nusabali

Kejari Buleleng Tahan Ketua LPD Anturan

Tersangka Dugaan Korupsi LPD Senilai Rp 151 Miliar

  • www.nusabali.com-kejari-buleleng-tahan-ketua-lpd-anturan

SINGARAJA, NusaBali
Jaksa penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Negeri (Kejari) Buleleng akhirnya menahan Nyoman Arta Wirawan,52, Ketua Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Desa Adat Anturan, Kecamatan/Kabupaten Buleleng, Rabu (22/6) sore.

Nyoman Arta ditahan setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyimpangan pengelolaan aset dan keuangan LPD senilai Rp 151 miliar. Sebelum ditahan, tersangka didampingi penasehat hukumnya menjalani pemeriksaan intensif oleh jaksa penyidik selama hampir 6 jam sejak pukul 10.30 Wita hingga 16.00 Wita. Tersangka yang menggunakan rompi tahanan Kejari Buleleng berwarna oranye kemudian digiring ke rumah tahanan (Rutan) Mapolres Buleleng menggunakan mobil tahanan Kejari Buleleng.
 
Humas Kejari Buleleng, Anak Agung Ngurah Jayalantara menyampaikan, penahanan terhadap tersangka Nyoman Arta dilakukan selama 20 hari ke depan hingga 11 Juli.

Tersangka ditahan dengan pertimbangan agar tidak melarikan diri dan menghilangkan barang bukti. Nyoman Arta sendiri telah ditetapkan sebagai tersangka sejak November 2021 lalu. "Setelah melakukan pemeriksaan terhadap tersangka Ketua LPD, tim penyidik melakukan rapat ekspose. Hasilnya, tim penyidik mengambil sikap untuk melakukan upaya penahanan terhadap tersangka selama 20 hari ke depan," jelas Jayalantara, didampingi Kasi Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Buleleng, Yosef Humbu Ina Marawali.

Dalam penanganan kasus dugaan korupsi ini, penyidik telah menyita sejumlah dokumen pengelolaan keuangan LPD Anturan, seperti bilyet giro, sejumlah rekening bank, hingga 12 sertifikat tanah kapling yang merupakan aset LPD Anturan, namun justru dicantumkan atas nama pribadi Ketua LPD dan beberapa dokumen lainnya.

Tersangka Nyoman Arta dijerat dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. "Indikasi kerugian negara, masih sama, yakni sekitar Rp 151 miliar dari hasil penghitungan Inspektorat. Ini masih kami kembangkan, kemungkinan bisa bertambah," kata Jayalantara.

Menurut Jayalantara, hasil penghitungan kerugian negara versi jaksa tersebut didukung dengan keterangan saksi ahli dari yang diperiksa sebelumnya. Pihaknya mempersilakan jika penasehat hukum tersangka memiliki argumen hukum yang berbeda. Hal itu, kata dia, akan dibuktikan dalam persidangan terbuka. "Silakan saja itu pendapat (penasihat hukum). Nanti akan diuji dalam persidangan," tegasnya

Jayalantara menambahkan, kasus dugaan korupsi LPD Anturan ini masih dalam penyidikan. Tidak menutup kemungkinan akan ada pengurus LPD lainnya yang terseret dalam dugaan tindak pidana korupsi ini. "Kemungkinan tersangka lain masih dikembangkan. Masih dalam penyidikan. Akan ada pemeriksaan lanjutan," kata Jayalantara. Sementara itu, penasehat hukum tersangka, I Wayan Sumardika mempertanyakan penghitungan kerugian negara versi jaksa Kejari Buleleng. Menurut dia, dana yang disebut jaksa sebagai kerugian negara merupakan dana nasabah. Apalagi, LPD Anturan hanya mendapatkan suntikan dana modal dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali sebesar Rp 4,5 juta.

FOTO: Penasehat hukum tersangka, I Wayan Sumardika .-ZAKKY

"Pemerintah punya modal Rp 4,5 juta. Jaksa mengklaim ada kerugian negara Rp 151 miliar. Dari mana uang ini. Ini adalah uang rakyat (nasabah) bukan tindak pidana korupsi. Uang itu masih ada di tabungan. Tidak ada kerugian negara. Kita harus fair dalam penegakan hukum," tegasnya.

Sumardika menyebutkan, UU tentang tindak pidana korupsi menyatakan kerugian negara harus bisa dihitung pasti. "Putusan MK juga menyatakan dalam pidana korupsi harus ada syarat kerugian keuangan negara. Dalam LPD Anturan berapa ada keuangan negara? Kan cuma Rp 4,5 juta. Bagaimana bisa diklaim Rp 151 miliar, penghitungannya bagaimana. Uang siapa yang dihitung itu," sebutnya.

Tak hanya itu, menurut Sumardika, Inspektorat tidak memiliki kewenangan menghitung kerugian negara. "UU mengamanatkan BPK dan BPKP yang punya kewenangan menyatakan kerugian negara," kata dia. Terkait hal ini, kliennya akan menempuh segala upaya hukum. Termasuk mengajukan keterangan ahli dari I Dewa Gede Palguna, mantan Hakim Konstitusi. Diberitakan sebelumnya, kasus dugaan korupsi penyimpangan pengelolaan aset dan keuangan LPD Anturan telah bergulir sejak 2021 lalu. Awalnya, sejumlah perwakilan nasabah melaporkan dugaan penyelewengan aset dan pengelolaan keuangan LPD Anturan ke Kejari Buleleng. Nyoman Arya selaku Ketua LPD, sebagai orang yang diduga paling bertanggung jawab atas penyimpangan tersebut.

Hasil perhitungan sementara pihak penyidik Kejari Buleleng saat itu temukan adanya selisih dana LPD Anturan sebesar Rp 137 miliar lebih yang berpotensi sebagai kerugian negara. Dana selisih itu didapatkan dari pengelolaan LPD Adat Anturan sejak tahun 2019 lalu. Namun, belakangan hasil penghitungan Inspektorat menyatakan indikasi kerugian negara senilai Rp 151 miliar.

Jaksa menemukan adanya kredit fiktif yang diduga dibuat oleh Nyoman Arta Wirawan selaku Ketua LPD pada tahun 2019 lalu. Bahkan, ada tunggakan bunga kredit yang belum dibayar nasabah sebesar Rp12.293.521.600 malah dijadikan kredit, namun tidak ada perjanjian (akad) kredit antara nasabah dengan pihak LPD.

"Jumlah kredit disalurkan tahun 2019 sebesar Rp 244.558.694.000, ada tunggakan bunga yang belum dibayar nasabah dan itu dijadikan kredit, namun tidak ada perjanjian. Selain itu juga ada kredit yang tidak ada dokumen atau diduga kredit fiktif sebesar Rp 150.433.420.956," beber Jayalantara.

LPD Anturan diduga menjalankan usaha di luar ketentuan yang ada, dengan melakukan usaha tanah kapling di beberapa titik sesuai kesepakatan Desa Adat. Pada tahun 2019 LPD Anturan punya aktiva lain berupa tanah kavling senilai Rp 28.301.572.500 tersebar di 34 lokasi berbeda. Namun dalam aktiva lain berupa tanah kapling itu dimasukkan dana punia senilai Rp 500 juta.

Selama menjalankan usaha tanah kavling, LPD Anturan yang di bawah kendali Nyoman Arta memakai jasa perantara atau makelar dengan fee sebesar 5 persen dari penjualan. Dan dana hasil penjualan tanah kapling tersebut disimpan pada rekening simpanan di LPD Desa Adat Anturan atas nama penjualan TKV atau sesuai dengan lokasi tanah kapling dan mendapatkan bunga.

Hasil penjualan tanah kapling itu pun ada yang dipergunakan untuk melakukan Tirta Yatra ke beberapa daerah oleh semua karyawan LPD dan prajuru Desa Adat dengan total nilai mencapai di atas Rp 600 juta, serta Ketua LPD menyimpan dana di LPD Anturan namun penggunaan dana tersebut tidak dilaporkan. *mz

Komentar