PDI Perjuangan, Jalan Diponegoro No 58, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (27/7) dinihari.

Peringatan 27 Juli 1996 yang juga dikenal sebagai peristiwa penyerbuan massa ke Kantor PDI (Partai Demokrasi Indonesia) itu, diawali dengan tahlilan oleh para kader, kemudian dilanjutkan testimoni para korban 27 Juli 1996 dan diakhiri dengan pemutaran film dokumenternya. Barulah sekitar pukul 07.00-08.00 WIB dilakukan tabur bunga. Parta yang sedang reses (menyerap aspirasi) di Pulau Dewata terbang khusus ke Jakarta, kemudian balik lagi ke Bali setelah acara usai.

Menurut Parta, peringatan 27 Juli 1996 merupakan muara dari keberanian rakyat untuk melakukan reformasi yang digerakkan oleh mahasiswa. Bagi Parta jika tidak ada peristiwa 27 Juli, tidak ada reformasi 1998. Lantaran waktu itu, kata Parta, penggiat reformasi yang dimotori Megawati Soekarnoputri menyatakan tidak mengikuti pemilu 1997.

Selanjutnya terjadi reformasi 1998 dan pemerintahan orde baru tumbang. Selain itu, lanjut Parta, makna peringatan 27 Juli 1996 merupakan momentum untuk memperjuangkan demokrasi. Lantaran situasi sebelumnya sangat otoriter. Bahkan, betapa susahnya masyarakat berekspresi.

"Berbeda dengan sekarang. Orang bisa bertemu di mana-mana dan menyampaikan kritik. Dulu tidak ada ruang untuk itu. Sampai-sampai pemilu belum berlangsung sudah tahu pemenangnya. Begitupula dengan pemilihan presiden, sehingga semua sudah jadi sebelum pemilihan. Pemilihan saat itu, hanya formalitas saja," ucap pria yang duduk di Komisi VI DPR RI ini.

Dengan adanya peristiwa 27 Juli dan reformasi, membuat sistem politik berubah dengan pemilihan langsung. Rekrutmen lebih terbuka sehingga siapa saja bisa menjadi pejabat, bupati, kepala desa dan wakil rakyat. "Salah satunya saya. Saya yang seorang anak petani tidak mungkin jadi anggota dewan jika tidak ada perubahan sistem politik, karena waktu itu bila bukan menjadi bagian dari orde baru sangat susah," terang politisi asal Desa Guwang, Kecamatan Sukawati, Gianyar ini.

Parta menyatakan, peringatan peristiwa 27 Juli 1996 tidak hanya dia ikuti di DPP PDI Perjuangan. Terkadang dia juga memperingatinya di rumah atau ranting PDI Perjuangan terdekat dengan memutar film dokumenter peristiwa tersebut. Tujuannya untuk memberi tahu kepada generasi partai, jika PDI Perjuangan tidak otomatis menjadi sebuah partai besar.

Melainkan ada tonggaknya. Berawal dari Kongres Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Jawa Timur tahun 1993. Di sana Ketua Umum PDI Soerjadi kalah dan kongres memilih Megawati sebagai Ketua Umum PDI yang baru. Lalu berlangsung Kongres Luar Biasa di Medan, Sumatera Utara pada 22 Juni 1996 yang bermaksud menggantikan Megawati ke Soerjadi kembali.

Soerjadi yang didukung oleh rezim orde baru pun, menjadi Ketua PDI lagi melalui Kongres Luar Biasa di Medan. Darisana muncul dualisme PDI. Kantor PDI yang berada di Jalan Diponegoro yang ditempati kubu Megawati diserang. Saat peristiwa itu terjadi, Parta masih mahasiswa semester akhir di Sekolah Tinggi Hukum di Bandung, Jawa Barat.

Sebagai aktivis mahasiswa, Parta dan mahasiswa di sejumlah daerah mendukung Megawati. Bahkan, sempat datang ke kantor PDI di Jalan Diponegoro 58 untuk mendengar orasi dari berbagai tokoh maupun aktivis mahasiswa lainnya. "Karena kami sebagai mahasiswa kala itu, melihat PDI di bawah kepemimpinan Ibu Megawati adalah organisasi yang paling militan melawan orde baru," tegas Parta.

Dengan diperingatinya 27 Juli 1996 setiap tahun, Parta berharap, kasus tersebut diusut tuntas. Terlebih ada informasi 5 orang meninggal dunia, 23 orang hilang dan ratusan orang luka-luka. Namun, pelakunya sampai sekarang belum ada. "Sejarah kelam masyarakat yang tidak tuntas akan cenderung terulang. Oleh karena itu, perlu diusut tuntas kasus ini. Terutama mengenai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)," papar Parta. *k22

Komentar