nusabali

Pemeran Patih Agung, Akting di Panggung Mengundang Decak Kagum

I Wayan Pudja, Seniman Drama Gong dari Banjar Seseh, Desa Singapadu, Sukawati Gianyar

  • www.nusabali.com-pemeran-patih-agung-akting-di-panggung-mengundang-decak-kagum

GIANYAR, NusaBali
Dalam pentas drama gong, pertikaian antara Patih Agung dengan Patih Anom kerap mengundang decak kagum penonton.

Akting pemeran Patih Agung dengan Patih Anom saat memukau. Kedua pemeran ini hebat bersilat lidah. Bahkan, tak jarang keduanya dinilai bermusuhan di luar seni peran. Tokoh hebat pemeran Patih Agung itu bernama I Wayan Pudja, sementara seterunya adalah Anak Agung Rai Kalam (alm) yang memerankan Patih Anom. Kedua tokoh sepuh drama gong ini kerap ‘bertengkar’ hebat semasa kejayaan drama gong. Mereka adalah pemeran kunci di sekaa drama gong Bintang Bali Timur.

Seniman Wayan Pudja, 84, merupakan salah seorang seniman perintis yang membidani lahirnya kesenian drama gong di Bali. Sebagai seniman drama gong, Pudja keliling pulau Bali untuk pentas bersama kawan-kawannya. Mulai dari masa-masa awal, era kejayaan sampai drama gong redup Pudja masih peduli. Dia percaya drama gong tetap mendapat tempat di hati masyarakat Bali walau berbagai jenis kesenian dan hiburan modern menyeruak. “Bisa dibuktikan di art center, kalau ada pentas drama gong penontonnya selalu ramai,” ungkap Pudja saat ditemui di rumahnya, Banjar Seseh, Desa Singapadu, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Rabu (22/6). Seniman lingsir ini pun meyakini drama gong bisa bangkit kembali asal ada kemauan serius dan konsisten mementaskan drama gong.

Pudja tidak terlahir dari dari keluarga seniman. Mulai dari kakek, nenek, ayah, dan ibunya tidak ada yang bergelut di seni. “Mereka petani, bukan seniman,” ujar kakek 9 cucu ini. Pudja saat usia 6 tahun sudah kehilangan ayah. “Bapa (ayah) meninggal dan ibu kawin lagi,” kenangnya. Menjadi anak yatim, Pudja dan adiknya Ni Made Kerti diasuh kakek dan nenek, I Nyoman Silih dan Ni Made Oseh. Tumbuh remaja, Pudja mulai menggeluti kesenian. Mengawali berkesenian sekitar tahun 1963. Bersama remaja sebaya di Desa Singapadu, Pudja membentuk drama janger. Terinspirasi dari pementasan sekaa drama janger dari Sibang, Abiansemal, Badung yang ngayah di Desa Singapadu.

Maka Pudja merintis sekaa janger dengan lakon ‘Anak Yatim Piatu’. Pudja berperan sebagai orang tua yang memberi nasehat kepada si anak yatim piatu agar tabah menghadapi hidup. Tahun 1964, Pudja dan teman-temannya kembali kumpul membentuk drama janger untuk persiapan ngayah di Pura Gumi Desa Adat Singapadu. Berbeda dengan drama janger sebelumnya, kali ini kostum para pemain memakai busana adat. Alasannya agar lebih beretika karena ngayah di pura. Masih di Desa Singapadu, pada tahun 1965 bersama anak-anak muda dari Puri Singapadu, Pudja membentuk Drama Jayaprana Puri Singapadu. Drama Jayaprana Puri Singapadu terinspirasi dari obrolan di masyarakat yang mengapresiasi pentas sendratari dari Kokar, Denpasar. Saat itu siswa Kokar pentas di SMP Singapadu. “Tentu lebih bagus lagi kalau yang menari langsung bicara (dialog),” kutip Pudja tentang obrolan masyarakat usai pementasan sendratari dari Kokar.

Termotivasi obrolan di masyarakat itulah, Pudja bersama Cokorda Istri Nandi, seorang guru yang juga keluarga dari Puri Singapadu membentuk sekaa drama. Para pemainnya berdialog langsung. Pengiring musiknya sudah menggunakan gong yakni gong barungan Banjar Sengguan, Singapadu. “Kecuali saya, semua pemainnya anak-anak muda dari puri,” kenang suami dari Ni Made Kapat (alm) ini. Karena lakonnya Jayaprana dan bertempat di Puri Singapadu, sekaa drama tersebut dinamakan Drama Jayaprana Puri Singapadu.

Kiprahnya berkesenian drama di Desa Singapadu membuat Pudja kaloktah (terkenal) ke dura desa. Dia banyak diminta untuk membentuk dan melatih drama. Apalagi setelah istilah drama gong populer menjadi sebutan resmi drama dengan iringan gamelan gong, Pudja banyak ngurukang (mengajar) drama ke banyak tempat di Bali. Di antaranya Desa Ketewel Gianyar, Desa Panjer Denpasar, Pangiangan Jembrana, Klungkung, dan lainnya. Kepiawaian dan kebintangannya bermain drama mengantarkan Pudja bertemu dengan seniman lain dan membentuk sekaa drama gabungan. Di antaraya Bintang Bali Timur dan Sekaa Gong Bali Dwipa pada 1980-an-1990-an.

Figur paten Pudja ada dua yakni Patih Agung dan Patih Werdha (tua). Kedua-duanya bisa dia lakoni dengan akting yang memikat. Salah satu lawan main Pudja di panggung adalah Anak Agung Rai Kalam (alm), pemeran Patih Anom dari Puri Satria Kawan, Desa Paksebali, Klungkung. Jika dia berdebat di panggung dengan AA Rai Kalam pasti sengit. “Malah sampai-sampai sekaa gong yang sudah biasa nutug (ikut) penasaran, mengira saya dan Gung Rai Kalam benar-benar miyegan (musuhan),” kenangnya. Padahal sejatinya adalah akting yang sudah disetel sebelumnya kemudian dilakoni dengan penjiwaan bersungguh-sungguh. “Kebetulan kami pernah sama kenal waktu di SGA di Singaraja,” ungkap Pudja.

Karena bersungguh-sungguh itulah, Pudja mengaku pantang berganti peran dengan alasan yang pragmatis. Lebih baik tidak menari. “Saya tolak dan lebih memilih tidur di truk daripada berganti peran sebagai Patih Agung,” ucapnya. Tahun 1970-an hingga 1990-an, drama gong merupakan pentas seni yang ditunggu-tunggu penggemarnya. Hal itu menjadikan pemainnya saban malam menghibur hingga ke pelosok. Tidak saja di Bali, namun sampai ke luar di antaranya Nusa Penida, Lombok, dan Jakarta.

Setelah belasan hingga puluhan tahun bergelut di drama gong, sekitar tahun 1990-an Pudja berhenti bermain drama. Alasannya karena umur yang semakin sepuh. “Kecuali sewaktu-waktu, misalnya ketika pentas drama gong para pemain di art center beberapa tahun lalu,” ungkap ayah Ni Wayan Sasih ini. Meski tidak lagi bermain drama gong, Pudja tetap di belakang layar. Sejak tahun 2020 sampai sekarang, sebagai anggota Pembina Seni Kabupaten. Sebelumnya aktif sebagai anggota Listibya Kabupaten Gianyar. Di Provinsi Bali, Pudja menjadi pembina dan pengamat drama gong dari masa Gubernur Made Mangku Pastika sampai Gubernur Wayan Koster. Namun tiga tahun lalu Pudja mapamit karena merasa sudah tua. “Kasihan cucu harus antar jemput,” kata dia.

Dedikasinya berkesenian drama gong mendapat pengakuan dari Pemprov Bali. Pudja menerima penghargaan Piagam Dharma Kusuma pada masa Gubernur I Dewa Made Beratha. “Kalau ada yang datang belajar drama, dengan senang hati bapak akan mengajarnya,” ucap Pudja. Ibarat baju, ilmu drama ini memang dia siap lepaskan kalau memang ada yang mau bersungguh-sungguh. *k17

Komentar