nusabali

Menetralisir Jagat dari Gangguan Mala

Desa Adat Banjarangkan Nyolahang Sanghyang Jaran

  • www.nusabali.com-menetralisir-jagat-dari-gangguan-mala
  • www.nusabali.com-menetralisir-jagat-dari-gangguan-mala

SEMARAPURA, NusaBali
Desa Adat Banjarangkan, Desa/Kecamatan Banjarangkan,  Klungkung, nangiang atau nyolahang (mementaskan) Tarian Sakral Sanghyang Jaran saat Pujawali di Pura Puseh Taman Sari, Buda Umanis Medangsia, Rabu (29/6) malam.

Tari Sanghyang Jaran ini masolah setiap setahun sekali untuk menetralisir jagat atau bumi dari gangguan mala (penyakit). Sanghyang Jaran merupakan warisan pangempon Puseh Sari. Sanghyang ini sebagai pelawatan Ida Batara berupa Kuda terbuat dari kayu. Ada tiga warna Sanghyang Jaran, yakni putih, kuning, dan poleng (hitam putih).

Dalam sasolahan Sanghyang Jaran yang bernuansa magis tersebut, para penari dan krama lainnya yang karauhan (kesurupan). Para pemunut atau penari Sanghyang dan krama lain spontan menginjak-injak bara api, tanpa merasa panas dan terbakar sedikit pun.

Sasolahan ini selalu dilaksanakan di jaba Pura Puseh Sari saat puncak Karya Pujawali di pura tersebut pada Buda Umanis Medangsia. Di luar itu, Desa Adat Banjarangkan tidak pernah nyolahang tarian sakral ini.

Bendesa Adat Banjarangkan AA Gede Dharma Putra mengatakan, sasolahan Sanghyang Jaran diawali dengan persembahyangan bersama dipimpin pamangku pemucuk Pura Puseh Taman Sari. Setelah persembahyangan berakhir, sekaa Kidung Sanghyang langsung duduk bersila tepat di depan Palinggih Pangaruman. Saat itu, disiapkan pangasepan (terbuat dari tanah liat yang diisi bara api) di atas sebuah dulang.

Tak berselang lama, diawali tiga krama lanang (laki-laki) yang karauhan pertama, tanpa dikomando langsung mundut Sanghyang Jaran. Panglingsir pangempon Pura Puseh Sari kemudian memolesi tubuh penari Sanghyang Jaran ini dengan tapak dara yang telah disiapkan.

Ketika bara api sudah dirasa siap, maka sekaa Kidung Sanghyang yang terdiri dari teruna-teruni (remaja laki-laki dan perempuan), mulai melantunkan gending. Sanghyang Jaran baru akan beraksi ketika gending (kidung) sudah dimulai. Semakin lama tempo dan irama nyanyian semakin kencang, pemunut (penari) Sanghyang mulai kehilangan kesadaran dengan mengepak-ngepakan badannya layaknya seekor kuda. Semakin lama, tubuh penari semakin kehilangan kontrol untuk menuju ke api.

Puncaknya, pemunut atau penari ini akan melompati dan menginjak-nginjak bara api yang telah disediakan secara membabi buta. Seketika penari mulai tak sadarkan diri nyeburin (melompati) bara api dan jatuh di tengah arena pementasan. Bahkan beberapa di antaranya berjalan di atas bara api yang telah berserakan di tanah. "Mereka tak merasakan panasnya bara api, tak ada yang terluka, apalagi terbakar. Itulah keunikan dan kesakralan Sanghyang Jaran di Jaba Pura Baleagung/Pura Puseh Taman Sari, Desa Adat Banjarangkan ini," imbuh Agung Dharma.

Sementara, sekaa gending kembali melantunkan bait demi bait untuk mengiringi Sanghyang Jaran. Kekidungan yang digunakan menggunakan gending khas yang hanya ada di Pura Puseh Sari. Dari kidung atau nyanyian yang dilantunkan dapat ditafsirkan bahwa Sanghyang Jaran dibangunkan untuk diajak maliang-liang atau bersukacita, kemudian diakhiri dengan harapan semua senang, bahagia.

Agung Dharma berharap tarian Sanghyang Jaran menjadi menjadi tonggak baru bagi kehidupan masyarakat di Desa Adat Banjarangkan ke depan agar lebih maju, makmur dan terlepas dari berbagai petaka. "Perubahan musim yang ekstrem, dimana penyakit dan wabah akan menyelimuti bumi. Untuk mencegah penyebaran penyakit inilah, Sanghyang Jaran kasolahang untuk menetralisir bumi yang sedang labil," ujar Agung Dharma. *wan

Komentar