nusabali

Karauhan Bukan Ajang Berkontestasi

  • www.nusabali.com-karauhan-bukan-ajang-berkontestasi

Kita perlu ketegasan dan kejelasan dari awig, pararem, banjar, pura, dan desa adat. Kalau tidak ada kejelasan, orang dari luar akan meliarkan dirinya untuk karauhan.

DENPASAR, NusaBali
Fenomema karauhan di Bali belakangan ini banyak menjadi bahan pembicaraan di masyarakat. Pasalnya banyak peristiwa di masyarakat yang disebut sebagai karauhan, namun dari kacamata spiritual sesungguhnya  tidak bisa dikatakan sebagai karauhan.

Hal tersebut disampaikan praktisi spiritual yang juga akademisi Universitas PGRI Mahadewa Indonesia (UPMI), Dr Komang Indra Wirawan SSn MFil H. Menurut pria yang akrab disapa Komang Gases, perlu adanya edukasi di masyarakat terkait fenomena karauhan. "Kita tidak berbicara benar atau salah, itu sangat bagus. Tetapi bagaimana kita menyikapi supaya menjadi satu hal yang patut ditiru, bukan sebagai ajang kontestasi," ujar Wirawan ketika ditemui NusaBali, Sabtu (4/6).

Komang Gases menjelaskan, karauhan sejatinya hanya terjadi pada ranah sakralisasi, pada ranah upacara dan upakara di Bali. Sementara apabila terjadi di luar konteks tersebut, maka karauhan dapat disebut karangsukanataupun kasurupan. "Karena tidak adanya media dasar upakara banten yang menghadirkan kekuatan beliau," sebut pria asal Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan ini.

Lebih jauh dijelaskan, fenomena karauhan dapat dibagi menjadi dua, yakni karauhan Dewa dan karauhan Bhuta. Karauhan Dewa, ujar Wirawan, mengikuti tatanan tattwa, etika, dan susila. Karauhan Dewa ini dapat dibagi lagi menjadi karauhan Sasuhuhan Agung, karauhan Dewa dari Sajeroning Prasanak, dan karauhan para rencang Ida Bhatara.

Karauhan Dewa tercermin ketika seseorang mengalami karauhan dilandasi etika baik atau tidak merugikan orang lain. Seperti menari (karauhan sasuhunan/sajeroning prasanak) ngurek atau mengambil api (karauhan Ida Bhatara). Selain itu karauhan Dewa juga dicirikan dengan mata, hidung, dan mulut tidak henti-hentinya mengeluarkan air.

Sebaliknya karauhan Butha terlihat dari etika yang dilakukan seseorang yang mengalami karauhan kurang baik, misalnya menendang upakara atau banten. Meski sama-sama terjadi pada ranah sakral, namun karauhan Butha memiliki arogansi seperti memukul, menindas, atau berbicara yang kurang pantas.

Orang yang dapat mengalami karauhan, lanjut pria dua anak ini, tidak terjadi pada sembarang orang, melainkan harus melewati tahapan tertentu. "Sudah mawinten, sudah mabersih, sudah disahkan secara niskala. Ketika atma ini terbungkus oleh citta dan sarira, tidak bisa semudah itu," ujar Dekan FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan) UPMI.

Lebih jauh disampaikan, fenomena lain yang menyerupai karauhan adalah keranfsukan atau kasurupan. Karangsukanberasal dari kata rasuk atau rangsuk, artinya memasukkan. Ada unsur kesengajaan untuk memasukkan energi dari luar ke dalam diri. "Minyak rejuna dihidupkan dibawa ke orang sakti dipasupati," ujar Wirawan mencontohkan.

Wirawan menyebut praktik tersebut menjadi berbahaya ketika orang yang bersangkutan tidak bisa lagi mengendalikan barang-barang yang dibawanya tersebut. Sedangkan kasurupan, berasal dari kata surup, yang artinya lupa. Kasurupan, kata Wirawan, lebih terkait dengan permasalahan psikologis seseorang. Adanya stres berlebihan karena memiliki permasalahan ekonomi ataupun tekanan hidup lainnya. Komang Gases menyebut fenomena siswa sekolah yang mengalami histeris tiba-tiba sebagai ciri mengalami kasurupan.

"Ini biasanya mengatasnamakan ke hal yang sakral, padahal tidak ada upacara atau piodalan," sebutnya.

Selain itu, Wirawan juga mendorong adanya ketegasan dari pihak terkait untuk meluruskan peristiwa karauhan di masyarakat. Hal ini untuk menjaga marwah karauhan sebagai tradisi budaya Bali yang memiliki keluhuran dan tujuan yang sejatinya baik.

Dia mencontohkan, ketika satu pura sedang mengadakan upacara, namun ada pihak luar yang tiba-tiba mengalami karauhan pada acara tersebut. Menurut Komang Gases hal tersebut tidak sepatutnya terjadi. "Kita tidak berbicara benar atau salah, di sinilah kita perlu ketegasan dan kejelasan dari awig, pararem, banjar, pura, dan desa adat. Kalau tidak ada kejelasan, orang dari luar akan meliarkan dirinya untuk karauhan di tempat tersebut," kata putra ketiga tokoh spiritual Denpasar Jro Mangku I Wayan Candra.

Wirawan mengungkapkan dirinya sudah melakukan sosialisasi terkait karauhan hampir ke seluruh Bali, bahkan hingga ke pulau seberang, Pulau Lombok. Selain menjadi narasumber di banjar-banjar atau desa adat, dirinya juga mengedukasi di ranah akademik seperti memberi kuliah tamu di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, selain tentunya di kampus tempatnya bekerja sehari-hari UPMI.

Wirawan pun mengajak masyarakat melihat fenomena karauhan di masyarakat dengan bijak. Sebagai satu warisan budaya masyarakat Hindu di Bali, karauhan sudah sepatutnya dijaga dan dilestarikan dengan baik dan benar. Orang yang mengalami karauhan jangan dihujat ataupun dianggap sepele melainkan juga pantas dihargai.

"Namun kita harus cerdas, bahkan bijaksana untuk menyikapi. Di sinilah peranan penting dari desa adat, untuk mempertegas aturan di pura atau di banjar tersebut," tandas Komang Gases. *cr78

Komentar