nusabali

Air Jadi Orientasi Utama dalam Arsitektur Bali

Sarasehan Seni Arsitektur Perundagian Tapa Tirtha di PKB XLIV

  • www.nusabali.com-air-jadi-orientasi-utama-dalam-arsitektur-bali

Konsep pemuliaan air dalam arsitektur Bali di antaranya termuat dalam Lontar Ashta Bhumi, Ashta Kosali, Lontar Wiswakarma.

DENPASAR, NusaBali

Spirit pemuliaan air telah menjadi orientasi utama dalam arsitektur Bali di masa lampau. Munculnya konsep Perundagian Tapa Tirtha tidak terlepas dari keinginan masyarakat Bali untuk menempati hunian yang selain indah, namun juga teduh sekaligus mengayomi. Hal tersebut disampaikan akademisi Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar  Dr Anak Agung Gede Rai Remawa, saat menjadi narasumber dalam Widyatula (Sarasehan) Seni Arsitektur Perundagian Tapa Tirtha yang digelar secara daring serangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB) XLIV, dari Kantor Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, di Denpasar, Minggu (3/7).

“Jika untuk tingkat desa, kita bisa melihat posisi Pura Puseh yang berada di hulu, sedangkan untuk di lingkungan rumah, ada Bale Daja (meten) yang posisinya paling tinggi,” ujar Rai Remawa.

Rai Remawa menjelaskan, konsep pemuliaan air dalam arsitektur Bali di antaranya termuat dalam Lontar Ashta Bhumi, Ashta Kosali, Lontar Wiswakarma, dan lontar lainnya.

“Dalam lontar Ashta Bhumi, Ashta Kosali, dan beberapa lontar lainnya, kesemuanya menurunkan ide keteduhan melalui keseimbangan cahaya api-air-udara sebagai poros sakral atas dan bawah (kaja kelod) serta urip-pati (kangin-kauh) sebagai poros sakral-profan,” tuturnya.

Khusus dalam interior dan arsitektur tradisional Bali madya juga disebutkan mengenai Perundagian Tapa Tirtha yang tidak terlepas dari keinginan pemilik hunian untuk dapat tinggal di dalam huniannya dengan estetis, teduh, dan mengayomi.

“Keteduhan yang diturunkan dari alam semesta diaplikasikan dalam berbagai sistem pengukuran arsitektur Bali,” ucap Rai Remawa yang juga Wakil Rektor Bidang Akademik, Kemahasiswaan, dan Alumni ISI Denpasar.

Dalam sistem pengukuran pada arsitektur rumah Bali madya, posisi tertinggi ditempati Bale Meten (Bale Daja) dengan memiliki undak (tangga) tiga, sedangkan pada bangunan bale yang di arah timur, barat, dan selatan hanya satu undak.

Demikian pula dalam Sukat Bale Banyu dalam sistem pengukuran Sukat Ashta Bhuana, dan perhitungan ‘Sri’ dalam Sukat Tampak Ngandang Ashta Wara, semuanya mengarah pada orientasi air.

“Bahwasanya air telah menjadi pemikiran leluhur Bali tidaklah perlu diragukan, karena telah ditempatkan dalam posisi utama,” kata Rai Remawa.

Oleh karena itu, lanjut Rai Remawa, sebagai generasi penerus sudah seharusnya melestarikan, mengembangkan, memajukan, dan bahkan menguatkannya dalam berbagai aspek kehidupan pada masa modern ini sebagai Bali era baru.

Saat ini pada bangunan modern, kata dia, hendaknya spirit yang telah diwariskan pada arsitektur Bali bisa tetap dipegang teguh. Memang tidak harus memiliki bangunan Bale Daja yang mungkin disebabkan karena keterbatasan lahan, namun spiritnya yang harus dipertahankan.

Narasumber berikutnya yang juga pendiri Museum Wiswakarma dari Batubulan, Gianyar, I Ketut Pradnya, yang kesehariannya selaku undagi dalam kesempatan itu membawakan materi mengenai Membangun Umah Sembari Merawat ‘Yeh’ Cara Bali.

Yang dimaksud merawat ‘yeh’ atau air cara Bali dalam hal ini termasuk orong-orong, cacapan, natah, songbah, telabah, blungbang, dalam sebuah bangunan rumah (umah abungkul) dan beberapa rumah dalam satu pekarangan (umah karang paumahan atau umah karang sikut satak).

Untuk membangun umah abungkul maupun beberapa rumah dalam satu karang paumahan atau karang sikut satak, tata cara dan tata kelolanya hampir sama.

Persamaannya, antara lain mengacu kepada sukat/sikut, yang bersumber pada lontar yang sama, memperhatikan hulu teben, membagi bangunan rumah seolah-olah diidentikkan dengan bhuwana alit (tubuh manusia).

“Selanjutnya menyatukan rumah dengan bhuwana agung (alam semesta) dalam bentuk pemberian ruang yang wajar bagi sirkulasi udara (angin) dan saluran air seperti orong-orong, cacapan, natah, telabah, dan blungbang,” jelas Pradnya.

Sedangkan terkait konsep hulu teben, hulu merupakan tempat suci atau yang disucikan dan sumber air, sedangkan teben yang berada pada posisi relatif rendah/lebah, seperti pada umumnya arah selatan dan barat yang fungsinya untuk penyaluran limbah.

Namun, ujar Pradnya, belakangan hal yang menjadi prinsip para tetua dalam arsitektur Bali mulai bergeser. Dia mengemukakan, penyebabnya antara lain para undagi (arsitek tradisional Bali) semakin terpinggirkan atau tidak lagi memiliki otoritas penuh (guru loka) dalam membangun rumah. Selain itu, pemilik rumah kebanyakan mengabaikan tata cara dan tata kelola yang dikenal dengan umah tis (rumah sejuk/teduh). *cr78

Komentar