nusabali

Para Korban Bencana Rayakan Galungan di Tenda Pengungsian

  • www.nusabali.com-para-korban-bencana-rayakan-galungan-di-tenda-pengungsian

Bencana banjir bandang dan longsor yang menerjang sejumlah kawasan di pegunungan Kecamatan Kintamani, Bangli, 9-10 Februari 2017 lalu, menyisakan pilu bagi para korban.

Dua Bulan Pasca Bencana Banir-Longsor Kintamani


BANGLI, NusaBali
Hingga saat ini, masih ada belasan kepala keluarga (KK) korban bencana yang mengungsi, karena rumahnya porakporanda. Mereka pun terpaksa harus merayakan Galungan dan Kuningan secara sederhana di tenda pengungsian.

Data yang diperoleh NusaBali, Minggu (2/4) atau hampir 2 bulan pasca bencana, warga yang masih bertahan di pengungsian adalah korban bencana di Banjar Yeh Mampeh, Desa Batur Selatan (Kecamatan Kintamani) dan Banjar Bantas, Desa Songan A (Kecamatan Kintamani).

Khusus warga korban banjir bandang di Banjar Yeh Mampeh, desa Batur Selatan, mereka mengungsi dengan mendirikan tenda di Hutan Tanah Negara sisi barat laut lereng Gunung Batur. Sedangkan korban bencana longsor di Banjar Bantas, Desa Songan A, mereka mengungsi ke sejumlah lokasi termasuk di Banjar Yeh Panes, Desa Songan B yang berlokasi di kaki Gunung Batur sisi timur laut.

Hingga saat ini, ada 10 KK korban bencana yang masih bertahan di tenda pengungsian Tanah Hutan Negara kawasan Banjar Yeh Mampeh, Desa Batur Selatan, karena kondisi rumah-rumeh mereka belum memungkinkan untuk ditempati. Maklum, rumah mereka diterjang lumpur saat bencana banjir bandang, 2 bulan lalu.

Semula, korban bencana banjir bandang Yeh Mampeh yang mengungsi di tenda pengungsian mencapai 33 KK. Tapi, sebagian besar dari mereka telah pulang ke rumahnya. Sedangkan 10 KK masih bertahan, selain karena rumahnya rusak, mereka juga khawatir terjadi bencana susulan. “Cuaca masih berubah-ubah, seperti kemarin (Sabtu) hujan lebat kembali terjadi,” ungkap salah satu korban bencana, I Komang Sukarta Atmaja, 35, saat ditemui NusaBali di tenda pengungisan kawasan Yeh Mampeh, Minggu kemarin.

Dalam kondisi seperti ini, 10 KK korban bencana yang masih bertahan di tenda pengungsian ini terpaksa melaksanakan upacara Galungan seadanya. Mereka tak mungkin ngegalung secara normal, termasuk bikin lawar dan tum saat penampahan maupun bikin penjor.

“Tidak mungkin tiyang mebat (bikin adonan lawar dan sejenisnya saat penampahan, Red), seperti Galungan sebelumnya,” cerita I Wayan Respa, warga korban longsor dan banjir bandang lainnya di Yeh Mampeh.

Wayan Respa menyebutkan, selain kondisinya serba darurat karena berada di pengungsian, korban bencana juga tidak punya uang. Jika ingin ngegalung secara normal, tentu membutuhkan dana lumayan. “Selama dua bulan dalam pengungsian, kami tidak bisa berkerja sebagaimana mestinya untuk mendapat uang. Jadi, dalam merayakan Galungan kali ini, cukup banten seadanya,” papar Wayan Respa.

Paparan senada juga disampaikan Ni Ketut Werni, 32, yang notabene istri dari I Komang Sukarta Atmaja. Menurut Ketut Werni, dirinya dan para ibu korban bencana lainnya yang masih mengungsi, tidak bisa ngegalung di rumah masing-masing. “Rumah kami kan masih terendam,” tutur ibu 3 anak ini kepada NusaBali di tenda pengungsian.

Ketut Werni menuturkan, dia bersama sang suami Komang Sukarta Atmaja dan ketiga anaknya, merupakan salah satu dari 10 korban bencana yang sama sekali tidak pernah pulang ke rumah sejak mengungsi ke tenda pengungsian, 10 Februari 2017 lalu. Karena itu, kata Ketut Werni, upacara otonan nak bungsunya yang berusia 6 bulan, I Komang Superdi, juga terpaksa dilakukan secara sederhana di tenda pengungsian.

Menurut Ketut Werni, upacara otonan bayinya itu jatuh pada Soma Pon Dunggulan, Senin, 3 April 2017 kemarin. “Ya, mau bagaimana lagi, begini keadaannya. Tiyang terpaksa ngotonin anak di tenda pengungsian,” katanya pasrah.

Dikonfirmasi NusaBali, Kelian Banjar Yeh Mampeh, Desa Batur Selatan, I Nengah Sukarta, membenarkan kondisi 10 KK warganya yang masih bertahan di tenda pengungsian. Menurut Nengah Sukarta, mereka harus melaksanakan Hari Raya Galungan dalam suasana memperihatinkan. “Ya, memang demikian keadaannya, mau bagaimana lagi?” ujar Nengah Sukarta seusai pertemuan dengan warganya yang me-ngungsi, Minggu kemarin.

Sementara itu, kondisi tidak jauh berbeda dialami warga koban bencana longsor di Banjar Bantas, Desa Songan A. Beberapa KK korban longsor hingga kini masih mengungsi di kawasan Banjar Yeh Panes, Desa Songan B. “Saya tidak punya rumah lagi, ya terpaksa mengungsi bersama keluarga,” ujar salah satu pengungsi korban bencana longsor, I Ketut Mertajaya, 44.

Ditemui NusaBali di tempat pengungsiannya di Banjar Yeh Panes, Minggu sore, Ketut Mertajaya mengaku tidak bisa merayakan Galungan sebagaimana mestinya. Mertajaya sendiri masih berduka, karena istri tercintanya, Ni Ketut Susun, 48, tewas mengenaskan dalam bencana longsor yang menerjang rumahnya di tebing perbukitan kawasan Banjar Bantas, desa Songan A, 9 Februari 2017 malam.

Bencana longsor tebing di Banjar Bantas sebelumnya terjadi, Kamis, 9 Februari 2017 malam sekitar pukul 23.00 Wita. Tebing yang longsor malam itu adalah lereng Bukit Bungbung Pegat. Longsor kala itu menimbun sejumlah rumah yang berada di bawahnya.

Akibatnya, 7 nyawa melayang dalam bencana dahsyat ini. Sebagian dari mereka masih dalam lingkup satu keluarga. Tujuh (7) korban tewas kala itu masing-masing I Gede Sentana, 56 (krama Banjar Bantas, Desa Songan A), Ni Ketut Bunga, 54 (istri dari I Gede Sentana), Ni Kadek Dini, 12 (anak dari pasutri I Gede Sentana dan Ni Ketut Bunga), Jro Balian Resmi Restiti, 34 (krama Banjar Bantas, Desa Songan A), Jro Balian Kadek Sriasih, 3 (anak dari Jro Balian Resmi Restiti), I Komang Agus Putra Panti, 1 (anak dari Jro Balian Resmi Restiti), dan Ni Ketut Susun, 48 (juga krama Banjar Bantas, Desa Songan A).

Selain merenggut 7 nyawa, bencana longsor di Banjar Bantas ini juga menyebabkan 7 korban terluka, yang sebagian masih dalam satu kelu-arga pula. Mereka masing-masing I Wayan Budiana, 17, Ni Komang Rista Sari, 13, I Ketut Merta Jaya, 45, Jro Alep, 30, I Kadek Ardi Yasa, 9 (anak dari Jro Alep), I Gede Arta, 34 (suami dari Jro Alep), dan I Wayan Wirtama, 39. * k17

Komentar